Istiqamah
Secara bahasa istiqamah berarti menjadikan sesuatu tegak, lurus, dan sejajar. Sedangkan secara istilah ada beberapa pengertian dari para ulama. Al-Qadhiy ‘Iyadh berkata: “Tauhidkanlah Allah, beriman kepadanya kemudian beristiqamahlah. Jangan menyimpang dari tauhid dan teruslah menjalankan ketaatan kepada-Nya hingga kamu mati dalam keadaan seperti itu.” Ibnu Katsir mengartikan istiqamah sebagai mengikhlaskan amal untuk Allah dan menjalankan ketaatan kepada Allah sesuai yang Dia syariatkan. (Redaksi, www.khotbahjumat.com)
***
بسم الله الرحمن الرحيم
Istiqamah
KHUTBAH PERTAMA
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ”.
“يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيباً”.
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيماً”
أما بعد
Jamaah Jumat rahimakumullah
Mari kita tingkatkan ketakwaan kepada Allah Ta’ala dengan ketakwaan yang sebenar-benarnya, yaitu mengamalkan apa yang diperintahkan oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh-Nya dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudia keluarga, sahabat-sahabatnya, serta pengikutnya sampai akhir zaman.
Jamaah Jumat rahimani wa rahimakullah
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan secara umum kepada hamba-hamba-Nya untuk beristiqamah, firman-Nya:
فَاسْتَقِيمُوا إِلَيْهِ
“Maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya.” (QS. Fushshilat: 6)
Demikian juga kepada Nabi-Nya secara khusus, firman-Nya:
فَاسْتَقِمْ كَمَآأُمِرْتَ وَمن تَابَ مَعَكَ وَلاَتَطْغَوْا
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas..” (QS. Hud: 112)
Allah Ta’ala juga menjanjikan pahala yang banyak kepada mereka yang istiqamah, firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلاَخَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَهُمْ يَحْزَنُونَ {13} أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَآءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ {14}
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan Kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.– Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaaf: 13-14).
Ta’rif (pengertian) Istiqamah
Secara bahasa istiqamah berarti menjadikan sesuatu tegak, lurus, dan sejajar. Sedangkan secara istilah ada beberapa pengertian dari para ulama.
Al-Qadhiy ‘Iyadh berkata: “Tauhidkanlah Allah, beriman kepadanya kemudian beristiqamahlah. Jangan menyimpang dari tauhid dan teruslah menjalankan ketaatan kepada-Nya hingga kamu mati dalam keadaan seperti itu.”
Ibnu Katsir mengartikan istiqamah sebagai mengikhlaskan amal untuk Allah dan menjalankan ketaatan kepada Allah sesuai yang Dia syariatkan.
Al-Qurthubiy berkata, “Bersikap luruslah dalam ketaatan kepada Allah, baik dalam keyakinan, ucapan maupun perbuatan dan tetaplah dalam keadaan tersebut.”
Jadi, istiqamah adalah usaha menempuh shiratal mustaqim (jalan yang lurus) tanpa berbelok ke kanan dan ke kiri, tanpa menambah atau mengurangi, tanpa mempersulit atau menyepelekan. Hal ini, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala:
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah bertobat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. “
Ayat “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar” yakni tetaplah kamu berada di atas ajaran Islam, jangan malas mengerjakannya atau meremehkannya.
Sedangkan ayat “sebagaimana diperintahkan kepadamu” yakni sesuai yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ayat “janganlah kamu melampaui batas” yakni tidak melewati aturan dan tidak menambah-nambah (berbuat bid’ah).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah menjelaskan bahwa karamah terbesar yang diberikan Allah Ta’ala adalah seseorang dapat beristiqamah.
Usaha Setan Memalingkan Manusia dari Istiqamah
Dalam surat Al A’raaf ayat 16-17, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan janji setan untuk menyesatkan manusia yang mengharuskan kita agar selalu waspada, firman-Nya:
قَالَ فَبِمَآأَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ {16} ثُمَّ لاَتِيَنَّهُم مِّنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَآئِلِهِمْ وَلاَتَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ {17}
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalanggi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,— Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (QS. Al A’raaf: 16-17)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَعَدَ لِابْنِ آدَمَ بِطُرُقِهِ فَقَعَدَ لَهُ بِطَرِيْقِ الْإِسْلاَمِ فَقَالَ : تُسْلِمُ وَ تَذَرُ دِيْنَكَ وَ دِيْنَ آبَائِكَ وَ آبَاءِ آبَائِكَ ؟ فَعَصَاهُ فَأَسْلَمَ ثُمَّ قَََََعَدَ لَهُ بِطَرِيْقِ الْهِجْرَةِ فَقَالَ : تُهَاجِرُ وَ تَدَعُ أَرْضَكَ وَ سَمَاءَكَ وَ إِنَّمَا مَثَلُ الْمُهَاجِرِ كَمَثَلِ الْفَرَسِ فِي الطُّوْلِ ! فَعَصَاهُ فَهَاجَرَ ثُمَّ قَعَدَ لَهُ بِطَرِيْقِ الْجِهَادِ فَقَالَ : تُجَاهِدُ فَهُوَ جُهْدُ النَّفْسِ وَ الْمَالِ فَتُقَاتِلُ فَتُقْتَلُ فَتُنْكَحُ الْمَرْأَةُ وَ يُقْسَمُ الْمَالُ ؟ فَعَصَاهُ فَجَاهَدَ فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَ مَنْ قُتِلَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَ إِنْ غَرَقَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ وَ إِنْ وَقَصَتْهُ دَابَّتُهُ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ.
