Keberkahan Dzikir Dan Keutamaan-Keutamaannya
KEBERKAHAN DZIKIR DAN KEUTAMAAN-KEUTAMANNYA
Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i
Dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki keutamaan-keutamaan yang agung dan keberkahan-keberkahan yang melimpah, baik di dunia maupun di akhirat, antara lain:
Keberkahan Duniawi, yaitu;
1. Ketenangan hati dan hilangnya rasa takut, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“…Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. [Ar-Ra’d/13: 28]
2. Dzikir menguatkan ingatan, sehingga ia mampu melakukan sesuatu yang tidak mampu ia lakukan tanpa dengan berdzikir.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajari anaknya Fathimah Radhiyallahu anhuma dan (menantunya) ‘Ali Radhiyallahu anhu agar bertasbih setiap malam ketika akan tidur sebanyak 33 kali, dan bertahmid sebanyak 33 kali dan bertakbir sebanyak 34 kali. Ketika ia (Fathimah Radhiyallahu anhuma) meminta pembantu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengadu kepadanya tentang apa yang ia hadapi dalam berumah tangga, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari hal tersebut di atas, kemudian bersabda:
“فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمَا مِنْ خَادِمٍ.”
“Itu lebih baik dari kalian berdua dari seorang pembantu.”[1]
Dikatakan bahwa, “Barangsiapa yang terus menerus secara kontinu melakukan hal tersebut, maka akan mendapatkan kekuatan pada raganya sehingga ia tidak lagi memerlukan pembantu[2].
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwasanya kalimat “لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ”, memiliki pengaruh yang luar biasa dalam membantu kegiatan-kegiatan yang sulit dan meringankan kususahan dan kesulitan, selanjutnya beliau memberikan dalil-dalil dan ar-gumentasinya dalam hal tersebut[3].
3. Di antara manfaat duniawi dari istighfaar (minta ampunan) lainnya adalah, dapat ditemukan pada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat an-Nuh:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
“Mohonlah ampun kepada Rabb-mu, sesungguhnya Dia adalah Mahapengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada-mu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” [Nuh/71: 10-12]
Dan sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma:
“مَنْ لَزِمَ اْلاِسْتِغْفَارَ جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ كُلِّ ضِيْقٍ مَخْرَجًا، وَمِنْ كُلِّ هَمٍّ فَرَجًا، وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ.”
“Barangsiapa yang senantiasa ber-istighfaar, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan jalan keluar terhadap setiap kesulitan yang dihadapinya, ketenangan pada saat keresahan, serta Allah akan memberinya rizki dari jalan yang tidak diduga-duga olehnya.”[4]
4. Di antara berkah dzikir dari aspek duniawi, adalah ar-Ruqyah (jampi-jampi) dengan Nama Allah Ta‘ala dan dengan dzikir yang disyari’atkan untuk memohon kesembuhan dan meminta kesehatan.
Melihat pentingnya masalah ini, maka saya menempatkan pembahasan ini secara khusus tersendiri, dan akan menjadi pembahasan kita selanjutnya (di pembahasan kedua), dengan tema ar-Ruqyah bi Dzikrillaahi Ta‘aalaa, wa bil Qur-aanil Kariim, yaitu ruqyah dengan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dengan al-Qur-an al-Karim.
Keberkahan Ukhrawi, yaitu;
1. Pengguguran dosa-dosa dan pelipatgandaan pahala.
Hadits yang menjelaskan tentang hal ini sangatlah banyak, saya menyebutkan sebagian darinya, antara lain yang diriwayatkan dalam ash-Shahiihain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“مَنْ قَالَ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، فِي يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِيَ، وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ مِمَّا جَاءَ بِهِ، إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ.”
“Barangsiapa yang mengucapkan: ‘Tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya, kepunyaan Allah segala kerajaan dan pujian, dan Dia Maha-kuasa atas segala sesuatu,’ 100 kali dalam sehari, maka baginya setara dengan membebaskan 10 budak, dan dicatat baginya 100 pahala, dan dihapuskan darinya 100 kesalahan. Dan ia memiliki perisai yang menjaganya dari syaitan pada hari itu hingga malam harinya, tidak ada yang dapat berbuat lebih baik dari dirinya, kecuali orang yang mengamalkan (amalan dzikir tersebut) lebih banyak lagi darinya.”[5]
Juga yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sllam, beliau bersabda:
“مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ، وَحَمِدَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِيْنَ، فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ: ((لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ)) غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ.”
