Berhias yang Dilarang
BERHIAS YANG DILARANG
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
Berhias merupakan sesuatu yang wajar dilakukan oleh manusia, apalagi jika ia seorang wanita. Tentunya ia ingin nampak dan tampil memikat dengan menampakkan perhiasannya. Misal berdandan atau bersolek dengan tidak seperti biasanya; memakai bedak tebal, eye shadow, lipstik dengan warna mencolok dan merangsang, dan lain sebagainya. Tindakan-tindakan semacam ini termasuk dalam kategori yang disebut dengan tabarruj.
ARTI TABARRUJ DAN PENJABARANNYA
Secara bahasa tabarruj berarti menampakkan perhiasan terhadap orang-orang asing (yang bukan mahram).[1]
Imam asy-Syaukani berkata, “At-Tabarruj adalah seorang wanita menampakkan sebagian dari perhiasan dan kecantikannya yang (seharusnya) wajib untuk ditutupinya, yang ini dapat memancing syahwat (hasrat) laki-laki”.[2]
Syaikh ‘Abdur-Rahmân as-Sa’di rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “Arti ayat ini, janganlah kalian (wahai para wanita) sering keluar rumah dengan berhias atau memakai wewangian, sebagaimana kebiasaan wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu, mereka tidak memiliki pengetahuan (agama) dan iman. Semua ini untuk mencegah keburukan (bagi kaum wanita) dan penyebab-penyebabnya”.[3]
Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata, “Ketika Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum perempuan untuk menetap di rumah-rumah mereka, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang mereka dari (perbuatan) tabarruj wanita-wanita Jahiliyah, (yaitu) dengan sering keluar rumah atau keluar rumah dengan berhias, memakai wewangian, menampakkan wajah serta memperlihatkan kecantikan dan perhiasan mereka yang Allâh Azza wa Jalla perintahkan untuk disembunyikan.
Tabarruj (secara bahasa) diambil dari (kata) al-burj (bintang, sesuatu yang terang dan tampak), di antara (makna)nya adalah berlebihan dalam menampakkan perhiasan dan kecantikan, seperti kepala, wajah, leher, dada, lengan, betis dan anggota tubuh lainnya, atau menampakkan perhiasan tambahan.
Hal ini dikarenakan seringnya (para wanita) keluar rumah atau keluar dengan menampakkan (perhiasan dan kecantikan mereka) akan menimbulkan fitnah dan kerusakan yang besar (bagi diri mereka dan masyarakat)”[4].
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa penjabaran makna tabarruj meliputi dua hal.
Pertama, seringnya seorang wanita keluar rumah, karena ini merupakan sebab terjadinya fitnah dan kerusakan.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) setan akan mengikutinya (menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling dekat dengan Rabbnya (Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) adalah ketika ia berada di dalam rumahnya”.[5]
Imam al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat di atas berkata: “Makna ayat ini adalah perintah (bagi kaum perempuan) untuk menetap di rumah-rumah mereka. Meskipun (asalnya) ini ditujukan kepada isteri-isteri Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi secara makna (wanita-wanita) selain mereka (juga) termasuk dalam perintah tersebut. Ini seandainya tidak ada dalil yang khusus (mencakup) semua wanita. Padahal (dalil-dalil dalam) syariat Islam penuh dengan (perintah) bagi kaum wanita untuk menetap di rumah-rumah mereka dan tidak keluar rumah kecuali karena darurat (terpaksa)”.[6]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz rahimahullah berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan wanita untuk menetap di rumahnya dan tidak keluar rumah kecuali untuk kebutuhan yang mubah (diperbolehkan dalam Islam) dengan memperhatikan adab-adab yang disyariatkan (dalam Islam). Sungguh Allâh Azza wa Jalla telah menamakan (perbuatan) menetapnya seorang wanita di rumahnya dengan qarâr (yang berarti tetap, stabil, tenang); ini mengandung arti yang sangat tinggi dan mulia. Karena dengan ini jiwanya akan tenang, hatinya damai dan dadanya lapang. Maka dengan keluar rumah akan menyebabkan keguncangan jiwanya, kegalauan hatinya dan kesempitan dadanya, serta membawanya kepada keadaan yang akan berakibat buruk baginya”.[7]
Di tempat lain, ia berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan para wanita untuk menetap di rumah-rumah mereka, karena keluarnya mereka dari rumah sering menjadi penyebab (timbulnya) fitnah. Sesungguhnya dalil-dalil syariat (yang) menunjukkan bolehnya mereka keluar rumah jika ada keperluan (yang sesuai syariat), (ialah) dengan memakai hijab (yang benar) dan menghindari pemakaian perhiasan; akan tetapi menetapnya para wanita di rumah adalah (hukum) asal, dan itu lebih baik bagi mereka serta lebih jauh dari fitnah”.[8]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah berkata:
(Hukum) asalnya seorang wanita tidak boleh keluar dari rumahnya kecuali kalau ada keperluan (yang sesuai dengan syariat), sebagaimana disebutkan dalam hadits shahîh (riwayat) Imam al-Bukhâri (no. 4517) ketika turun firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَقَرْنَ فِيْ بُيُوْتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى
Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu. [al-Ahzâb/33:33].
