Sahabat Nabi Muhammad Dalam Ideologi Syiah
SAHABAT NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM DALAM IDIOLOGI SYI’AH
Oleh
Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri Lc, MA
SAHABAT NABI MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM ADALAH GENERASI PILIHAN
Sebelum kita menyimak kedudukan dan keadaan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pandangan Syi’ah, terlebih dahulu, kami paparkan pandangan Ahlussunnah wal Jamâ’ah tentang hal itu.
Sahabat para nabi dan rasul adalah manusia-manusia pilihan. Mereka dipilih Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk meneladani dan membela dakwah para nabi dari hambatan dan rintangan. Pengorbanan mereka tidak dapat diragukan lagi. Sehingga tidak mengherankan bila mereka menjadi generasi paling unggul pada setiap masa.
Sahabat Nabi Nuh Alaihissallam yang ikut serta dalam perahunya adalah generasi paling unggul dari umatnya. Sahabat Nabi Musa Alaihissallam yang ikut serta bersama beliau Alaihissallam ketika menyeberangi laut Merah adalah generasi paling unggul dari umatnya. Sahabat Nabi ‘Isa Alaihisallam yang dengan gagah membelanya dari makar musuh-musuh adalah generasi paling istimewa dari umatnya. Demikian pula halnya dengan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka adalah generasi paling unggul dari umat Islam.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا مِنْ نَبيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِي أمَّةٍ قَبْلِي إلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأصْحَابٌ يَأخُذُونَ بِسنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ، ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لاَ يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لا يُؤْمَرونَ ، فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلسَانِهِ فَهُوَ مُؤمِنٌ , وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلبِهِ فَهُوَ مُؤمِنٌ ، وَلَيسَ وَرَاءَ ذلِكَ مِنَ الإيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Tidak ada seorang nabipun yang diutus kepada suatu umat sebelumku, kecuali ia memiliki para pengikut dan sahabat yang setia, yang mengikuti ajarannya dan mematuhi perintahnya. Kemudian datang setelah mereka itu suatu generasi yang mengatakan sesuatu yang tidak mereka lakukan, dan melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa memerangi mereka dengan tangannya, maka dia itu orang yang beriman, dan barangsiapa memerangi mereka dengan lisannya maka dia itu orang yang beriman, dan barangsiapa memerangi mereka dengan hatinya maka dia itu orang yang beriman. Setelah itu, tidak ada keimanan walau hanya sebesar biji sawipun. [HR Muslim]
Bahkan sahabat-sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapat gelar sangat istimewa. Sahabat Nabi Muhammad telah dinyatakan oleh Allâh Azza wa Jalla sebagai umat terbaik yang pernah terlahir ke dunia.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar serta beriman kepada Allah. [Ali Imran/3:110].
Sejarah umat Islam telah membuktikan hal ini. Para sahabat Nabi telah mengorbankan segala sesuatu yang mereka miliki guna mendakwahkan dan menyebarkan agama Islam. Dengan hati tulus dan amal shalih, mereka berhasil mewujudkan pertolongan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam dunia nyata.
Walaupun berjumlah sedikit dan dengan perlengkapan seadanya, mereka berhasil menundukkan dunia dan menanamkan agama Islam di berbagai penjuru dunia. Semua itu berhasil mereka capai tidak lebih dari tiga puluh tahun. Waktu yang sangat singkat bila dibanding dengan keberhasilan yang demikian luas dan cemerlang.
Berkat keikhlasan dan perjuangan mereka yang demikian besar, Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan mereka balasan yang setimpal. Amalan mereka dilipatgandakan pahalanya, sampai-sampai tidak akan pernah ada seseorang selain mereka yang akan dapat menyamai kedudukan mereka di sisi Allâh.
لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَلَوْا أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، ما بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ ولا نَصِيفَهُ
Janganlah kamu mencela sahabatku, karena andai kamu menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, niscaya pahalanya tidak akan menyamai pahala sedekah mereka yang berupa bahan makanan dan hanya sejumlah dua cakupan kedua telapak tangan, (bahkan) tidak juga menyamai pahala sedekah segenggam makanan. [Muttafaqun ‘alaih]
Imam al-Baidhâwi asy-Syafi’i rahimahullah saat menjelaskan makna hadits ini, mengatakan, “Makna hadits ini, meskipun engkau menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, engkau tidak dapat menyamai pahala dan keutamaan yang diperoleh oleh para sahabat -meskipun mereka- hanya dengan menginfakkan makanan walau hanya sejumlah dua cakupan kedua telapak tangan atau satu cakupan saja. Sebab terjadinya perbedaan ini ialah, tingkat keikhlasan dan kejujuran yang jauh lebih besar yang menyertai sedekah para sahabat.”[1]
Demikianlah keimanan umat Islam sepanjang sejarah tentang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka memuliakan para sahabat, menjaga kehormatan mereka dan senantiasa mendoakan keridhaan untuk mereka. Bukan hanya sampai di situ, mereka juga dijadikan sebagai teladan dalam memahami dan mengamalkan al-Qur`ân dan as-Sunnah.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang meneladani mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allâh, dan Allâh menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. [at-Taubah/9:100].
