Shalawat Nariyah Dalam Timbangan
SHALAWAT NARIYAH DALAM TIMBANGAN
Oleh
Ustadz Abdullah Zaen, Lc, MA
Keutamaan Membaca Shalawat
Salah satu amalan istimewa dalam ajaran Islam yang dijanjikan pahala berlipat ganda adalah membaca shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Banyak nash (dalil) dari al-Qur’ân maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memotivasi untuk memperbanyak amalan mulia ini. Di antaranya :
Firman Allâh Azza wa Jalla :
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Sesungguhnya Allâh dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya [al-Ahzâb/33:56]
Imam Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsirnya[1], “Allâh Azza wa Jalla memberitahukan kepada para hamba-Nya kedudukan Rasûlullâh di sisi-Nya di hadapan para malaikat. Allâh Azza wa Jalla memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan mereka, begitu pula mereka bershalawat kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Allâh Azza wa Jalla memerintahkan para penghuni bumi untuk bershalawat dan mengucapkan salam bagi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berpadu pujian para penghuni langit dengan para penghuni bumi semuanya untuk beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .”
Dalam hadits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
صَلُّوا عَلَيَّ؛ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
Bershalawatlah kalian untukku. Sesungguhnya barang siapa bershalawat untukku satu kali, niscaya Allâh akan bershalawat untuknya sepuluh kali [HR. Muslim 1/288-289 no. 384]
Dalam Tuhfah al-Ahwadzi, al-Mubârakfûri rahimahullah menjelaskan bahwa maksud dari shalawat Allâh Azza wa Jalla untuk para hamba-Nya adalah Allâh merahmati mereka dan melipatgandakan pahalanya.
Dan masih banyak dalil lain yang menunjukkan keutamaan membaca shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah, tidak mengherankan jika dari dulu, para ulama Islam berlomba-lomba menulis buku khusus guna memaparkan keutamaan membaca shalawat. Contohnya, Fadhlush Shalât ‘alâ an-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya Imam Ismâ’il bin Ishâq al-Qâdhi (199-282 H), Jalâ’ul Afhâm fî Fadhlish Shalât wa as-Salâm ‘alâ Muhammadin Khairil Anâm karya Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H) dan lain-lain.[2]
Ikhlas dan Meneladani Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam Dalam Bershalawat
Dari keterangan di atas, nampak begitu jelas bahwa membaca shalawat merupakan ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Dan sebagaimana telah diketahui bersama, berdasarkan dalil al-Qur’ân dan Sunnah serta keterangan para Ulama, bahwa setiap ibadah akan diterima di sisi Allâh Azza wa Jalla kalau memenuhi dua syarat. Yakni dijalankan secara ikhlas karena Allâh dan sesuai dengan tuntunan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Fakhruddîn ar-Râzy (544-606 H) menyimpulkan dua syarat sah ibadah tersebut dari firman Allâh Azza wa Jalla :
وَمَنْ اَرَادَ الْاٰخِرَةَ وَسَعٰى لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ كَانَ سَعْيُهُمْ مَّشْكُوْرًا
Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya, sementara ia juga seorang mukmin; maka mereka itu adalah orang-orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik. [al-Isrâ’/17:19]
Kata beliau rahimahullah, “Syarat pertama, mengharapkan pahala akhirat dari amalannya. Jika niat ini tidak ada maka dia tidak akan memetik manfaat dari amalannya … Sebab Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya. [HR. Bukhari, 1/9 no. 1 – al-Fath]
Juga karena tujuan beramal adalah untuk menerangi hati dengan mengenal Allâh serta mencintai-Nya. Ini tidak akan tercapai kecuali jika seseorang meniatkan amalannya guna beribadah kepada Allâh dan meraih ketaatan pada-Nya.
Syarat kedua, ada dalam firman Allâh Azza wa Jalla , yang artinya, “berusaha melakukan amalan yang mengantarkan kepadanya” maksudnya adalah hendaknya amalan yang diharapkan bisa mengantarkan pada akhirat itu adalah amalan yang memang bisa mewujudkan tujuan tersebut. Dan suatu amalan tidak akan dianggap demikian, kecuali jika termasuk amal ibadah dan ketaatan. Banyak orang yang mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla dengan melakukan amalan-amalan yang batil!”. [3]
Imam Ibn Katsîr (700-774 H) mempertegas, “Agar amalan diterima, maka harus memenuhi dua syarat. Pertama, ikhlas karena Allâh semata dan kedua, benar sesuai syariat. Manakala suatu amalan dikerjakan secara ikhlas, namun tidak benar (sesuai syariat), maka amalan tersebut tidak diterima. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan itu akan tertolak [HR. Muslim 3/1343 no. 1718 dari Aisyah Radhiyallahu anha])
Begitu pula jika suatu amalan sesuai dengan syariat secara lahiriyah, namun pelakunya tidak mengikhlaskan niat untuk Allâh; amalannya pun juga akan tertolak.”[4]
Karena membaca shalawat merupakan ibadah dan amal shalih, maka supaya amalan tersebut diterima oleh Allâh Azza wa Jalla harus pula terpenuhi dua syarat tersebut di atas, yakni ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Ikhlas dalam bershalawat berarti:
- Hanya mengharapkan ridha Allâh Azza wa Jalla dan pahala dari-Nya.