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Sungguh Allâh telah mengijinkan kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) jika (ada) keperluan kalian (yang dibolehkan dalam syariat).[9]
Bahkan menetapnya wanita di rumah merupakan ‘azîmatun syar’iyyah (hukum asal yang dikuatkan dalam syariat Islam), sehingga diperbolehkannya mereka keluar rumah merupakan rukhshah (keringanan) yang hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat atau jika ada keperluan. Oleh karena itulah, Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam tiga ayat al-Qur’ân[10] menisbatkan (menggandengkan) rumah-rumah kepada para wanita, padahal jelas rumah-rumah yang mereka tempati adalah milik para suami atau wali mereka. Ini semua menunjukkan, bahwa selalu menetap dan berada di rumah adalah keadaan yang sesuai dan pantas bagi mereka.[11]
Kedua, keluar rumah dengan menampakkan kecantikan dan perhiasan yang seharusnya disembunyikan di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya.
Syaikh ‘Abdul-‘Aziz bin Bâz rahimahullah berkata, “Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum perempuan untuk menetap di rumah-rumah mereka dan melarang mereka dari perbuatan tabarruj (ala) jahiliyyah, yaitu menampakkan perhiasan dan kecantikan, seperti kepala, wajah, leher, dada, lengan, betis dan perhiasan (keindahan wanita) lainnya, karena ini akan (menimbulkan) fitnah dan kerusakan yang besar, serta mengundang diri kaum lelaki untuk melakukan sebab-sebab (yang membawa kepada) perbuatan zina…”[12]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum wanita untuk menyembunyikan perhiasan dan kecantikan mereka dalam firman-Nya :
وَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ
Dan janganlah mereka (para wanita) memukulkan kaki mereka agar orang mengetahui perhiasan yang mereka sembunyikan. [an-Nûr/24: 31].
Perhiasan yang dilarang untuk dinampakkan dalam ayat ini mencakup semua jenis perhiasan, baik yang berupa anggota badan maupun perhiasan tambahan yang menghiasi fisik mereka.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Bâz rahimahullah berkata, “Perhiasan wanita yang dilarang untuk dinampakkan adalah segala sesuatu yang disukai oleh laki-laki dari seorang wanita dan mengundangnya untuk melihat kepadanya, baik itu perhiasan (keindahan) asal (anggota badan mereka) maupun perhiasan yang bisa diusahakan (perhiasan tambahan yang menghiasi fisik mereka), yaitu semua yang ditambahkan pada fisik wanita untuk mempercantik dan menghiasi dirinya”.[13]
BENTUK-BENTUK TABARRUJ[14]
Pertama. Termasuk tabarruj, yaitu mengenakan jilbab yang tidak menutupi dan meliputi seluruh badan wanita, seperti jilbab yang diturunkan dari kedua pundak dan bukan dari atas kepala.[15]
Ini bertentangan dengan makna firman Allâh Azza wa Jalla :
يُدْنِيْنَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيْبِهِنَّۗ
Hendaknya mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. [al-Ahzâb/33:59].
Karena jilbab seperti ini akan membentuk (mencetak) bagian atas tubuh wanita dan ini jelas bertentangan dengan jilbab yang sesuai syariat Islam.
Kedua. Termasuk tabarruj, yaitu mengenakan jilbab/pakaian yang terpotong dua bagian, yang satu untuk menutupi tubuh bagian atas dan yang lain untuk bagian bawah.
Ini jelas bertentangan dengan keterangan para ulama yang menjelaskan bahwa jilbab itu adalah satu pakaian yang menutupi seluruh tubuh wanita dari atas sampai ke bawah, sehingga tidak membentuk bagian-bagian tubuh wanita yang memakainya.