Pada ayat ini Allâh Azza wa Jalla hanya menyebutkan tiga golongan manusia yang diridhai dan berhak masuk surga, yaitu: (1) orang-orang yang terdahulu masuk Islam dari kalangan Muhajirin, (2) orang-orang yang terdahulu masuk Islam dari kalangan Anshar, (3) orang-orang yang meneladani orang-orang yang terdahulu masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshar.
Inilah salah satu hal yang mendasari umat Islam menjadikan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan mereka dalam beragama. Sebagai imbalan atas keteladanan ini, umat Islam di sepanjang masa dan di manapun berada, mereka senantiasa berdoa kepada Allâh Azza wa Jalla memohonkan ampunan dan keridhaan untuk para sahabat. Setiap kali menyebut nama seorang sahabat Nabi Radhiyallahu anhum, umat Islam selalu mengiringinya dengan doa :
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ
Semoga Allâh senantiasa meridhainya atau semoga Allâh senantiasa meridhai mereka.
Fenomena ini sebagaimana digambarkan dalam firman Allâh Azza wa Jalla berikut :
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan orang-orang yang datang setelah mereka (Muhajirin dan Anshar) mereka berdoa: “Ya Rabb kami, berilah ampunan kami dan saudara-saudara kami yang telah lebih dahulu beriman daripada kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian terhadap orang-orang yang beriman ada dalam hati kami. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang“. [al-Hasyr/59:10].
Pada suatu hari Ali bin Husain Zainal Abidin -imam keempat dalam konsep imamah agama Syi’ah- didatangi oleh sebagian orang yang berasal dari Iraq. Selanjutnya mereka mencela sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu anhum. Seusai mereka menumpahkan celaannya kepada ketiga sahabat itu, Ali bin Husain berkata kepada mereka, “Tidakkah kalian kabarkan kepadaku, apakah kalian termasuk dari orang-orang Muhajirin terdahulu yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allâh Azza wa Jalla dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allâh dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar”. Merekapun menjawab, “Tidak,” Ali bin Husain pun kembali bertanya: “Apakah kalian termasuk ‘Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)”. Mereka pun menjawab, “Tidak.” Selanjutnya Ali bin Husain berkata, “Adapun bila kalian telah berlepas diri dari pengakuan (bukan) termasuk dari kedua golongan itu, maka aku bersaksi bahwa kalian tidak termasuk dari golongan orang-orang yang Allâh Azza wa Jalla nyatakan tentang mereka, ‘Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman’. Segera keluarlah dari tempatku, semoga Allâh menimpakan (siksa) kepada kalian”[2].
Demikianlah sekelumit gambaran tentang keimanan dan etika umat Islam terhadap sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan selanjutnya, saya mengajak pembaca untuk bersama-sama mengamati keimanan dan etika agama Syi’ah terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
SAHABAT NABI MUHAMMAD DALAM PANDANGAN IDIOLOGI SYI’AH
Untuk menggambarkan keimanan mereka, saya mengajak Anda untuk merenungkan beberapa poin berikut. Saya nukilkan dari beberapa referensi terpercaya agama Syi’ah.
1. Poin Pertama, Sepeninggal Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Para Sahabat Menjadi Murtad.
Syaikh Muhammad Ridha al-Muzhafar, wafat tahun 1381H mengatakan, “Setiap orang yang meyakini bahwa al-Qur`ân al-Karim adalah wahyu dari Allâh, pengembannya tidak berkata-kata atas dasar hawa nafsu, sebagai juru selamat umat manusia, (maka) dia tidak akan ragu bahwa kejadian sejarah ini (wafatnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) merupakan pembatas antara dua fase yang berlawanan. Fase pertama penuh dengan kesungguhan menghadap kepada Allâh Azza wa Jalla dengan mengorbankan jiwa dan harta, sedangkan fase berikutnya (yaitu) fase berpaling membelakangi Allâh Azza wa Jalla . Dengan demikian, kita dihadapkan kepada fakta sejarah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggal, dan sudah barang tentu seluruh umat Islam (aku tidak tahu kalau sekarang) telah berpaling ke belakang (murtad)”[3].