- Teks shalawat yang dibaca tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan prinsip ikhlas. Atau dengan kata lain, tidak bermuatan syirik dan kekufuran, semisal istighâtsah kepada selain Allâh Azza wa Jalla, menisbatkan sesuatu yang merupakan hak khusus Allâh kepada selain-Nya dan yang semisal. Aturan kedua ini tentunya diterapkan pada teks-teks shalawat produk manusia, bukan berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Sebab, jika teks shalawat itu bersumber dari sosok yang ma’shûm , Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ini di luar konteks pembicaraan kita, lantaran tidak mungkin Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan sesuatu yang berisi kesyirikan dan kekufuran.
Meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bershalawat, maksdunya:
- Mencontoh shalawat yang diajarkan beliau dan tidak melampaui batas sehingga memasuki ranah ghuluw (sikap berlebihan) dan lafaz syirik.
- Bershalawat untuk beliau pada momen-momen yang beliau syariatkan.[5]
- Memperbanyak membaca shalawat semampunya, dalam rangka mengamalkan firman Allâh Azza wa Jalla dalam al-Ahzâb/33:56 dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di atas.
Setelah pemaparan mukadimah yang berisi beberapa kaidah penting, saatnya kita memasuki inti pembahasan.
Shalawat Nâriyyah dalam Timbangan
Di kalangan kaum Muslimin Indonesia, amat banyak teks shalawat yang tersebar. Seperti, shalawat Fâtih, shalawat Munjiyât, shalawat Thibbul Qulûb, shalawat Wahidiyyah, dan -tidak lupa sorotan kita- shalawat Nâriyyah. Tidak hanya mencukupkan diri dengan teks shalawat yang dikarang kalangan klasik, mereka juga mengandalkan redaksi-redaksi yang diciptakan kalangan kontemporer. Contohnya, shalawat Wahidiyyah yang dibuat pada tahun 1963 oleh salah satu penduduk Kedunglo Bandar Lor Kediri, KH. Abdul Majid Ma’rûf.[6]
Selain itu, mereka juga sangat ‘kreatif’ dalam membuat aturan-aturan baca berbagai jenis shalawat tersebut, dari sisi jumlah bacaan, waktu pembacaan, hingga fadhilah (keutamaan) yang akan diraih oleh pembacanya. Seakan-akan itu semua ada landasannya dari syariat.
Teks Shalawat Nariyyah
Shalawat Nâriyyah merupakan salah satu shalawat yang paling masyhur di antara shalawat-shalawat bentukan manusia. Orang-orang berlomba untuk mengamalkannya, baik dengan mengetahui maknanya, maupun tidak memahami kandungannya. Bahkan justru barangkali orang jenis kedua ini yang lebih dominan. Banyak orang serta merta mengamalkannya hanya karena diperintah tokoh panutannya, kerabat dan teman, atau tergiur dengan “fadhilah” tanpa merasa perlu untuk meneliti keabsahan shalawat tersebut, juga kandungan makna yang terkandung di dalamnya.
Sebelum mengupas lebih jauh tentang shalawat ini, yang juga terkadang dinamakan dengan Shalawat Tafrîjiyah Qurthubiyah, ada baiknya dibawakan dahulu teks lengkapnya : [7]
اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَماً تَامّاً عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ، وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ، وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ، وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ، وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujan pun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau
Siapakah Pencipta Shalawat Nâriyyah?
Berdasarkan referensi yang ada, kami baru bisa menemukan isyarat yang menunjukkan bahwa pencipta shalawat ini adalah seorang yang bernama as-Sanusy.[8] Namun hingga saat ini kami belum bisa memastikan siapakah nama lengkapnya, sebab yang menggunakan julukan ini amat banyak dan kami belum mendapatkan keterangan yang menunjukkan as-Sanusi manakah yang menciptakan shalawat tersebut. Hanya saja, yang pasti sebutan as-Sanusi ini merupakan bentuk penisbattan kepada tarekat sufi yang banyak tersebar di daerah Maroko, tarekat as-Sanusiyyah.
Benarkah Pengarangnya adalah Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?