Ketiga. Termasuk tabarruj, yaitu memakai jilbab yang justru menjadi perhiasan bagi wanita yang mengenakannya.
Hikmah besar disyariatkan memakai jilbab bagi wanita ketika keluar rumah adalah untuk menutupi kecantikan dan perhiasannya dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya, sebagaimana firman-Nya :
وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ
Dan janganlah mereka (wanita-wanita yang beriman) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami-suami mereka, atau bapak-bapak mereka…[an-Nûr/24:31].
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah berkata, “Tujuan diperintahkannya (memakai) jilbab (bagi wanita) adalah untuk menutupi perhiasannya, maka tidak masuk akal jika jilbab (yang dipakainya justru) menjadi perhiasan (baginya). Hal ini, sebagaimana yang Anda lihat, sangat jelas dan tidak samar”.[16]
Termasuk dalam hal ini adalah “jilbab gaul” atau “jilbab modis” yang banyak dipakai wanita muslimah pada jaman ini, yang dihiasi dengan renda-renda, bordiran, hiasan-hiasan dan warna-warna yang jelas sangat menarik perhatian, dan justru menjadikan jilbab yang dikenakannya sebagai perhiasan baginya.
Insya Allâh, pembahasan tentang ini akan diulas lebih rinci pada pembahasan berikutnya dalam tulisan ini.
Keempat. Termasuk tabarruj, yaitu mengenakan jilbab dan pakaian yang tipis atau transparan.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: “Adapun pakaian tipis, maka itu akan semakin menjadikan seorang wanita bertambah (terlihat) cantik dan menggoda. Dalam hal ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Akan ada di akhir umatku (nanti) wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, di atas kepala mereka (ada perhiasan) seperti punuk unta, laknatlah mereka karena (memang) mereka itu terlaknat (dijauhkan dari rahmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala )‘.”
Dalam hadits lain ada tambahan, “Mereka tidak akan masuk surga dan tidak dapat mencium bau (wangi)nya, padahal sungguh wanginya dapat dicium dari jarak sekian dan sekian”.[17]
Imam Ibnu ‘Abdil-Barr berkata, “Maksud Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits ini) adalah wanita-wanita yang mengenakan pakaian (dari) bahan tipis yang transparan dan tidak menutupi (dengan sempurna), maka mereka disebut berpakaian tapi sejatinya mereka telanjang”.[18]
Dalam sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Imam Mâlik dalam al-Muwaththa’ (2/913) dan Muhammad bin Sa’ad dalam ath-Thabaqâtul Kubra (8/72), dari Ummu ‘Alqamah, ia berkata, “Aku pernah melihat Hafshah binti ‘Abdur-Rahmân bin Abu Bakr menemui ‘Aisyah Radhiyallahu anha dengan memakai kerudung yang tipis (sehingga) menampakkan dahinya, maka ‘Aisyah Radhiyallahu anha merobek kerudung tersebut dan berkata, ‘Apakan kamu tidak mengetahui firman Allâh yang diturunkan-Nya dalam surah an-Nûr ?’ Kemudian ‘Aisyah Radhiyallahu anha meminta kerudung lain dan memakaikannya”.