Al-Kulaini dalam kitabnya, al-Kâfi meriwayatkan dari Humran bin A’ayun menuturkan, “Aku pernah berkata kepada Abu Ja’far (Muhammad bin Ali bin al-Husain, wafat tahun 114), “Semoga aku senantiasa menjadi tebusanmu. Betapa sedikitnya jumlah kita. Andai kita semua berkumpul untuk melahap seekor kambing, niscaya kita tidak kuasa untuk menghabiskannya,” maka Abu Ja’far pun menjawab: “Sudikah engkau aku ceritakan sesuatu yang lebih menakjubkan daripada itu ? Seluruh kaum Muhajirin dan Anshar telah pergi (murtad) kecuali tiga –beliau mengisyaratkan dengan tangannya- .”
Humran pun bertanya, “Lalu bagaimana halnya dengan ‘Ammar (bin Yasir)?”
Abu Ja’far menjawab: “Semoga Allâh merahmati ‘Ammar Abul-Yaqzhan, ia telah berbaiat, lalu ia mati syahid.”
Humran pun berkata dalam hatinya, “Apakah (ada) yang lebih utama dibandingkan (dengan) mati syahid ?” Maka Abu Ja’farpun memandangku, lalu berkata, “Mungkin engkau menganggapnya sama dengan mereka bertiga ? Mana mungkin ? Mana mungkin ?”[4]
Al-Majlisi (wafat pada tahun 1111 H) membawakan satu riwayat yang dengan lebih tegas lagi menyatakan kemurtadan para sahabat sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
Dari Sudair, ia meriwayatkan dari Abu Ja’far (Muhammad bin Ali bin al-Husain) Alaihissallam, “Dahulu, sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruh manusia murtad selama satu tahun, kecuali tiga orang.”
As-Sudair pun bertanya, “Siapakah ketiga orang tersebut : al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghiffâri, dan Salman al-Fârisi,” lalu dia berkata, “Mereka itulah orang-orang yang tetap kokoh dengan pendiriannya dan enggan untuk membaiat (Abu Bakar ash-Shiddiq, Pen.) hingga didatangkan Amirul-Mukminin (Ali bin Abi Thalib) Alaihissallam dalam keadaan terpaksa, lalu beliaupun berbaiat.”[5]
Syaikh Mufid (wafat tahun 413 H), juga meriwayatkan dari Abu Ja’far (Muhammad bin Ali bin al- Husain), “Seluruh manusia menjadi murtad sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kecuali tiga orang : al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghiffâri, dan Salman al Fârisi, kemudian setelah itu manusia mulai menyadari, dan kembali masuk Islam.”[6]
Pada riwayat lain, mereka menambah jumlah yang tidak murtad dan tetap mempertahankan keislamannya menjadi empat orang :
Mereka meriwayatkan dari Abu Ja’far, bahwa ia berkata, “Sesungguhnya tatkala Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, seluruh manusia kembali kepada kehidupan jahiliyyah, kecuali empat orang saja, yaitu Ali, al-Miqdad, Salman dan Abu Dzar).”[7]
Saudaraku, apa perasaan Anda tatkala membaca beberapa contoh riwayat yang termaktub dalam kitab-kitab terpercaya agama Syi’ah di atas?
Saya yakin, batin Anda menjerit, keimanan Anda menjadi berkobar ketika membaca riwayat-riwayat itu ? Betapa tidak ! Sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dinyatakan telah murtad, kecuali tiga orang saja.
Saudaraku, coba tenangkan perasaan Anda, lalu baca kembali dengan seksama riwayat-riwayat di atas. Tidakkah Anda mendapatkan hal yang aneh pada kedua riwayat tersebut ? Pada riwayat tersebut dinyatakan bahwa yang tetap berpegang teguh dengan keimanan dan keislamannya hanya ada tiga orang. Dan pada riwayat lainnya dijelaskan maksud dari ketiga orang tersebut, yaitu: al-Miqdad bin al Aswad, Abu Dzar al-Ghifâri, dan Salman al-Fârisi.
Bila demikian adanya, lalu bagaimana dengan Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu, Fathimah bintu Rasûlillâh Radhiyallahu anhuma, dan kedua putranya, yaitu al-Hasan dan al-Husain Radhiyallahu anhum ? Mungkinkah mereka termasuk yang murtad, karena yang dinyatakan tetap berpegang dengan keislamannya hanyalah tiga, dan mereka semua tidak termasuk dari ketiga orang tersebut ? Dan bagaimana pula kerabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lainnya, semisal: al-Aqil bin Abi Thalib, al-Abbas, dan lainnya ?
Demikianlah, fakta-fakta telah membuktikan, bahwa agama Syi’ah dengan berbagai dongeng anehnya ingin menyanjung Ahlul-Bait, akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka menjatuhkan nama baik Ahlul-Bait dan merendahkan kedudukannya.
Mungkin Anda berkata: Mungkin riwayat-riwayat semacam ini telah ditinggalkan oleh agama Syi’ah pada zaman sekarang. Riwayat-riwayat itu hanya ada pada referensi mereka terdahulu.