Di sebuah situs internet tertulis:
“Sholawat Nariyah adalah sebuah sholawat yang disusun oleh Syeikh Nariyah. Syekh yang satu ini hidup pada jaman Nabi Muhammad sehingga termasuk salah satu sahabat nabi. Beliau lebih menekuni bidang ketauhidan. Syekh Nariyah selalu melihat kerja keras Nabi dalam menyampaikan wahyu Allâh, mengajarkan tentang Islam, amal saleh dan akhlaqul karimah sehingga Syekh selalu berdoa kepada Allâh memohon keselamatan dan kesejahteraan untuk Nabi. Doa-doa yang menyertakan nabi biasa disebut sholawat dan Syekh Nariyah adalah salah satu penyusun sholawat nabi yang disebut Sholawat Nariyah.
Suatu malam, Syekh Nariyah membaca sholawatnya sebanyak 4444 kali. Setelah membacanya, beliau mendapat karomah dari Allâh. Maka dalam suatu majelis beliau mendekati Nabi Muhammad dan minta dimasukan surga pertama kali bersama Nabi. Dan Nabi pun mengiyakan. Ada seseorang sahabat yang cemburu dan lantas minta didoakan yang sama seperti Syekh Nariyah. Namun Nabi mengatakan tidak bisa karena Syekh Nariyah sudah minta terlebih dahulu.
Mengapa sahabat itu ditolak Nabi? Dan justru Syekh Nariyah yang bisa? Para sahabat itu tidak mengetahui mengenai amalan yang setiap malam diamalkan oleh Syekh Nariyah yaitu mendoakan keselamatan dan kesejahteraan Nabinya. Orang yang mendoakan Nabi Muhammad pada hakekatnya adalah mendoakan untuk dirinya sendiri karena Allâh sudah menjamin nabi-nabiNya sehingga doa itu akan berbalik kepada si pengamalnya dengan keberkahan yang sangat kuat”.[9]
Kesimpulan, pengarang Shalawat Nariyah konon seorang bernama Syekh Nariyah, dan dia termasuk Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dijamin masuk surga oleh beliau.
Sebagai seorang Muslim mestinya tidak begitu saja menerima apa yang disampaikan padanya, tanpa klarifikasi dan penelitian, apalagi jika berkenaan dengan permasalahan agama.
Sekurang-kurangnya ada dua poin yang perlu dicermati dari cerita di atas :
- Benarkah ada Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nâriyah ?
- Dimanakah sumber kisah tentang Sahabat’ tersebut? Dan adakah sanad (mata rantai periwayatan) nya?
Adapun berkenaan dengan poin pertama, perlu diketahui bahwa biografi para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian ekstra dari para Ulama Islam. Begitu banyak kitab yang mereka tulis untuk mengupas biografi para sahabat. Ada referensi yang ditulis untuk memaparkan biografi para shahabat beserta para Ulama sesudah mereka hingga zaman penulis, adapula referensi yang ditulis khusus untuk menceritakan biografi para sahabat saja. Diantara contoh model pertama: Hilyatul Auliyâ’ karya al-Hâfizh Abu Nu’aim al-Asfahâni (336-430 H) dan Tahdzîbul Kamâl karya al-Hâfizh Abul Hajjâj al-Mizzi (654-742 H). Adapun contoh model kedua, seperti: al-Istî’âb fî Ma’rifatil Ash-hâb karya al-Hâfizh Ibn ‘Abdil Bar (368-463 H) dan al-Ishâbatu fî Tamyîzish Shahâbah karya al-Hâfizh Ibn Hajar al-‘Asqalâni (773-852 H).
Setelah meneliti berbagai kitab di atas dan juga referensi biografi lainnya, yang biasa diistilahkan para Ulama dengan kutubut tarâjim wa ath-thabaqât, ternyata tidak dijumpai seorang pun di antara Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Nâriyah. Bahkan sepengetahuan kami, tidak ada seorang pun Ulama klasik yang memiliki nama tersebut. Lalu, dari manakah orang tersebut berasal??
Sebenarnya, orang yang sedikit terbiasa membaca kitab Ulama, hanya dengan melihat nama tersebut beserta ‘gelar’ syaikh di depannya, akan langsung ragu bahwa orang tersebut benar-benar Sahabat Nabi. Karena penyematan ‘gelar’ syaikh di depan nama Sahabat -sepengetahuan kami- bukanlah kebiasaan para Ulama dan juga bukan istilah yang lazim mereka pakai, sehingga terasa begitu janggal di telinga.
Kesimpulannya: berdasarkan penelaahan kami, tidak ada sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Syekh Nariyah. Jadi penisbatan shalawat tersebut terhadap Sahabat sangat perlu untuk dipertanyakan dan amat diragukan keabsahannya.