“Sesungguhnya setan duduk pada anak Adam di semua jalannya. Setan duduk di jalan Islam dan berkata, “Apakah kamu akan masuk Islam sehingga kamu meninggalkan agamamu sebelumnya, agama bapakmu, dan agama nenek moyangmu?” Ia (anak Adam) itu tidak mau menaati setan dan masuk Islam. Lalu setan duduk di jalan hijrah dan berkata, “Apakah kamu akan berhijrah dan meninggalkan tanah airmu, padahal orang yang berhijrah itu seperti kuda yang menempuh perjalan panjang?!” Ia tidak mau menaati setan dan tetap berhijrah. Lalu setan duduk di jalan jihad dan berkata: “Apakah kamu akan berijhad yang melelahkan jiwa dan mengorbankan harta, kamu berperang dan bisa terbunuh sehingga istrimu dinikahi orang dan hartamu dibagi-bagikan?!” Ia tidak mau menaati setan dan tetap berjihad. Orang yang melakukan demikian, Allah akan memasukkannya ke surga, orang yang terbunuh (dalam jihad), Allah akan memasukkannya ke surga dan jika ia tenggelam, Allah akan memasukkannya ke surga, dan jika ia terlempar oleh binatang tunggangannya (sehingga meninggal), maka Allah akan memasukkanya ke surga.” (HR. Ahmad, Nasa’i dan Ibnu Hibban, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1652)
Qatadah menjelaskan bahwa setan akan datang kepada manusia dari depan mereka mengabarkan bahwa tidak ada kebangkitan, surga dan neraka. Dari belakang mereka, dengan menghias perkara dunia dan mengajak mereka kepadanya. Dari kanan mereka, dengan membuat mereka menunda-nunda kebaikan dan dari kiri mereka dengan menghias kejahatan dan maksiat, mengajak mereka kepadanya dan memerintahkannya. Ia akan datang dari semua arah selain dari atas, karena ia tidak sanggup menghalangi seseorang dari rahmat Allah.
Ibnu Abbas menafsirkan “dari kanan mereka” yakni setan akan membuat samar urusan agama mereka (mendatangkan syubhat), sedangkan dari kiri mereka, yakni membuat mereka senang kepada maksiat (fitnah syahwat).
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membaca doa berikut di pagi dan sore hari -meminta kepada Allah perlindungan-Nya di berbagai arah-:
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ اَلْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْاَخِرَةِ اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَ اَلْعَافِيَةَ فِي دِينِي, وَدُنْيَايَ, وَأَهْلِي, وَمَالِي, اَللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَاتِي, وَآمِنْ رَوْعَاتِي, اَللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ, وَمِنْ خَلْفِي, وَعَنْ يَمِينِي, وَعَنْ شِمَالِي, وَمِنْ فَوْقِي, وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي
“Ya Allah, sesungguhnya aku meminta ‘afiyat (penjagaan) kepada-Mu di dunia dan akhirat. Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu maaf dan ‘afiyat baik dalam agamaku, duniaku, keluargaku dan hartaku. Ya Allah, tutupilah cacatku, tenangkanlah rasa takutku. Ya Allah, jagalah aku dari depan dan belakangku, dari kanan dan kiriku serta dari atasku. Aku berlindung dengan keagungan-Mu agar jangan sampai ada yang menghantamku secara tiba-tiba dari bawahku.” (HR. Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim, ia berkata: “Shahih isnadnya”)
Ketahuilah wahai hamba-hamba Allah, jamaah Jumat sekalian
Ketika seorang hamba dalam keadaan berpaling dari agama, maka setan akan mendorongnya untuk menggampangkan atau bermalas-malasan sampai akhirnya dia meninggalkan kewajiban dan melakukan perkara yang haram. Setan akan terus membuatnya lalai, sehingga putuslah hubungannya dengan agama (seperti dijadikannya meninggalkan shalat), dan di saat itulah setan meninggalkannya dalam keadaan binasa.