Saudaraku, praduga seperti di atas ternyata kurang tepat, dikarenakan beberapa hal berikut : (1) Riwayat-riwayat ini tetap termaktub dalam kitab-kitab referensi terpercaya agama Syi’ah tanpa ada upaya dari tokoh-tokoh mereka untuk mengingkarinya atau meluruskannya. (2) Berbagai riwayat ini ternyata masih dinukilkan dan dibawakan oleh para penulis buku dari kalangan agama Syi’ah yang hidup pada zaman sekarang. Sebagai misal: Silahkan baca buku al-Imam Ali, halaman 490, karya Ahmad ar-Rahmâni al-Hamadâni; dia adalah salah seorang penulis buku yang hidup pada zaman kita ini, dan mungkin sampai saat ini ia masih menghirup udara bebas, alias masih hidup. Juga silahkan baca buku Mu’jam Rijâlil-Hadits wa Tafshilu Thabaqâtir Ruwât, jilid 9/196 dan 19/346, karya as-Sayyid Abul-Qasim al-Musawi al-Khu’i (wafat tahun 1413 H).
Saudaraku, diantara yang membuktikan bahwa praduga Anda kurang tepat ialah beberapa ucapan Ruhullâh al-Khumaini, sebagai berikut, “Sesungguhnya pada kesempatan ini, kami tidak berkepentingan dengan dua Syaikh (Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab), dan dengan perilaku keduanya yang nyata-nyata menyelisihi al-Qur`ân, bermain-main dengan hukum Allâh, menghalalkan dan mengharamkan sesuka hatinya, serta kelaliman mereka terhadap Fathimah putri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh putranya. Akan tetapi kami hanya ingin mengisyaratkan kepada kejahilan mereka tentang hukum-hukum Allâh dan agama. Orang-orang bodoh, dungu, pendusta, lagi kejam -semacam mereka itu- tidak layak untuk duduk sebagai pemimpin atau dikatagorikan sebagai Ulil Amri.”[8]
Pada kesempatan lain, Ruhullâh al-Khumaini juga berkata, “Berikut saya akan bawakan beberapa sikap Umar yang menyelisihi ayat-ayat al-Qur`ân, untuk membuktikan bahwa sikap menyelisihi al-Qur`ân menurut mereka (para sahabat) adalah urusan sepele. Dan kami tekankan, bahwa mereka pasti akan menyelisihi al-Qur`ân, andai al-Qur`ân benar-benar membicarakan masalah al-Imamah (kepemimpinan)”[9].
Saudaraku, setelah mengetahui tiga hal ini, masihkah Anda beranggapan bahwa riwayat-riwayat di atas hanya ada pada zaman dahulu kala saja, adapun sekarang telah dilupakan ?
Mungkinkah masih ada diantara kita yang beranggapan bahwa penganut Syi’ah zaman sekarang telah berubah, sehingga layak bagi kita untuk bergandengan tangan dengan mereka?
2. Poin Kedua, Semasa Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Hidup, Para Sahabat Menyembunyikan Kemunafikan Dan Ambisi Kekuasaannya.
Salah seorang tokoh ahli tafsir agama Syi’ah yang bernama al-Maula Muhsin al-Faidh al- Kâsyâni (wafat tahun 1091 H), berkata: ”Dahulu, kebanyakan mereka (sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ) menyembunyikan kemunafikan, lancang terhadap Allâh dan berdusta atas Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berperilaku sombong lagi menampakkan permusuhan. Demikianlah keadaan manusia dari generasi ke generasi. Pada setiap generasi, mereka memiliki para pemimpin yang sesat, dan setiap generasi mengamalkan pendapat para pemimpin itu dan berhakim kepadanya. Dengan pendapat merekalah setiap generasi itu menjawab pertanyaan dan kepada pembesar-pembesar itu mereka sandarkan.”[10]
Pemimpin revolusi agama Syi’ah zaman sekarang, yaitu Ruhullâh al-Khumaini berkata, “Sesungguhnya Allâh Maha Suci dari perilaku meremehkan keadilan dan tauhid. Berdasarkan itu, maka Allâh berkewajiban untuk meletakkan prinsip-pinsip yang menjadi dasar bagi tegaknya idiologi ini sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan agar masyarakat tidak menjadi kebingungan dalam menentukan urusan mereka, dengan demikian mereka tidak menjadi mangsa empuk bagi orang-orang yang suka untuk memancing dalam air keruh yang senantiasa menanti-nantikan kesempatan.”[11]
Saudaraku, apa yang dirasakan sanubari Anda tatkala membaca ucapan dua tokoh terkemuka agama Syi’ah di atas ? Menurut hemat Anda, mungkinkah para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang benar-benar haus kekuasaan dan gila kedudukan, sebagaimana digambarkan oleh al-Khumaini ?
