Beranda | Artikel
Kaidah Ke-54 : Hukum Asal Benda-Benda Adalah Suci Dan Boleh Dimanfaatkan
Kamis, 10 Maret 2016

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Kelima Puluh Empat

اْلأَصْلُ فِي اْلأَعْيَانِ اْلإِبَاحَةُ وَالطَّهَارَةُ

Hukum asal benda-benda adalah suci dan boleh dimanfaatkan

MAKNA KAIDAH
Kaidah ini menjelaskan bahwa hukum asal seluruh benda yang ada di sekitar kita dengan segala macam dan jenisnya adalah halal untuk dimanfaatkan. Tidak ada yang haram kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Juga, hukum asal benda-benda tersebut adalah suci, tidak najis, sehingga boleh disentuh ataupun dikenakan.

Ini termasuk patokan penting dalam syariat Islam dan memiliki implementasi yang sangat luas, terkhusus dalam penemuan-penemuan baru, baik berupa makanan, minuman, pakaian dan semisalnya. Maka hukum asal dari semua itu adalah halal, boleh dimanfaatkan, selama tidak nampak bahayanya sehingga menjadikannya haram.

Oleh karena itulah Syaikul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan berkaitan dengan kaidah ini, “Ini adalah kalimat yang luas maknanya, perkataan yang umum, perkara utama yang banyak manfaatnya, serta luas barakahnya. Dijadikan rujukan oleh para pembawa syari’ah dalam perkara yang tidak terhitung, baik berupa amalan dan kejadian-kejadian di antara manusia.”[1]

 DALIL YANG MENDASARINYA
Kaidah ini ditunjukkan oleh dalil-dalil baik dari al-Qur`ân, as-Sunnah, maupun Ijma’. Dalil dari al-Qur`ân, di antaranya firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

Dia-lah Allâh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. [al-Baqarah/2:29].

Syaikh Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Dalam ayat yang agung ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal semua benda adalah mubah dan suci. Karena ayat ini disebutkan dalam konteks pemberian karunia dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala kepada para hamba-Nya.”[2]

Demikian pula firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

وَمَا لَكُمْ أَلَّا تَأْكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ

Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allâh ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allâh telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu. [al-An’âm/6:119].

Sisi pendalilan dari ayat ini dapat dilihat dari dua sisi.

  • Pertama, Allâh Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang yang tidak mau memakan daging hewan yang disembelih atas nama Allâh Azza wa Jalla sebelum hewan tersebut dinyatakan secara khusus sebagai hewan yang halal. Seandainya bukan karena hukum asal segala benda itu halal, tentu mereka tidak mendapatkan celaan itu.
  • Kedua, dalam ayat ini disebutkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan. Ini menunjukkan, apa-apa yang tidak dijelaskan keharamannya maka itu bukan perkara yang haram. Dan apa-apa yang tidak haram, berarti itu halal. Karena tidak ada macam yang lain, kecuali benda itu halal atau haram.

Adapun dalil dari as-Sunnah di antaranya sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits riwayat Imam al-Bukhâri dan Muslim :

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ أَعْظَمَ الْمُسْلِمِيْنَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ

Dari Sa’d bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, bahwasannya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang Muslim yang paling besar kesalahannya adalah orang yang mempertanyakan sesuatu yang semula tidak haram, kemudian diharamkan karena sebab pertanyaannya itu”.[3]

Hadits ini menunjukkan bahwa pengharaman itu adakalanya terjadi karena sebab pertanyaan. Artinya, sebelum munculnya pertanyaan, perkara tersebut tidaklah haram. Dan inilah hukum asalnya.

Dalil lain dari as-Sunnah adalah hadits riwayat Imam Tirmidzi :

عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ قَالَ : سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّمْنِ وَالْجُبْنِ وَالْفِرَاءِ. فَقَالَ : الْحَلاَلُ مَا أَحَلَّ اللهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ

Dari Salman al-Farisi, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang minyak samin, keju, dan (mengenakan) bulu binatang, maka beliau bersabda, ‘Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allâh Azza wa Jalla di dalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala di dalam kitab-Nya, dan apa yang Dia diamkan termasuk sesuatu yang dimaafkan.”[4]

Hadits tersebut merupakan nash yang menunjukkan bahwa perkara-perkara yang didiamkan dan tidak disinggung tentang keharamannya maka itu bukanlah perkara yang menjatuhkan seseorang kepada dosa, sehingga bukan termasuk kategori perkara yang haram.

Demikian pula para Ulama telah bersepakat tentang eksistensi kaidah ini, yaitu keberadaan hukum asal benda-benda adalah halal untuk dimanfaatkan, baik dimakan, diminum, atau semisalnya. Dan tidaklah haram darinya kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah , beliau rahimahullah mengatakan, “Saya tidak mengetahui perbedaan pendapat di kalangan Ulama terdahulu bahwa perkara yang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya maka perkara itu tidak haram secara mutlak. Banyak orang dari kalangan ahli ushul-fiqih dan cabangnya yang menyebutkan kaidah ini. Dan saya memandang sebagian di antara mereka telah menyebutkan ijma’, baik secara yakin maupun persangkaan yang yakin”.[5]

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal semua benda adalah suci maka telah tercakup dalam dalil-dalil yang disebutkan di atas ditinjau dari dua sisi.