Kelima. Termasuk tabarruj, yaitu mengenakan jilbab (pakaian) yang menggambarkan (bentuk) tubuh meskipun kainnya tidak tipis, seperti jilbab (pakaian) yang ketat sebagaimana banyak dikenakan kaum wanita jaman sekarang, sehingga tergambar jelas postur dan anggota tubuh mereka.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni rahimahullah berkata, “Karena tujuan dari memakai jilbab adalah supaya tidak timbul fitnah, yang (demikian) ini hanya dapat terwujud dengan (memakai) jilbab yang longgar dan tidak ketat. Adapun jilbab (pakaian) yang ketat, meskipun menutupi kulit akan tetapi membentuk postur tubuh wanita dan menggambarkannya pada pandangan mata laki-laki. Ini jelas akan menimbulkan kerusakan (fitnah) dan merupakan pemicunya. Oleh karena itu, (seorang wanita) wajib (mengenakan) jilbab (pakaian) yang longgar”.[19]
Termasuk dalam larangan ini adalah memakai jilbab (pakaian) dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang memakainya, sebagaimana hal ini terlihat pada beberapa jenis pakaian yang dipakai para wanita pada jaman ini.[20]
Dalam Fatwa Lajnah Daimah no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, tentang syarat-syarat pakaian (jilbab) yang syar’i bagi wanita, disebutkan di antaranya : hendaklah pakaian (jilbab) tersebut (kainnnya) tebal (sehingga) tidak menampakkan bagian dalamnya, dan pakaian (jilbab) tersebut (kainnya) tidak bersifat menempel (di tubuh).[21]
Adapun dalil yang menunjukkan hal ini ialah hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang mulia, Usâmah bin Zaid Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan untukku pakaian Qibthiyah (dari negeri Mesir) yang tebal, pakaian itu adalah hadiah dari Dihyah al-Kalbi untuk Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kemudian pakaian itu aku berikan untuk istriku, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, ‘Mengapa kamu tidak memakai pakaian Qibthiyah tersebut?’ Aku menjawab, ‘Aku memakaikannya untuk istriku’, maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Suruh istrimu untuk memakai pakaian dalam di bawah pakaian Qibthiyah tersebut, karena sungguh aku khawatir pakaian tersebut akan membentuk postur tulangnya (tubuhnya)’.”[22]
Dalam hadits ini terdapa satu pelajaran penting, bahwa pakaian Qibthiyah tersebut adalah pakaian dari kain yang tebal, tetapi meskipun demikian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan bagi wanita yang mengenakanya untuk memakai di dalamnya pakaian dalam lain, agar bentuk badan wanita tersebut tidak terlihat, terlebih lagi jika pakaian tersebut dari bahan kain yang lentur (jatuh) sehingga mengikuti lekuk tubuh wanita yang memakainya.
Imam Ibnu Sa’ad meriwayatkan sebuah atsar dari Hisyam bin ‘Urwah, bahwa ketika al-Mundzir bin az-Zubair datang dari ‘Iraq, ia mengirimkan sebuah pakaian kepada ibunya, Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu anhuma. Pada waktu itu Asma’ Radhiyallahu anha dalam keadaan buta matanya. Lalu Asma’ Radhiyallahu anha meraba pakaian tersebut dengan tangannya, kemudian berkata, “Cih! Kembalikan pakaian ini padanya!” Namun al-Mundzir merasa berat dengan penolakan ini dan ia berkata kepada ibunya, “Wahai ibuku, sungguh pakaian ini tidak tipis,” maka Asma’ Radhiyallahu anha berkata, “Meskipun pakaian ini tidak tipis tetapi membentuk (tubuh orang yang memakainya”.[23]
Keenam. Termasuk tabarruj, ialah wanita yang keluar rumah dengan memakai minyak wangi.
Dari Abu Musa al-Asy’ari z bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Seorang wanita, siapapun dia, jika (keluar rumah dengan) memakai wangi-wangian, lalu melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya, maka wanita itu adalah seorang pezina”.[24]
Bahkan dalam hadits shahîh lainnya,[25] Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan larangan ini juga berlaku bagi wanita yang keluar rumah memakai wangi-wangian untuk shalat berjamaah di masjid. Jika larangan itu berlaku bagi wanita yang hendak pergi ke masjid, maka tentu larangan ini lebih keras lagi bagi wanita yang keluar rumah untuk ke pasar, toko dan tempat-tempat lainnya.