Mungkinkah masih ada keraguan pada diri Anda bahwa agama Syi’ah zaman sekarang adalah kepanjangan dari agama Syi’ah yang ada pada zaman dahulu ? Mungkinkah, Anda masih tidak mempercayai bahwa segala idiologi yang dianut oleh agama Syi’ah pada zaman dahulu hingga saat ini masih diajarkan dan diyakini oleh pengikut agama Syi’ah?
3. Poin Ketiga, Celaan Terhadap Seluruh al-Khulafa’ ar-Rasyidin Selain Ali bin Abi Thalib Dan al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhum.
Dari beberapa riwayat yang telah saya nukilkan di atas, dapat kita pahami bahwa agama Syi’ah meyakini bahwa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Dan selanjutnya sepeninggal Sahabat Ali Radhiyallahu anhu, yang berhak mengemban khilafah adalah keturunan beliau.
Karena idiologi agama Syi’ah demikian adanya, maka sebagai konsekwensinya, mereka meyakini bahwa kepemimpinan siapaun selain Sahabat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhum dan keturunannya adalah batil alias tidak sah. Bukan hanya tidak sah, kepemimpinan selain mereka dianggap sebagai dosa besar, bahkan dosa paling besar.
Tidak mengherankan bila salah satu misi utama Imam Mahdi mereka -yaitu imam mereka yang ke duabelas- adalah pembalasan dendam terhadap setiap orang yang pernah menjadi pemimpin umat Islam di dunia.
Abdullâh bin al-Mughirah meriwayatkan dari Abu Abdillâh (Ja’far ash-Shadiq Alaihisallam ), ia berkata: “Bila al- Qaim (imam ke duabelas) dari keturunan (Nabi) Muhammad telah bangkit, ia akan membangkitkan lima ratus orang dari orang-orang Quraisy, lalu ia akan memancung leher mereka. Lalu ia kembali membangkitkan lima ratus lainnya, dan memancung leher mereka juga. Ia kembali membangkitkan lima ratus lainnya; hal itu ia lakukan sebanyak enam kali.” Aku bertanya, “Apakah jumlah mereka mencapai sebanyak itu ?” – mungkin Abdullâh bin al-Mughirah keheranan, karena Khulafa’ ar-Rasyidin, Dinasti Umawiyyah, Abbasiyah dan seluruh penguasa umat Islam hingga zaman Ja’far ash-Shadiq tidak mencapai tiga ribu – Abu Abdillâh menjawab, “Ya, dari mereka dan juga dari pengikutnya.”[12]
Mungkin karena rasa dendam yang bergemuruh dalam dada Imam Mahdi versi agama Syi’ah (yaitu imam mereka yang ke duabelas) ini tidak juga kunjung padam, walau telah membantai tiga ribu manusia, iapun melampiaskan dendamnya kepada kedua Sahabat Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu Abu Bakar dan Umar bin al-Khaththab.
Saudaraku, saya harap Anda masih kuasa menahan ledakan-ledakan iman dalam dada Anda, sehingga Anda kuasa membaca riwayat yang dibawakan oleh mufti mereka pada abad ke-1111H, yaitu Muhammad Baqir al-Majlisi. Riwayat tersebut sangat panjang, dan berikut saya terjemahkan sebagian saja:
Al-Qâ’im (imam agama Syi’ah yang ke-12) berkata kepada seluruh hadirin: “Wahai seluruh makhluk, bukankah ini adalah kuburan kakekku, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”
Mereka pun menjawab: “Benar, wahai Imam Mahdi dari keluarga Muhammad”.
Dia kembali berkata: “Siapakah yang bersamanya dalam kuburan?”