Adapun poin kedua, amat disayangkan penulis makalah di internet tersebut tidak menyebutkan sanad (mata rantai periwayatan) kisah yang ia bawakan, atau minimal mengisyaratkan rujukannya dalam menukil kisah tersebut. Andaikan ia mau menyebutkan salah satu dari dua hal di atas niscaya kita akan berusaha melacak keabsahan kisah tersebut, dengan meneliti para perawinya, atau merujuk kepada kitab aslinya. Atau barangkali kisah di atas merupakan dongeng buah pena penulis tersebut ? Jika, ya, maka kisah tersebut tidak ada nilainya; karena kisah fiksi, alias kisah yang tidak pernah terjadi !
Amat disayangkan, dalam hal yang berkaitan dengan agama, tidak sedikit kaum Muslimin sering menelan mentah-mentah suatu kisah yang ia temukan di sembarang buku dan internet, atau kisah yang diceritakan oleh tetangga, teman, guru dan kenalan, tanpa merasa perlu untuk mengcrosscek keabsahannya. Seakan-akan kisah itu mutlak benar terjadi! Padahal kenyataannya seringkali tidak demikian.
Untuk memfilter kisah-kisah palsu dan yang lainnya, Islam memiliki sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki agama lain, yaitu: Islam memiliki sanad (mata rantai periwayatan). Demikian keterangan yang disampaikan Ibn Hazm (384-456 H)[10] dalam al-Fishâl dan Ibnu Taimiyyah (661-728 H).[11]
Imam ‘Abdullâh bin al-Mubârak (118-181 H) pernah berkata, “Isnâd adalah bagian dari agama. Jika tidak ada isnâd, seseorang akan bebas mengatakan apa yang dikehendakinya.”[12]
Kandungan Makna Shalawat Nâriyyah
“Ya Allâh, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua hajat yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, serta berkat dirinya yang mulia hujanpun turun. Semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para Sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau.”
Bagian dari Shalawat Nâriyyah yang kami cetak tebal itulah yang akan dicermati dalam tulisan singkat ini. Kalimat-kalimat tersebut mengandung penisbatan terpecahkannya semua kesulitan, dilenyapkannya segala kesusahan, ditunaikannya segala macam hajat, tercapainya segala keinginan dan husnul khatimah, kepada selain Allâh Azza wa Jalla . Dalam hal ini yang mereka maksudkan yang melakukan itu semua adalah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Penisbatan ini merupakan sebuah kekeliruan fatal, sebab bertolak-belakang dengan al-Qur’ân dan Sunnah, serta bisa mengantarkan pelakunya kepada kekufuran. Pasalnya, semua perbuatan tersebut, hanya Allâh Azza wa Jalla yang berkuasa melakukannya.
Mari kita cermati nash-nash berikut :
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
اَمَّنْ يُّجِيْبُ الْمُضْطَرَّ اِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوْۤءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاۤءَ الْاَرْضِۗ ءَاِلٰهٌ مَّعَ اللّٰهِ ۗقَلِيْلًا مَّا تَذَكَّرُوْنَۗ
Siapakah yang mengabulkan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang melenyapkan kesusahan serta yang menjadikan kalian (manusia) sebagai khalifah di bumi? Adakah tuhan selain Allâh ? Amat sedikit kalian mengingat-Nya ! [an-Naml/27:62]
Dalam ayat ini, Allâh Azza wa Jalla mengingatkan bahwa hanya Dia-lah yang diseru saat terjadi kesusahan, dan Dia pula yang diharapkan pertolongan-Nya saat musibah melanda. Demikian keterangan yang disampaikan Imam Ibnu Katsir.[13]
Karena itulah, setelahnya Allâh Azza wa Jalla melontarkan pertanyaan dalam konteks pengingkaran, “Adakah tuhan selain Allâh ?”. Hal ini mengisyaratkan, wallahu a’lam, bahwa orang yang tertimpa kesulitan dan kesusahan lalu memohon pertolongan kepada selain Allâh Azza wa Jalla , seakan ia telah menjadikan dzat yang diserunya itu sebagai tuhan ‘saingan’ Allâh Azza wa Jalla . Sebab tidak ada yang sanggup mengabulkan permohonan tersebut melainkan hanya Allâh Azza wa Jalla .