Oleh karena itu, Imam al-Haitami t menegaskan bahwa seorang wanita yang keluar dari rumahnya dengan memakai wangi-wangian dan bersolek, ini termasuk dosa besar meskipun diizinkan oleh suaminya.[26]
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perempuan keluar rumah dengan memakai atau menyentuh wangi-wangian dikarenakan hal ini sungguh merupakan sarana (sebab) untuk menarik perhatian laki-laki kepadanya. Karena baunya yang wangi, perhiasannya, posturnya dan kecantikannya yang diperlihatkan sungguh mengundang (hasrat laki-laki) kepadanya. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang wanita ketika keluar rumah (untuk shalat berjamaah di masjid) agar tidak memakai wangi-wangian, berdiri (di shaf) di belakang jamaah laki-laki, dan tidak bertasbih (sebagaimana yang diperintahkan kepada laki-laki) ketika terjadi sesuatu dalam shalat, akan tetapi (wanita diperintahkan untuk) bertepuk tangan (ketika terjadi sesuatu dalam shalat). Semua ini untuk menutup jalan dan mencegah terjadinya kerusakan (fitnah)”.[27]
Ketujuh. Termasuk tabarruj, yaitu wanita yang memakai pakaian yang menyerupai pakaian laki-laki.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan, dan perempuan yang mengenakan pakaian laki-laki”.[28]
Dari Abdullâh bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”[29]
Kedua hadits di atas dengan jelas menunjukkan haramnya wanita yang menyerupai laki-laki, begitu pula sebaliknya, baik dalam berpakaian maupun hal lainnya.[30] Oleh karena itulah, para Ulama salaf melarang keras wanita yang memakai pakaian yang khusus bagi laki-laki. Dari Ibnu Abi Mulaikah bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anha pernah ditanya tentang wanita yang memakai sendal (yang khusus bagi laki-laki), maka ia menjawab, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang menyerupai laki-laki”.[31]
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah pernah ditanya tentang seseorang yang memakaikan budak perempuannya sarung yang khusus untuk laki-laki, maka ia berkata, “Tidak boleh dia memakaikan padanya pakaian (model) laki-laki, tidak boleh dia menyerupakannya dengan laki-laki”.[32]
Termasuk yang dilarang oleh para ulama dalam hal ini adalah wanita yang memakai sepatu olahraga model laki-laki, memakai jaket dan celana panjang model laki-laki.[33] Demikian pula perlu diingatkan, bahwa larangan wanita yang menyerupai laki-laki dan sebaliknya, itu berlaku secara mutlak di manapun berada, baik di dalam rumah maupun di luar, karena hal ini diharamkan pada zatnya dan bukan sekedar karena menampakkan aurat.[34]
Kedelapan. Termasuk tabarruj, wanita yang memakai pakaian syuhrah, yaitu pakaian yang modelnya berbeda dengan pakaian wanita pada umumnya, dengan tujuan untuk membanggakan diri dan populer.[35]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya “Barangsiapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan memakaikan kepadanya pakaian kehinaan pada hari kiamat (nanti), kemudian dinyalakan padanya api neraka”.[36]
Kaum wanita yang paling sering terjerumus dalam penyimpangan ini, karena sikap mereka yang selalu ingin terlihat menarik secara berlebihan serta ingin tampil istimewa dan berbeda dengan yang lain. Oleh karena itu, mereka memberikan perhatian sangat besar kepada perhiasan dan dandanan untuk menjadikan indah penampilan. Berapa banyak wanita yang tidak segan-segan mengorbankan biaya, waktu dan tenaga yang besar hanya untuk menghiasi dan memperindah model pakaiannya, supaya ia tampil beda dengan pakaian yang dipakai wanita-wanita lainnya. Sehingga ia pun bisa menjadi terkenal, bahkan model pakaiannya menjadi ‘trend’ di kalangan para wanita dan dia disebut sebagai wanita yang tahu model pakaian jaman sekarang. Perbuatan ini termasuk tabarruj karena wanita yang memakai pakaian ini ingin memperlihatkan keindahan dan perhiasannya yang seharusnya disembunyikan. Larangan ini juga berlaku secara mutlak, di dalam maupun di luar rumah, karena ini diharamkan pada zatnya.[37]
TABARRUJ DALAM BERPAKAIAN
Sebagaimana keterangan di atas, bahwa tujuan disyariatkannya jilbab bagi perempuan adalah untuk menutupi perhiasan dan kecantikan ketika mereka berada di luar rumah atau di hadapan laki-laki yang bukan suami atau mahramnya. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, wanita yang keluar rumah memakai pakaian atau jilbab yang dihiasi dengan bordiran, renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya, ini jelas merupakan bentuk tabarruj, karena pakaian (jilbab) ini menampakkan perhiasan dan keindahan yang seharusnya disembunyikan. Meskipun pakaian atau jilbab tersebut dari bahan kain yang longgar dan tidak tipis, akan tetapi kalau dihiasi dengan hiasan-hiasan yang menarik perhatian atau dengan model yang justru semakin memperindah penampilan wanita yang mengenakannya, maka ini jelas termasuk tabarruj.
Kalau ditanyakan kepada wanita yang menambahkan bordiran, renda, ukiran, motif dan yang sejenisnya pada pakaian luarnya, apa tujuannya ? Tentu akan dijawab supaya indah, untuk hiasan, supaya keren, dan kalimat lain yang senada.
Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan ditambahkannya bordiran, renda, ukiran dan motif pada pakaian wanita adalah untuk hiasan dan keindahan, sedangkan syariat Islam memerintahkan bagi para wanita untuk menutupi dan tidak memperlihatkan perhiasan dan keindahan mereka kepada selain mahram atau suami mereka. Bahkan kalau merujuk pada pengertian bahasa, kita dapati dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI online) bahwa motif atau renda atau bordir juga disebut sebagai hiasan. Pakaian dan jilbab seperti ini telah disebutkan oleh para Ulama sejak dahulu sampai sekarang, disertai dengan peringatan keras tentang keharamannya.
Imam adz-Dzahabi rahimahullah berkata,[38] “Termasuk perbuatan (buruk) yang menjadikan wanita dilaknat (dijauhkan dari rahmat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) yaitu memperlihatkan perhiasan, emas dan mutiara (yang dipakainya) di balik penutup wajahnya, memakai wangi-wangian dengan kesturi atau parfum ketika keluar (rumah), memakai pakaian yang diberi celupan warna (yang menyolok), kain sutra dan pakaian pendek disertai dengan memanjangkan pakaian luar, melebarkan dan memanjangkan lengan baju, serta hiasan-hiasan lainnya ketika keluar (rumah). Semua ini termasuk tabarruj yang dibenci oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala , dan pelakunya dimurkai oleh-Nya di dunia dan akhirat. Oleh karena perbuatan inilah, yang telah banyak dilakukan oleh para wanita, sehingga Rasûllulâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang mereka, yang artinya, ‘Aku melihat neraka, maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita’.”[39]
Perhatikan ucapan Imam adz-Dzahabi rahimahullah ini, bagaimana beliau menjadikan perbuatan tabarruj yang dilakukan banyak wanita adalah termasuk sebab yang menjadikan mayoritas mereka termasuk penghuni neraka,[40] –na’ûdzu billâhi min dzâlik.
Imam Abul Fadhl al-Alûsi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, sesungguhnya ada sesuatu yang menurutku termasuk perhiasan wanita yang dilarang untuk dinampakkan, yaitu perhiasan yang dipakai oleh kebanyakan wanita yang terbiasa hidup mewah pada jaman kami di atas pakaian luar mereka dan mereka jadikan sebagai hijab waktu keluar rumah. Yaitu kain penutup tenunan dari (kain) sutra yang berwarna-warni, memiliki ukiran (bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menyilaukan mata. Aku memandang para suami dan wali yang membiarkan isteri-isteri mereka keluar rumah dengan perhiasan tersebut, sehinga mereka berjalan di kumpulan kaum laki-laki yang bukan mahram dengan perhiasan tersebut. Ini termasuk (hal yang menunjukkan) lemahnya kecemburuan (dalam diri para suami dan wali mereka), dan sungguh kerusakan ini telah tersebar merata”.[41]
Fatwa Lajnah Daimah (Perkumpulan Ulama Besar Ahli Fatwa) di Arab Saudi, yang diketuai Syaikh ‘Abdul ‘Azîz Alu asy-Syaikh, beranggotakan: Syaikh Shâlih al-Fauzân, Syaikh Bakr Abu Zaid dan Syaikh Abdullâh bin Gudayyan. Fatwa no. 21352, tertanggal 9/3/1421 H, isinya sebagai berikut:
’Abayah (baju kurung/baju luar) yang disyariatkan bagi wanita adalah jilbab yang terpenuhi padanya tujuan syariat Islam (dalam menetapkan pakaian bagi wanita), yaitu menutupi (perhiasan dan kecantikan wanita) dengan sempurna dan menjauhkan (wanita) dari fitnah. Atas dasar ini, maka ‘abayah wanita harus terpenuhi padanya sifat-sifat (syarat-syarat) berikut: …Yang ke empat, ‘abayah tersebut tidak diberi hiasan-hiasan yang menarik perhatian. Oleh karena itu, ‘abayah tersebut harus polos dari gambar-gambar, hiasan (pernik-pernik), tulisan-tulisan (bordiran/sulaman) maupun simbol-simbol”.[42]
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin, pernah diajukan kepada beliau pertanyaan berikut: “Akhir-akhir ini muncul di kalangan wanita (model) ‘abayah (pakaian luar/baju kurung) yang lengannya sempit dan di sekelilingnya (dihiasi) bordir-bordir atau hiasan lainnya. Ada juga sebagian ‘abayah wanita yang bagian ujung lengannya sangat tipis; bagaimanakah nasihat Syaikh terhadap permasalahan in?”