Mereka pun menjawab: “Kedua sahabatnya dan kedua teman peristirahatannya, yaitu Abu Bakar dan Umar…..Lalu keduanya (Abu Bakar dan Umar) dikeluarkan dari kuburannya dalam keadaan segar dan utuh sebagaimana wujud aslinya. Lalu kain kafan yang membungkus mereka berdua disingkap, dan Imam Mahdi pun segera memerintahkan agar keduanya dinaikkan ke atas pohon besar yang telah kering dan rapuh, lalu keduanya disalib di atas pohon tersebut……. Selanjutnya Imam Mahdi menceritakan kepada seluruh hadirin kisah-kisah perilaku keduanya (Abu Bakar dan Umar) di setiap pedesaan dan perkampungan, sampai-sampai ia menceritakan tentang kisah pembunuhan Habil putra Nabi Adam Alaihissallam, pengobaran api atas Nabi Ibrâhim Alaihissallam, penjeblosan Nabi Yusuf Alaihissallam ke dalam sumur, tertahannya Nabi Yunus di dalam perut ikan, pembunuhan Nabi Yahya Alaihissallam, penyaliban Nabi Isa’ Alaihissallam , penyiksaan Jarjis dan Danial ‘alaihimussalâm, pemukulan Salman al-Fârisi, pengobaran api pada pintu Amirul-Mukminin (Ali bin Abi Thalib), Fathimah, al-Hasan, dan al-Husain ‘alaihimussalâm untuk membakar mereka berempat, pemukulan tangan ash-Shiddiqah al-Kubra Fathimah dengan cambuk, penendangan perut beliau hingga ia keguguran putranya yang bernama Muhsin, peracunan al-Hasan Alaihissallam , pembunuhan al-Husain Alaihissallam , pembantaian putra-putranya, para sepupunya, dan juga para pengikutnya, penawanan anak cucu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salllam, penumpahan darah kerabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , seluruh pertumpahan darah, seluruh perzinaan, seluruh perbuatan kotor, keji, nista, dosa, perbuatan lalim, kecurangan sejak zaman Nabi Adam Alaihissallam hingga hari kebangkitan Imam Mahdi kita Alaihissallam. Semua perbuatan itu beliau (imam agama Syi’ah yang ke-12) tuduhkan kepada keduanya (Abu Bakar dan Umar) dan keduanya juga mengakuinya. Selanjutnya Imam Mahdi memerintahkan agar keduanya dibalas atas segala tindak kelaliman yang pernah mereka berdua lakukan atas seluruh orang yang hadir kala itu. Selanjutnya Imam Mahdi menyalib keduanya di atas pohon itu, dan ia memerintahkan api yang keluar dari perut bumi untuk membakar keduanya beserta pohon itu. Lalu ia memerintahkan air untuk berhembus menaburkan debu keduanya di lautan”.
Al-Mufaddhal (perawi kisah ini) berkata kepada Imam Mahdi: “Wahai tuanku, apakah hukuman itu adalah hukuman terakhir bagi keduanya?”
Ia menjawab: “Mustahil, wahai Mufaddhal, sungguh demi Allah, as-Sayyid al-Akbar Muhammad Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ash-Shiddiq al-Akbar Amirul-Mukminin (Ali bin Abi Thalib), Fathimah, al-Hasan, al- Husain, dan seluruh imam ‘alaihimussalâm, dan seluruh orang yang benar-benar beriman dan juga seluruh orang yang benar-benar kafir, pasti akan hadir, dan selanjutnya beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) pasti akan membalaskan mereka semua terhadap mereka berdua, sampai-sampai mereka berdua setiap sehari-semalam akan dibunuh sebanyak seribu kali”[13].
Saudaraku, perhatikanlah riwayat yang dibawakan mufti Syi’ah ini. Sungguh suatu pembalasan yang sangat keras, dan hukuman yang sangat berat. Walau demikian, apakah Anda kira dongeng tentang hukuman mereka berdua yang telah dikisahkan dalam riwayat ini telah memuaskan jiwa dendam agama Syi’ah terhadap kedua khalifah Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini?
Pembalasan yang demikian dahsyat, ternyata belum cukup memuaskan jiwa pendendam mereka. Oleh karena itu, merekapun masih merasa untuk meningkatkan dongeng siksaan yang akan ditimpakan kepada Sahabat Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu.
Tokoh mereka yang bernama as-Sayyid Ni’matullâh al-Jazâ’iri menyatakan:
“Telah disebutkan dalam riwayat tokoh kita, bahwasannya kelak setan akan dibelenggu dengan tujuh puluh belenggu yang terbuat dari besi Jahannam, lalu ia akan digiring menuju alam Mahsyar. Kala itu, setan memandang dan melihat seorang laki-laki di hadapannya yang digiring oleh Malaikat Adzab, sedangkan ditengkuknya terpasang seratus dua puluh belenggu dari belenggu-belenggu Jahannam. Menyaksikan pemandangan itu, setan merasa keheranan, lalu mendekatinya, dan berkata: ‘Gerangan apa yang dilakukan oleh lelaki sial itu, sampai-sampai ia lebih berat siksanya dariku, padahal aku telah menyesatkan seluruh manusia dan menjerumuskan mereka ke dalam kebinasaan?’ Umar pun menjawab pertanyaan setan dengan berkata: ‘Aku tidak berbuat apapun selain merebut khilafah (kekuasaan) dari Ali bin Abi Thalib’.”[14]
Demikian pula Khalifah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menantunya dua kali, yaitu Utsman bin Affan Radiyallahu anhu, beliau Radhiyallahu anhu tidak luput pula dari lisan tokoh-tokoh agama Syi’ah. Coba, Anda tebak, kira-kira tuduhan apa yang dilemparkan kepada beliau Radhiyallahu anhu?