Senada dengan ayat di atas, firman Allâh Azza wa Jalla berikut :
قُلْ مَنْ يُّنَجِّيْكُمْ مِّنْ ظُلُمٰتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُوْنَهٗ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۚ لَىِٕنْ اَنْجٰىنَا مِنْ هٰذِهٖ لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الشّٰكِرِيْنَ –قُلِ اللّٰهُ يُنَجِّيْكُمْ مِّنْهَا وَمِنْ كُلِّ كَرْبٍ ثُمَّ اَنْتُمْ تُشْرِكُوْنَ
Katakanlah, “Siapakah yang dapat menyelamatkan kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan berendah diri dan suara yang lembut (dengan mengatakan), ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami akan menjadi orang-orang yang bersyukur’. Katakan, “Allâhlah yang menyelamatkan kalian dari bencana itu dan dari segala macam kesusahan. Lantas mengapa kalian kembali mempersekutukan-Nya?!”. [al-An’âm/6: 63-64]
وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـَٔرُوْنَۚ
Apapun nikmat yang ada dalam diri kalian, maka dari Allâh-lah (datangnya). Dan bila kalian ditimpa marabahaya, maka hanya kepada-Nya-lah (seharusnya) kalian meminta pertolongan [an-Nahl/16:53]
Dan masih banyak lagi firman Allâh yang semakna dengan ayat-ayat di atas, yang menegaskan bahwa segala bentuk kebaikan di dunia maupun akhirat, hanya Allâh Azza wa Jalla sajalah yang mendatangkannya. Sebagaimana pula segala bentuk keburukan di dunia ataupun akhirat, hanyalah Allâh Azza wa Jalla yang menghindarkannya dari diri kita.
Karena itulah, kita dapatkan qudwah kita, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mencontohkan untuk selalu kembali kepada Allâh Azza wa Jalla dalam segala urusan.
Mari kita cermati sebagian dari doa yang beliau baca :
اللَّهُمَّ أَحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الْأُمُورِ كُلِّهَا، وَأَجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْآخِرَةِ
Ya Allâh, jadikanlah akhir dari seluruh urusan kami baik, dan selamatkanlah kami dari kehinaan dunia dan siksaan akhirat [HR. Ibnu Hibbân 3/230 no. 949]
يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ
Wahai Yang Maha hidup dan Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu-lah aku memohon pertolongan. Perbaikilah seluruh keadaanku, dan janganlah Engkau jadikanku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata [HR. al-Hâkim 1/739 no. 2051]
اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
Ya Allâh, rahmat-Mu-lah yang kuharapkan. Maka janganlah Engkau jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata. Dan perbaikilah seluruh keadaanku. Tidak ada yang berhak diibadahi melainkan Engkau. [HR. Abu Dâwud, 5/204 no. 5090 dari Abu Bakrah Radhiyallahu anhu, dan dinilai sahîh oleh Ibn Hibbân (III/250 no. 970]
Lihatlah bagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menisbatkan seluruh urusan kepada Allâh Azza wa Jalla , dan memberi kita teladan agar senantiasa mengembalikan segala sesuatu hanya kepada Allâh Azza wa Jalla !. Pernahkah beliau -walaupun hanya sekali- mengajarkan kepada umatnya agar bergantung kepada beliau?! Mustahil beliau mengarahkan demikian, sebab beliau sendirilah yang berkata, “Janganlah Engkau (Ya Allâh) jadikan aku bergantung kepada diriku sendiri, walaupun itu hanya sekejap mata”. Beliau mencontohkan praktek tawakkal yang begitu tinggi, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ingin bergantung pada diri sendiri, walaupun itu hanya sesaat, sekedipan mata! Mengapa kita tidak meneladaninya dalam hal ini dan yang lainnya?
Cermati pula doa terakhir!. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menutup doanya dengan kalimat thayyibah LA ILÂHA ILLALLÂH, yang menunjukkan –wallahua’lam- bahwa seluruh permintaan di atas adalah bentuk ibadah yang hanya boleh dipersembahkan kepada Allâh Azza wa Jalla .
Membaca Shalawat Nâriyah Berarti Mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?
Barangkali inilah argumen terakhir mereka untuk melegalkan pembacaan shalawat Nâriyah dan shalawat semisal lainnya. Dengan dalih pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka mempertahankan shalawat yang menyimpang dari ajaran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Bahkan yang lebih parah, ada sebagian mereka yang berusaha mengesankan pada orang awam, bahwa pihak yang mengkritisi shalawat Nâriyah tidak mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Ini merupakan tindak pemutarbalikan fakta dan harus diluruskan.