  • Pertama, sesungguhnya dalil-dalil tersebut menunjukkan bolehnya semua bentuk pemanfaatan, baik dengan dimakan, diminum, dipakai, disentuh, dan lain sebagainya. Dengan demikian, penetapan kesucian benda-benda itu telah tercakup di dalamnya.
  • Kedua, telah dipahami dari dalil-dalil tersebut bahwa hukum asal benda-benda yang ada di sekitar kita itu boleh dimanfaatkan, seperti dimakan dan diminum. Maka diperbolehkannya barang-barang tersebut untuk disentuh sebagai benda yang tidak najis adalah lebih utama. Yang demikian, karena makanan itu bergabung dan bercampur dengan badan. Adapun sesuatu yang disentuh atau dipakai maka ia sekedar mengenai badan dari sisi luarnya saja. Apabila telah tetap kebolehan sesuatu dalam bentuk tergabung dan tercampur, maka kebolehan sesuatu sekedar dipakai atau disentuh adalah lebih utama.  Hal itu diperkuat dengan dalil dari Ijma, sebagaimana disebutkan oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, beliau mengatakan: “Sesungguhnya para fuqaha seluruhnya bersepakat bahwa hukum asal benda-benda adalah suci, dan sesungguhnya najis itu jumlahnya tertentu dan terbatas. Sehingga semua benda di luar batasan tersebut hukumnya suci”.[6]

 CONTOH PENERAPAN KAIDAH
Di antara bentuk implementasi kaidah ini adalah sebagai berikut:

  1. Hewan-hewan yang statusnya meragukan apakah halal ataukah haram seperti jerapah, gajah, dan semisalnya, maka sesungguhnya dihukumi sebagai binatang yang halal sesuai hukum asalnya.
  2. Tanaman-tanaman yang tidak mengandung racun maka secara umum halal sesuai hukum asalnya.[7]
  3. Beraneka-ragam makanan, minuman, buah-buahan, dan biji-bijian yang sampai kepada kita dari luar negeri, dan kita tidak mengetahui namanya, sedangkan tidak nampak kandungan zat yang berbahaya padanya maka hukumnya halal sesuai konsekuensi kaidah ini.[8]
  4. Air, bebatuan, tanah, pakaian, dan wadah-wadah hukum asalnya suci berdasarkan kaidah ini.
  5. Kotoran dan air kencing dari binatang yang halal dimakan hukumnya suci, karena benda-benda di sekitar kita hukum asalnya suci, sedangkan tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannnya, sehingga dikembalikan pada hukum asalnya.[9]

 Wallâhu a’lam.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196. Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Majmû’ al-Fatâwâ, 21/535.
[2] Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, Syaikh Abdurrahmân bin Nashir as-Sa’di, cet. I, Tahun 1423 H/202 M, Muassasah ar-Risalah, Beirut, hlm. 48.
[3] HR al-Bukhâri dalam Kitab al-I’tishâm, Bab: Mâ Yukrahu min Katsrati as-Su-al wa Takallufi Mâ lâ Ya’nihi, no. 7289. Muslim dalam Kitab al-Fadhâ-il, Bab: Tauqîruhu n wa Tarku Iktsâri Su-alihi ‘Amma Lâ Dharurata Ilaihi au lâ Yata’allaqu bihi Taklîfun wa Mâ lâ Yaqa’u wa Nahwi Dzalika, no. 2308.
[4] HR at-Tirmidzi dalam Kitab al-Libas, Bab: Mâ Jâ-a fî Lubsi al-Firâ`, no. 1726. Ibnu Majah dalam Kitab al-Ath’imah, Bab: Aklu al-Jubni wa as-Samni, no. 3367. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam Shahîh at-Tirmidzi.
[5] Majmû’ al-Fatâwâ, 21/538.
[6] Majmû’ al-Fatâwâ, 21/542.
[7] Lihat al-Asybâh wa an-Nazhâ-ir, as-Suyuthi, hlm. 60.
[8] Lihat al-Wajîz fî Idhâh Qawâ’id al-Fiqh al-Kulliyyah, Muhammad Shidqi al-Burnu, hlm. 114.
[9] Diangkat dari kitab al-Qawâ’id wa adh-Dhawâbith al-Fiqhiyyah ‘inda Ibni Taimiyyah fi Kitâbai at-Thahârah wa as-Shalah, Nashir bin ‘Abdillâh al-Miman, cet. II, Tahun 1426 H/2005 M, Jami’ah Ummul- Qura, Makkah al-Mukarramah, hlm. 193-198.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4380-kaidah-ke-54-hukum-asal-bendabenda-adalah-suci-dan-boleh-dimanfaatkan.html