Syaikh Mufid (wafat tahun 413 H) tanpa rasa sungkan sama sekali telah menuduh Utsman bin Affan Radhiyallahu anhu, menantu Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang munafik. Simaklah ucapannya berikut ini:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkannya karena secara lahir ia adalah seorang muslim, lalu dikemudian hari ia berubah, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi dikemudian hari. Ini adalah tanggapan sebagian ulama’ kita.
Dan menurut pendapat lainnya: Ia menikahkannya berdasarkan keadaannya yang nampak secara lahir, sedangkan batinnya tidak diketahui oleh Nabi. Dan bukan hal yang aneh bila Allâh tidak memberitahu Nabi-Nya tentang kemunafikan banyak dari orang-orang munafik…. Dan mungkin saja, Allâh Azza wa Jalla membolehkan Nabi-Nya untuk menikahkan (putrinya) dengan lelaki yang secara lahir adalah seorang muslim, walaupun ia telah mengetahui bahwa sebenarnya secara batin lelaki itu adalah seorang munafiq, dan ini adalah kekhususan untuk beliau saja.[15]
Mufti agama Syi’ah pada abad ke 11 H, yaitu Muhammad Baqir al-Majlisi berkata tentangnya, “Sungguh telah disebutkan dalam berbagai riwayat yang ada pada referensi kita bahwa Utsman telah melindungi al-Mughirah bin Abil-‘Ash, padahal Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang hal itu. Sebagaimana beliau juga telah melaknat orang yang melakukannya, memberi makan, minum kepadanya dan juga menghalalkan darahnya. Sedangkan Utsman telah melakukan semua perbuatan tersebut. Sebagaimana Utsman juga telah membunuh Ruqayyah bintu Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan berzina dengan budak wanita miliknya (Ruqayyah).”[16]
Saudaraku, Anda pasti menjadi berang dan muak, dan mungkin saja menjadi benci terhadap para penganut agama Syi’ah. Menurut hemat saya, sikap Anda ini tidak terlalu berlebihan, karena Anda adalah seorang Muslim yang taat beragama dan mencintai generasi pendahulu Anda, sedangkan agama Syi’ah senantiasa menghina dan memfitnah generasi idola Anda, yaitu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Saudaraku, saya yakin Anda lebih mencintai sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah memperjuangkan Islam hingga berhasil menguasai dunia, dibanding tokoh-tokoh agama Syi’ah yang pandai melakukan taqiyyah (bermuka dua), dan hobi berfoya-foya dengan kaum wanita dengan kedok mut’ah? Oleh karena itu, saya yakin Anda tidak akan pernah mempercayai berbagai bualan agama Syi’ah tentang para sahabat yang nyata-nyata telah diridhai dan dinyatakan sebagai generasi yang unggul oleh Allâh Azza wa Jalla :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar serta beriman kepada Allâh. [Ali Imran/3:110].
Saya yakin, Anda seorang Muslim yang cerdik dan tidak terpercaya oleh tetesan air mata buaya agama Syi’ah yang mengesankan diri sebagai penentang Zionis dan Amerika. Saya yakin, kehormatan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih Anda imani dibanding propaganda murahan dan permainan media massa Barat yang mengesankan kepada dunia Islam bahwa agama Syi’ah adalah musuh bebuyutan mereka.
Walau demikian, tidak ada salahnya bila Anda sedikit meluangkan waktu untuk menyaksikan sendiri keberingasan buaya darat ini, yang pandai meneteskan air matanya. Simaklah penuturan pemimpin revolusi agama Syi’ah di Iran, yaitu Ruhullâh al-Khumaini, tentang para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Pada kesempatan lain, Ruhullâh al-Khumaini dengan tanpa rasa segan atau malu menyatakan, “Sesungguhnya kita tidak sudi untuk beribadah kepada Sesembahan yang telah mendirikan suatu bangunan (tatanan masyarakat) yang megah demi tegaknya peribadatan, keadilan dan kehidupan beragama, selanjutnya Dia sendiri yang menghancurkannya. Dia telah mendudukkan Yazid (bin Mu’awiyyah, Pen.), Mu’awiyyah (bin Abi Sufyan, Pen.), Utsman (bin Affan, Pen.) dan para diktator lainnya sebagai para pemimpin masyarakat. Sebagaimana halnya Dia telah melalaikan masa depan umat sepeninggal Nabi-Nya.[17]
Keyakinan inilah yang mendasari Ruhullâh al-Khumaini untuk tidak mengakui kekhilafahan Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab dan Utsman bin Affan Radhiyallahu anhum, sehinga ia mengatakan bahwa pemerintahan Islam hanya ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib saja.