Masalah pokok yang perlu diketahui pertama kali yaitu mengagungkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hukumnya wajib. Dan ini merupakan salah satu cabang keimanan yang besar. Cabang keimanan ini berbeda dengan cabang keimanan cinta kepada beliau[14], bahkan pengagungan lebih tinggi derajatnya dibanding cinta. Sebab tidak setiap yang mencintai sesuatu ia pasti mengagungkannya. Contohnya, orang tua mencintai anaknya, namun kecintaannya hanya akan mengantarkan untuk memuliakannya dan tidak mengantarkan untuk mengagungkannya. Beda dengan kecintaan anak kepada orang tuanya, yang akan mengantarkan untuk memuliakan dan mengagungkan mereka berdua.[15]
Di antara hak Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang harus ditunaikan oleh umatnya adalah pemuliaan, pengagungan dan penghormatan terhadap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Pengagungan, pemuliaan dan penghormatan harus melebihi pemuliaan, pengagungan dan penghormatan seorang anak terhadap orang tuanya atau budak terhadap majikannya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَه ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur’an); mereka itulah orang-orang yang beruntung. [al-A’râf/7:157]
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama, bahwa yang dimaksud dengan “pemuliaan” dalam ayat di atas adalah pengagungan.[16]
Pengagungan Terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bertempat di Hati, Lisan dan Anggota Tubuh[17]
Pengagungan terhadap beliau dengan hati maksudnya adalah meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allâh. Keyakinan ini menyebabkan seseorang mengedepanan kecintaannya kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dariapda kecintaannya terhadap diri sendiri, anak, orang tua dan seluruh manusia.
Keyakinan ini juga menumbuhkan rasa betapa agung dan wibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta meresapi kemuliaannya, kedudukannya dan derajatnya yang tinggi.
Hati merupakan raja dari tubuh, manakala pengagungan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghujam kuat dalam hati, niscaya dampaknya secara lahiriah akan nampak jelas. Lisan akan senantiasa basah dengan pujian kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan kemuliaan-kemuliaannya. Begitu pula anggota tubuh akan tunduk menjalankan segala tuntunan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , taat kepada syariat dan ajaran beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menunaikan segala haknya.
Adapun pengagungan terhadap beliau dengan lisan, maksudnya adalah memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pujian yang berhak untuk dimilikinya, yaitu pujian yang Allâh dan Rasul-Nya n lantunkan untuk beliau, tanpa mengandung unsur berlebihan atau sebaliknya. Dan di antara pujian yang paling agung adalah membaca shalawat untuk beliau.[18]
Kata al-Halîmy (338-403 H), shalawat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti pengagungan terhadap beliau di dunia, dengan mengangkat namanya, menampakkan agamanya dan mengabadikan syariatnya. Sedangkan di akhirat, maksudnya adalah permohonan agar limpahan pahala mengalir padanya, syafaat beliau tercurah untuk umatnya dan kemuliaan beliau dengan al-maqâm al-mahmûd terlihat jelas.[19]
Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan yaitu beradab saat menyebut beliau dengan lisan kita. Caranya adalah dengan menggandengkan nama beliau dengan sebutan Nabi atau Rasûlullâh, lalu diakhiri dengan shalawat kepada beliau. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
لَا تَجْعَلُوْا دُعَاۤءَ الرَّسُوْلِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاۤءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًاۗ
Janganlah engkau jadikan panggilan Rasûlullâh di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain. [an-Nûr/24:63]
Karena itulah para sahabat selalu memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan, “Wahai Rasûlullâh!” atau “Wahai Nabiyullâh!”.
Juga hendaknya penyebutan nama beliau ditutup dengan shalawat; “shallallahu’alaihiwasallam” bukan hanya dengan singkatan SAW atau yang semisal. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْبَخِيلُ الَّذِي مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ
Orang yang pelit adalah orang yang tatkala namaku disebut di hadapannya, ia tidak bershalawat padaku. [HR. Tirmidzi, no. 3546 dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anh. At-Tirmidzi rahimahullah menyatakan hadits ini “Hasan sahih gharib”].
Termasuk bentuk pengagungan dengan lisan pula yaitu menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keistimewaan dan mukjizatnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengenalkan sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada masyarakat, mengingatkan mereka terhadap kedudukan serta hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mengajarkan pada mereka akhlak dan sifat mulia beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Menceritakan sejarah hidup beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , serta menjadikannya sebagai pujian, baik dengan bait-bait syair maupun bukan, namun dengan syarat tidak melampaui batas ketentuan syariat, semisal pengagungan yang berlebihan dan yang semisal.
Sedangkan pengagungan dengan anggota tubuh, berarti mengamalkan syariat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , meneladani sunnahnya, mengikuti perintahnya secara lahir maupun batin dan berpegang kuat dengannya. Ridha dan ikhlas dengan aturan yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bawa, berusaha menebarkan tuntunannya, membela sunnahnya, melawan mereka yang menentangnya serta membangun kecintaan dan kebencian di atasnya.
Menjauhi segala yang dilarang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tidak menyelisihi perintahnya dan bertaubat serta beristighfar manakala terjerumus ke dalam penyimpangan.