Beliau menjawab:
Dalam hal ini kita mempunyai kaidah penting, yaitu (hukum asal) dalam pakaian, makanan, minuman dan (semua hal yang berhubungan dengan) mu’amalah adalah mubah (boleh) dan halal. Siapapun tidak boleh mengharamkannya kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Oleh karenanya, jika kaidah ini telah kita pahami, dan ini sesuai dengan dalil dalam al-Qur’ân dan Sunnah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا
Dia-lah Allâh, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian. [al-Baqarah/2:29].
Dan Firman-Nya :
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللّٰهِ الَّتِيْٓ اَخْرَجَ لِعِبَادِهٖ وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزْقِۗ قُلْ هِيَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَّوْمَ الْقِيٰمَةِۗ
Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allâh yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat”. (al-A’râf/7:32), maka segala sesuatu yang tidak diharamkan oleh Allâh dalam perkara-perkara ini berarti itu halal. Inilah (hukum) asal (dalam masalah ini), kecuali jika ada dalil dalam syariat yang mengharamkannya, seperti haramnya memakai emas dan sutera bagi laki-laki, selain dalam hal yang dikecualikan, haramnya isbal (menjulurkan kain melewati mata kaki) pada sarung, celana, gamis dan pakaian luar bagi laki-laki, dan lain-lain.
Sehingga apabila kita terapkan kaidah ini untuk masalah ini, yaitu (hukum memakai) ‘abayah (model) baru ini, maka kami katakan, bahwa (hukum) asal pakaian (wanita) adalah dibolehkan, akan tetapi jika pakaian tersebut menarik perhatian atau (mengundang) fitnah, karena terdapat hiasan-hiasan bordir yang menarik perhatian (bagi yang melihatnya), maka kami melarangnya, bukan karena pakaian itu sendiri, tetapi karena pakaian itu menimbulkan fitnah.[43]
Di tempat lain beliau berkata, “Memakai ‘abayah (baju kurung) yang dibordir dianggap termasuk tabarruj (menampakkan) perhiasan, dan ini dilarang bagi wanita, sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاۤءِ الّٰتِيْ لَا يَرْجُوْنَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ اَنْ يَّضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجٰتٍۢ بِزِيْنَةٍۗ
Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), maka tidak ada dosa atas mereka untuk menanggalkan pakaian (luar) mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan. [an-Nûr/24:60].
Kalau penjelasan dalam ayat ini berlaku untuk perempuan-perempuan tua, maka terlebih lagi bagi perempuan yang masih muda.[44]
Syaikh Abu Mâlik Kamal bin as-Sayyid Salîm berkata, “Yang jelas merupakan pakaian wanita yang menjadi perhiasan baginya adalah pakaian yang dibuat dari bahan berwarna-warni atau berukiran (bordiran/sulaman berwarna) emas dan perak yang menarik perhatian dan menyilaukan mata”.[45]
Perlu untuk diingatkan, bahwa berdasarkan keterangan di atas, maka termasuk tabarruj yang diharamkan bagi wanita adalah membawa atau memakai beberapa perlengkapan wanita, seperti tas, dompet, sepatu, sendal, kaos kaki, dan lain-lain; jika perlengkapan tersebut memiliki bentuk, motif atau hiasan yang menarik perhatian, sehingga itu termasuk perhiasan wanita yang wajib untuk disembunyikan.
Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Memakai sepatu yang (berhak) tinggi (bagi wanita) tidak diperbolehkan, jika itu di luar kebiasaan (kaum wanita), membawa kepada perbuatan tabarruj, nampaknya (perhiasan) wanita dan membuatnya menarik perhatian (laki-laki), karena Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْاُوْلٰى
Dan janganlah kalian (para wanita) bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu. [al-Ahzâb/33:33].
Maka segala sesuatu yang membawa wanita kepada perbuatan tabarruj, nampak (perhiasan)nya dan tampil bedanya seorang wanita dari para wanita lain dalam hal mempercantik (diri), maka ini diharamkan dan tidak boleh bagi wanita”.[46]
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1434H/2013M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat an-Nihâyatu fi Garîbil-Hadîtsi wal-Atsar, 1/289 dan al-Qâmûshul-Muhîth, hlm. 231.
[2] Fathul-Qadîr, 4/395.
[3] Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 663.
[4] Hirâsatul-Fadhîlah, hlm. 44-45.
[5] HR Ibnu Khuzaimah, no. 1685; Ibnu Hibban, no. 5599; dan at-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Ausath, no. 2890; dinyatakan shahîh oleh Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan Syaikh al-Albani dalam Silsilatul-Ahâditsish-Shahîhah, no. 2688.