Al-Khumaini berkata, “Telah terbukti secara syari’at dan nalar, bahwa segala sesuatu yang urgen pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga pada masa Imam Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib, berupa adanya pemerintahan, hingga hari ini tetap saja urgen.”[18]
Pada halaman selanjutnya, al-Khumaini juga berkata, “Tidak ada seorangpun yang meragukan urgensi kesinambungan pemerintahan sepeninggal Rasûlullâh. Semuanya menyepakati hal itu. Perselisihan hanya terjadi pada figur yang menjalankannya. Sungguh pemerintahan dengan seluruh lembaga perundang-undangan dan pelaksananya, benar-benar ada sepeninggal Rasul, dan secara khusus pada masa Amirul-Mukminin Ali, tanpa ada keraguan sedikitpun tentangnya.”[19]
Demikianlah komentar pemimpin revolusi agama Syi’ah yang disanjung-sanjung oleh seluruh penganut agama Syi’ah zaman sekarang. Dia menganggap masa pemerintahan ketiga khalifah Nabi Shallallahu ‘alaihi was allam, yaitu Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu anhum sebagai masa-masa vakum, tanpa ada pemerintahan.
Bila demikian adanya, akankah masih ada dari kita yang menyatakan bahwa celaan terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya terjadi pada zaman dahulu saja ? Jawabnya, ternyata tidak, bahkan berkelanjutan hingga kini.
Apa yang saya paparkan di atas, menjadi alasan bagi Imam ‘Âmir bin Syurahil asy-Sya’bi untuk berkata tentang sekte Syi’ah :
Kaum Yahudi dan Nasrani memiliki satu kelebihan bila dibandingkan dengan agama Syi’ah. Bila dikatakan kepada kaum Yahudi: Siapakah orang terbaik dari penganut agamamu ? Niscaya mereka menjawab, “Tentu para sahabat Nabi Musa. Dan bila dikatakan kepada kaum Nasrani, “Siapakah orang terbaik dari penganut agamamu ?” Niscaya mereka menjawab, “Tentu para sahabat sekaligus pengikut setia Nabi ‘Isa.” Akan tetapi bila dikatakan kepada agama Rafidhah (Syi’ah), “Siapakah orang terjelek dari penganut agamamu ?” Niscaya mereka menjawab, “Tentu para sahabat sekaligus pengikut setia Nabi Muhammad.”
Itulah sekelumit pemaparan tentang para shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pandangan idilogi syi’ah. Sebuah pandangan yang sangat jauh berbeda dengan pandangan Ahlussunnah wal jama’ah. Perbedaan cara pandang inilah yang mengakibatkan kaum Muslimin tidak mungkin bisa bersatu dengan mereka. Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa memberikan kekuatan kepada kita untuk istiqamah di atas al-haq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVII/1435H/2014M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
________
Footnote
[1] Fathul-Bâri, Ibnu Hajar al-Asqalâni, 7/34
[2] Kasyful-Ghummah fî Ma’rifatil-A’immah, Ali bin Isa al-Arbili (wafat tahun 693 H), jilid 2/291.
[3] As-Saqifah, oleh Muhammad Ridha al-Muzhaffar, hlm. 23-24.
[4] Al-Kâfi, al-Kulaini (2/244) dan Bihârul-Anwâr, oleh al-Majlisi (22/345).
[5] Bihârul-Anwâr (22/3510 dan Tafsir Nûr ats-Tsaqalain, karya Abdu Ali bin Jum’ah al-‘Arusy al- Huwaizi (1/396).
[6] Al-Ikhtishash, karya asy-Syaikh Mufid, hlm. 6.
[7] Tafsir al-‘Ayyasyi (1/199), karya an-Nadhir Muhammad bin Mas’ud as-Samarqandi (wafat th. 320 H) dan Bihârul-Anwâr (22/333).
[8] Kasyful-Asrâr, Ruhullâh al-Khumaini, hlm. 126-127.
[9] Kasyful-Asrâr, hlm. 135.
[10] At-Tafsir ash-Shâfiy, oleh al-Maula Muhsin al-Faidh al-Kâsyâni, 1/9.
[11] Kasyful-Asrâr, hlm. 123.
[12] Al-Irsy-ad, oleh asy-Syaikh al-Mufid, 2/383
[13] Bihârul-Anwâr, 53/12-14.
[14] Al-Anwar an-Nu’maniyyah, 1/81-82.
[15] Al-Masâ’il as-Sarawiyyah, asy-Syaikh Mufid, 94.
[16] Bihârul-Anwâr, 31/174.
[17] Kasyful-Asrâr, hlm. 123.
[18] Al-Hukumah al-Islamiyyah, Ruhullâh al-Khumaini, hlm. 26.
[19] Ibid. hlm. 27.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4108-sahabat-nabi-muhammad-shallallahu-alaihi-wa-sallam-dalam-ideologi-syiah.html