“Taat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan konsekwensi keimanan kepada beliau dan keyakinan akan kebenaran yang dibawanya dari Allâh. Sebab beliau tidaklah memerintahkan atau melarang dari sesuatu, melainkan dengan seizin dari Allâh. Sebagaimana dalam firman-Nya :
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللّٰهِ
Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allâh.[an-Nisâ’/4:64]
Dan makna ketaatan kepada Rasûlullâh adalah menjalankan perintah-perintahnya serta menjauhi larangan-larangannya.”[20]
Kesimpulannya adalah pengagungan yang hakiki terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersimpulkan dalam empat kalimat yaitu mempercayai berita yang bersumber dari beliau, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah dengan tata cara yang disyariatkannya.[21]
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam Melarang Kita untuk Berlebihan Dalam Mengagungkannya
Secara garis besar, Allâh Azza wa Jalla telah melarang kita dari sikap berlebihan dalam beragama, baik itu dalam keyakinan, ucapan maupun amalan. Sebagaimana dalam an-Nisâ’/4:171.
Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang secara khusus dari sikap berlebihan dalam memujinya. Sebagaimana dalam sabdanya,
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Janganlah kalian berlebihan dalam memujiku sebagaimana kaum Nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka ucapkanlah, “(Muhammad adalah) hamba Allâh dan Rasul-Nya” [HR. Bukhâri (6/478 no. 3445 –al-Fath) dari Umar bin Khatthab Radhiyallahu anhu]
Dan Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingkari para sahabatnya yang berlebihan dalam memuji beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena khawatir mereka akan melampaui batas, sehingga terjerumus dalam hal yang terlarang. Juga demi menjaga kemurnian tauhid, agar tidak ternodai dengan kotoran syirik dan bid’ah. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berhati-hati dalam mengantisipasi hal tersebut, bahkan sampaipun dari hal-hal yang barangkali tidak dikategorikan syirik atau bid’ah.
Anas bin Mâlik Radhiyallahu anhu bercerita,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ: “يَا مُحَمَّدُ، يَا سَيِّدَنَا، وَابْنَ سَيِّدِنَا، وَخَيْرَنَا، وَابْنَ خَيْرِنَا!” فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَاكُمْ، وَلَا يَسْتَهْوِيَنَّكُمْ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَبْدُاللَّهِ وَرَسُولُهُ، وَاللَّهِ مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُونِي فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِي أَنْزَلَنِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ”.
(Suatu hari) ada seseorang yang berkata, “Wahai Muhammad, wahai sayyiduna (pemimpin kami), putra sayyidina, wahai orang yang terbaik di antara kami, putra orang terbaik di antara kami!”.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, “Wahai para manusia, bertakwalah kalian! Jangan biarkan setan menyesatkan kalian. Aku adalah Muhammad bin Abdullah; hamba Allâh dan Rasul-Nya. Demi Allâh, aku tidak suka kalian mengangkatku melebihi kedudukan yang telah Allâh tentukan untukku”. (HR. Ahmad (20/23 no. 12551) dan dinilai sahih oleh adh-Dhiyâ’ al-Maqdisy (5/25 no. 1627) dan Ibn Hibbân (14/133 no. 6240).
Dengan keterangan di atas, insyaAllâh telah terlihat jelas, mana bentuk pengagungan yang terpuji dan mana bentuk pengagungan yang tercela.
Penulis tutup makalah ini dengan nasehat yang disampaikan Ibn Hajar al-Haitamy (909-974 H), manakala beliau menjelaskan bahwa pengagungan terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaknya dengan sesuatu yang ada dalilnya dan yang diperbolehkan, jangan sampai melampaui batas tersebut.
Beliau berkata, “Wajib bagi setiap orang untuk tidak mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dengan sesuatu yang Allâh izinkan bagi umatnya, yaitu sesuatu yang layak untuk jenis manusia. Sesungguhnya melampaui batas tersebut akan menjerumuskan kepada kekafiran, na’udzubillahi min dzalik. Bahkan melampaui batas sesuatu yang telah disyariatkan, pada asalnya akan mengakibatkan penyimpangan. Maka hendaknya kita mencukupkan diri dengan sesuatu yang ada dalilnya.”[22]
Beliau rahimahullah menambahkan, “Ada dua kewajiban yang harus dipenuhi:
Pertama, kewajiban untuk mengagungkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengangkat derajatnya di atas seluruh makhluk.
Kedua, mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan meyakini bahwa Allâh Maha Esa dalam dzat dan perbuatan-Nya atas seluruh makhluk-Nya. Barang siapa meyakini bahwa sesosok makhluk menyertai Allâh dalam hal tersebut; maka ia telah berbuat syirik. Dan barang siapa merendahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah derajat (yang seharus)nya maka ia telah berbuat maksiat atau kafir.