Sebaliknya, jika setan melihat seorang hamba bersemangat menjalankan agamanya dan tidak mungkin baginya menghalangi, maka setan menggodanya agar dia berlebih-lebihan dan menganiaya diri sehingga melampaui batas. Setan terus mendorongnya hingga ia keluar dari batasan yang ditentukan terjatuh ke dalam bid’ah, bisa saja dijadikannya ia bangga (‘ujub) terhadap ibadahnya, seperti yang menimpa orang-orang Khawarij. Dimana ibadah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin dianggap kecil oleh mereka.
Kedua keadaan tersebut, yakni meremehkan dan melampaui batas aturan merupakan keadaan tercela. Meremehkan merupakan tanda kelemahan iman, sedangkan melampaui batas merupakan sebab penyimpangan. Kedua sikap itu menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan istiqamah. Dalam hadis shahih dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu disebutkan:
جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا : وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ . قَالَ أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَنَا فَإِنِّى أُصَلِّى اللَّيْلَ أَبَداً . وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ . وَقَالَ آخَرُ : أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَداً . فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ :« أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَا وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ ،وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى
Pernah datang tiga orang ke rumah-rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertanya tentang bagaimana ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mereka diberitahukan, sepertinya mereka menganggap sedikit, mereka berkata, “Bagaimana keadaan kami dibanding Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diampuni dosa-dosanya di masa yang lalu dan yang akan datang”, salah seorang di antara mereka berkata, “Saya shalat malam selamanya (tanpa diselingi tidur)”, yang satu lagi berkata, “Saya akan puasa selamanya dan tidak akan berbuka.” Sedangkan yang lain berkata: “saya akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda, “Kaliankah orang yang mengucapkan kata-kata ini dan itu? Demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa kepada-Nya. Akan tetapi, saya berpuasa dan berbuka, saya shalat (malam) dan tidur dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci Sunnahku, maka ia bukanlah termasuk golonganku.” (HR. Bukhari)
Jalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah jalan yang lurus, adapun jalan-jalan yang dibuat manusia dalam beribadah atau biasa dikenal dengan nama “tarekat” seperti yang dibuat oleh orang-orang shufi, bukanlah jalan yang lurus, dan yang demikian dapat menjadikan kita berpecah belah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلاَتَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَالِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa.” (QS. Al An’aam: 153)
Di samping hal di atas, sikap berlebih-lebihan dapat membuat seseorang mudah bosan dan berputus asa, menghalangi istiqamah, memberatkan diri dan tidak sejalan dengan fitrahnya.
Cukupkah Beriman Tanpa Disertai Istiqamah?
Wahai hamba-hamba Allah, sebagian manusia ada yang berkata: “Kami beriman kepada Allah“, akan tetapi mereka tidak istiqamah di atas agama Allah, bahkan mencukupkan keimanan itu hanya dengan ucapan semata. Tentang mereka, Allah Ta’ala berffirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَقُولُ ءَامَنَّا بِاللهِ فَإِذَآ أُوذِيَ فِي اللهِ جَعَلَ فِتْنَةَ النَّاسِ كَعَذَابِ اللهِ وَلَئِن جَآءَ نَصْرٌ مِّن رَّبِّكَ لَيَقُولُنَّ إِنَّا كُنَّا مَعَكُمْ أَوَلَيْسَ اللهُ بِأَعْلَمَ بِمَافِي صُدُورِ الْعَالَمِينَ
“Dan di antara manusia ada orang yang berkata: “Kami beriman kepada Allah”, Maka apabila ia disakiti (karena ia beriman) kepada Allah, ia menganggap fitnah manusia itu sebagai azab Allah. dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka pasti akan berkata: “Sesungguhnya Kami adalah besertamu”. Bukankah Allah lebih mengetahui apa yang ada dalam dada semua manusia? (QS. Al ‘Ankabut: 10)
Mereka berpaling ketika mendapatkan ujian dan mereka tersesat ketika menghadapi syubhat dan syahwat. Agama mereka didasari hawa nafsu dan apa saja yang mereka inginkan. Mereka tidak bermar ma’ruf dan bernahi mungkar. Mereka tidak konsisten dengan ucapan mereka “Kami beriman kepada Allah” yang menuntut keistiqamahan kepada tujuan kalimat ini, berupa melaksanakan ketaatan dan meninggalkan yang haram, ikhlas karena Allah dan berbuat baik kepada sesama hamba Allah. Dari sini kita ketahui bahwa keimanan kepada Allah harus ditambah dengan istiqamah.
أَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُهُ العَظِيْمَ الجَلِيْلَ لِيْ وَلَكُمْ، وَلِجَمِيْعِ المُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ؛ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَحِيْمُ
KHUTBAH KEDUA
اَلحَمْدُ لِلّهِ الوَاحِدِ القَهَّارِ، الرَحِيْمِ الغَفَّارِ، أَحْمَدُهُ تَعَالَى عَلَى فَضْلِهِ المِدْرَارِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى نِعَمِهِ الغِزَارِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ العَزِيْزُ الجَبَّارُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ المُصْطَفَى المُخْتَار، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ الطَيِّبِيْنَ الأَطْهَار، وَإِخْوَنِهِ الأَبْرَارِ، وَأَصْحَابُهُ الأَخْيَارِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ مَا تُعَاقِبُ اللَيْلَ وَالنَّهَار
Jalan Keselamatan
Sufyan bin Abdullah Ats Tsaqafiy pernah berkata: “Wahai Rasulullah, katakanlah kepada saya dalam Islam sebuah perkataan yang tidak saya tanyakan kepada seorang pun selainmu.” Beliau menjawab:
قُلْ آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah dan beristiqwamahlah.” (HR. Muslim)
Berdasarkan hadis di atas kita mengetahui bahwa keselamatan dari neraka dan kemenangan meraih surga tidaklah dihasilkan kecuali dengan 2 perkara:
- Beriman kepada Allah
- Beritiqamah, yakni dengan beramal shalih dan bertahan di atasnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالْعَصْرِ {1} إِنَّ الإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ {2} إِلاَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ {3}
Demi masa.–Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,–Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh …dst.. (Al ‘Ashr: 1-3)
Kalau sekiranya ucapan semata sudah cukup dan bermanfaat bagi pelakunya, tentu bergunalah ucapan “saya beriman kepada Allah” yang diulang-ulang oleh orang-orang munafik. Namun kenyataannya, Allah mendustakan mereka dengan firman-Nya “Mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqarah: 8).
Jika Dihadapkan Futur (Sikap Loyo dan Kurang Semangat)
Seorang ahli ibadah memiliki masa semangat dan masa kendornya sebagaimana dijelaskan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya berikut:
إِنَّ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةٌ وَ لِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِيْ فَقَدِ اهْتَدَى وَ مَنْ كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
“Sesungguhnya setiap amal memiliki saat-saat semangat, dan saat-saat semangat memiliki saat-saat lemahnya. Barangsiapa yang ketika lemahnya masih di atas sunahku, maka dia mendapatkan petunjuk. Sebaliknya, jika tidak di atas itu, maka dia binasa.” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman, Lih. Shahihul Jami no. 2152)
Apabila sesorang tertimpa futur, -dan hal itu pasti datang kepada ahli ibadah–, jika ia tidak meninggalkannya secara keseluruhan, yakni mengarah kepada iqtishad (pertengahan dan tidak meremehkan), maka ia memperoleh petunjuk, karena diharapkan sekali ia akan kembali semangat.
Contohnya sesorang yang banyak menjalankan shalat sunat. Tidak ada satu shalat sunat pun kecuali dia kerjakan, tiba-tiba ia futur. Jika futurnya tidak membuatnya meninggalkan secara keseluruhan, misalnya tetap menjaga shalat wajib beserta shalat sunat yang mu’akkadnya saja, maka insya Allah ia masih di atas pertunjuk. Sebaliknya, jika malah ditinggalkannya secara keseluruhan, sampai-sampai yang wajib ditinggalkan dan beralih kepada maksiat, maka ia akan binasa. Wallahu a’lam.
إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
اللهم صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اللهم بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
اللهم اغْـفِـرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْـفِـرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. اللهم إِنَّا نَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى. اللهم إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيْعِ سَخَطِكَ. وَآخِرُ دَعْوَانَا
أَنِ الْحَمْدُ لله رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. وَصَلى الله عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.
Download Naskah Materi Khutbah Jum’at
[download id=”128″]
Info Naskah Khutbah Jum’at
Marwan bin Musa
Maraaji’: Kitab-kitab tafsir, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Shahihul Jami’, majalah Fatawa (Vol. 05 Tahun II 1425 H/2004 M) dll.
Kata kunci: istiqamah.
Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.
- SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
- DONASI hubungi: 087 882 888 727
- Donasi dapat disalurkan ke rekening: 4564807232 (BCA) / 7051601496 (Syariah Mandiri) / 1370006372474 (Mandiri). a.n. Hendri Syahrial
- Keterangan lebih lengkap: Peluang Menjadi Sponsor dan Donatur
Artikel asli: https://khotbahjumat.com/1396-istiqamah.html