[6] Al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân, 14/174.
[7] At-Tabarruju wa Khatharuhu, hlm. 22.
[8] Majmû’ul-Fatâwa, Syaikh Bin Baz, 4/308.
[9] Al-Fatâwa al-Imârâtiyyah.
[10] Al-Qur’ân Surat al-Ahzâb ayat 33, 34 dan Surat ath-Thalâq ayat 1.
[11] Hirâsatul Fadhîlah, hlm. 87.
[12] At-Tabarruju wa Khatharuhu, hlm. 6-7.
[13] Majmû’ul Fatâwa, Syaikh Bin Baz, 5/227.
[14] Ringkasan dari pembahasan dalam al-‘Ajabul-‘Ujâb fi Asykâlil-Hijâb, hlm. 87-109), tulisan Syaikh ‘Abdul-Malik bin Ahmad Ramadhani, dengan sedikit tambahan.
[15] Lihat Fatâwa Lajnah Daimah, 17/141.
[16] Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 120.
[17] Hadits pertama riwayat ath-Thabrani dalam al-Mu’jamush-Shagîr, hlm. 232; dinyatakan shahîh sanadnya oleh Syaikh al-Albani, dan hadits kedua riwayat Imam Muslim, no…..?
[18] Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 125-126.
[19] Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 131.
[20] Lihat Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 132-133. Termasuk dalam hal ini adalah jilbab dari kain kaos yang lentur dan jelas membentuk anggota tubuh wanita yang memakainya, wallahu a’lam.
[21] Fatâwa al-Lajnah ad-Dâimah, 17/141.
[22] HR Ahmad, 5/205, dan lain-lain; dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani dalam Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 131.
[23] Riwayat Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqâtul-Kubra, 8/252; dinyatakan shahîh oleh Syaikh al-Albani dalam Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 127.
[24] HR an-Nasa’i, no. 5126; Ahmad, 4/413; Ibnu Hibban, no. 4424, dan al-Hakim, no. 3497; dinyatakan shahîh oleh Imam Ibnu Hibban, al-Hakim dan adz-Dzahabi, serta dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.
[25] Lihat Silsilatul-Ahâdîtsish-Shahîhah, no. 1031.
[26] Dinukil oleh Syaikh al-Albani dalam Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 139.
[27] I’lâmul-Muwaqqi’în, 3/178.
[28] HR Abu Dâwud, no. 4098; Ibnu Mâjah, 1/588; Ahmad, 2/325; al-Hâkim, 4/215; dan Ibnu Hibbân, no. 5751; dinyatakan shahîh oleh Ibnu Hibbân, al-Hakim, adz-Dzahabi dan Syaikh al-Albâni. Lihat Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 141.
[29] HSR al-Bukhâri, no. 5546.
[30] Lihat Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 146-147.
[31] HR Abu Dawud, no. 4099; dan dinyatakan shahîh oleh Syaikh al-Albani.
[32] Masa-ilul Imam Ahmad, karya Imam Abu Dawud, hlm. 261.
[33] Lihat Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 150; Syarhul-Kabâ’ir, hlm. 212, karya Syaikh al-‘Utsaimin, dan al-‘Ajabul-‘Ujâb fi Asykâlil-Hijâb, hlm. 100-101.
[34] Lihat keterangan Syaikh al-Albani dalam Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 38 dan Syaikh al-‘Utsaimin dalam Syarhul-Kaba-ir, hlm. 212.
[35] Lihat Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 213.
[36] HR Abu Dawud, no. 4029; Ibnu Majah, no. 3607, dan Ahmad, 2/92; dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani.
[37] Lihat keterangan Syaikh al-Albani dalam Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 38.
[38] Kitab al-Kabâ-ir, hlm. 134.
[39] HSR al-Bukhâri, no. 3069 dan Muslim, no. 2737.
[40] Lihat keterangan Syaikh al-Albâni dalam Jilbâbul Mar’atil Muslimah, hlm. 232.
[41] Rûhul-Ma’âni, 18/146.
[42] Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah, 17/141.
[43] Liqa-âtil-Bâbil-Maftûh, 46/17.
[44] Majmû’ul-Fatâwa war-Rasâ-il, 12/232.
[45] Shahîhu Fiqhis-Sunnah, 3/34.
[46] Majmû’atul as-ilatin Tahummul ‘Usratal-Muslimah, hlm. 10.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4271-berhias-yang-dilarang.html