Namun barang siapa yang mengagungkan beliau dengan berbagai jenis pengagungan dan tidak sampai menyamai sesuatu yang merupakan kekhususan Allâh, maka ia telah menggapai kebenaran, dan berhasil menjaga dimensi ketuhanan serta kerasulan. Inilah ideologi yang tidak mengandung unsur ekstrim atau sebaliknya”.[23]
Wallahu a’lam
@ Makkah al-Mukarramah, 25 Sya’ban 1431 H / 6 Agustus 2010
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Tafsir al-Qur’ânil ‘Azhîm, 6/457).
[2] Judul buku-buku lainnya bisa dilihat, antara lain, di mukadimah Syaikh Masyhûr bin Hasan Salmân hafzhahullah dalam tahqîq Jalâ’ul Afhâm hlm. 8-29.
[3] Tafsîr ar-Râzy (20/180). Setelah menyebutkan dua syarat di atas, ar-Râzy t menyebutkan syarat ketiga, yaitu iman. Sebab iman merupakan syarat utama agar amalan membuahkan pahala. Selain Mukmin tidak akan diterima amalannya, baik dia ikhlas maupun tidak, entah sesuai syariat maupun tidak. Karena ia belum mau memeluk agama, yang segala amalan tidak akan diterima melainkan dari pemeluk agama tersebut. Sebagaimana firman Allah l yang artinya, “Barangsiapa mencari agama selain Islam; maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali Imrân/3:85). Karena begitu gamblangnya permasalahan ini, banyak di antara para ulama yang tidak menyebutkan syarat iman ini, sebab hal itu sudah sangat jelas dan tidak samar.
[4] Tafsîr Ibn Katsîr (1/385).
[5] Dalam kitabnya Jalâ’ul Afhâm (hlm. 380-520), Ibnul Qayyim t menyebutkan ada empat puluh satu momen disyariatkannya membaca shalawat kepada Rasul n .
[6] Lihat: Âtsâr ash-Shalawât al-Wâhidiyyah fî Akhlâq Thullâb Ma’had at-Tahdîb Ngoro Jombang ‘Âm: 2004, skripsi Institut Studi Islam Darussalam Gontor, yang disusun oleh Ahmad Luthfi Ridha (hlm. a).
[7] Tuntunan Ziarah Wali Songo karya Abdul Muhaimin (hlm. 144).
[8] Rahasia Keutamaan dan Keistimewaan Sholawat karya Nur Muhammad Khadafi, dinukil dari Âtsâr ash-Shalawât al-Wâhidiyyah hlm. 21
[9] www.indospritual.com.
[10] Lihat, al-Fishâl fî al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal (2/221).
[11] Lihat, Majmû’ al-Fatâwâ (1/9).
[12] Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam mukadimah Shahihnya (1/15).
[13] Lihat Tafsîr Ibn Katsîr (6/203)
[14] Lihat, al-Minhâj fî Syu’ab al-Îmân karya al-Halîmy (II/124) dan al-Jâmi’ li Syu’ab al-Îmân karya al-Baihaqy (III/95).
[15] Lihat, al-Minhâj fî Syu’ab al-Îmân (II/124).
[16] Lihat, Ibid (II/125).
[17] Diringkas dari Huqûqun Nabi shallallahu’alaihiwasallam ‘alâ Ummatih fî Dhau’i al-Kitâb wa as-Sunnah, karya Dr. Muhammad bin Khalifah at-Tamimy (II/466-478).
[18] Di awal tulisan ini, kami telah bawakan beberapa dalil dari al-Qur’an dan Sunnah tentang disyariatkannya membaca shalawat.
[19] Lihat, al-Minhâj fî Syu’ab al-Îmân (2/134).
[20] An-Nûr al-Mubîn fî Mahabbah Sayyid al-Mursalîn karya KH. Muhammad Hasyim Asy’ari (hlm. 5-6).
[21] Lihat: Ar-Radd ‘alâ al-Akhnâ’iy karya Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah (hlm. 18) dan al-Ushûl ats-Tsalâtsah wa Adillatuhâ karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (hlm. 23).
[22] Al-Jauhar al-Munazham fî Ziarah Qabr an-Nabi shallallahu’alaihiwasallam wa Karram (hlm. 64) dinukil dari Ârâ’ Ibn Hajar al-Haitamy al-I’tiqâdiyyah ‘Ardh wa Taqwîm fî Dhau’I ‘Aqîdah as-Salaf karya Muhammad bin Abdul Aziz asy-Syayi’ (hlm. 450).
[23] Al-Jauhar al-Munazham (hlm. 13) dinukil dari Ârâ’ Ibn Hajar al-Haitamy al-I’tiqâdiyyah.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3577-shalawat-nariyah-dalam-timbangan.html