“Barangsiapa yang bertasbih di setiap akhir shalatnya 33 kali, bertahmid 33 kali dan bertakbir 33 kali, itu semua berjumlah 99, dan kemudian ia melengkapinya keseratusnya dengan membaca: ‘Tidak yang berhak diibadahi selain Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, kepunyaan-Nya-lah segala kekuasaan dan pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.’ Niscaya ia akan diampuni kesalahan-kesalahannya, walaupun sebanyak buih di lautan.”[6]
Di dalam Shahih al-Bukhari dari Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu[7] bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“سَيِّدُ الاسْتِغْفَارِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِي وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، إِذَا قَالَ حِينَ يُمْسِي فَمَاتَ دَخَلَ الْجَنَّةَ أَوْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِذَا قَالَ حِينَ يُصْبِحُ فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ مِثْلَهُ.”
“Istighfaar yang paling utama adalah, ‘Ya Allah, Engkau-lah Rabb-ku, tidak ada yang berhak untuk diibadahi selain Engkau, Engkau-lah yang menciptakanku, aku adalah hamba-Mu. Dan aku akan setia pada sumpah dan janjiku dengan-Mu sesuai dengan kemampuanku, aku mengakui segala nikmat-Mu padaku[8] dan aku mengakui kepada-Mu atas dosa-dosaku, maka ampunilah dosaku, karena tidak ada yang mengampuni segala dosa selain Engkau. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukan apa yang aku perbuat.’ Jika ia mengucapkannya ketika malam hari lalu ia meninggal maka ia akan masuk Surga, atau ia akan menjadi ahli Surga. Dan bila ia mengucapkannya pada pagi hari lalu ia meninggal pada hari itu, maka ia pun akan seperti tersebut di atas.”[9]
2. Di antara manfaat ukhrawi lainnya, bahwa majelis-majelis dzikir merupakan salah satu sebab turunnya ketenangan dan melimpahnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala serta dikelilingi oleh para Malaikat. Telah diriwayatkan dari Muslim dari Abu Hurairah dan Abu Said al-Khudry Radhiyallau anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.”
“Tidaklah suatu kaum berkumpul dan berdzikir kepada Allah, melainkan Malaikat akan mengelilingi mereka, rahmat Allah akan meliputi mereka dan ketenangan akan menaungi mereka, serta Allah akan menyebut-nyebut (nama-nama) mereka di antara makhluk yang ada di sisi-Nya, yaitu mengakui (di hadapan para Malaikat).”[10]
Keberkahan Duniawi Dan Ukhrawi Sekaligus.
Berdzikir kepada Allah (dzikrullaah) merupakan benteng yang kokoh dari tipu daya syaitan dan kejahatan-kejahatannya.
Hadits-hadits yang menunjukkan hal tersebut sangat banyak, di antaranya adalah sebagai berikut:
Terdapat dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhuma bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ: لاَ مَبِيتَ لَكُمْ وَلاَ عَشَاءَ، وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ، وَإِذَا لَمْ يَذْكُرِ اللهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ.”
“Apabila seseorang memasuki rumahnya, lalu ia menyebut Nama Allah ketika (akan) masuk dan juga ketika (akan) makan, maka syaitan berkata (kepada kawannya), ‘Tidak ada tempat bagi kalian untuk bermalam dan makan malam.’ Dan apabila ia memasuki rumahnya namun ia tidak menyebut nama Allah ketika (akan) masuknya, maka syaitan berkata (kepada kawannya), ‘Kalian mendapatkan tempat untuk bermalam.’ Dan apabila ia tidak menyebut Nama Allah ketika (akan) makan, syaitan berkata, ‘Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam’.”[11]
Di dalam ash-Shahiihain, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِاسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا.”
“Seandainya ada seseorang yang hendak mendatangi isterinya (untuk berhubungan) dan ia mengucapkan, ‘Dengan Nama Allah, ya Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan (dari) apa yang Engkau karuniakan kepada kami.’ Karena sesungguhnya, apabila mereka ditakdirkan untuk mendapatkan seorang anak dari (hubungannya) tersebut, maka syaitan tidak akan sanggup mengganggunya untuk selamanya.”[12]
Dan dalam beberapa kitab Sunan, dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“سَتْرُ مَا بَيْنَ أَعْيُنِ الْجِنِّ وَعَوْرَاتِ بَنِي آدَمَ، إِذَا دَخَلَ أَحَدُهُمُ الْخَلاَءَ، أَنْ يَقُولَ : بِسْمِ اللهِ.”
“Penghalang antara mata jin dan aurat anak manusia, ketika seseorang memasuki kamar mandi (wc), adalah dengan mengucapkan, ‘Dengan menyebut Nama Allah.”[13]
Sesungguhnya do’a itu memiliki buah dan hasil akhir yang baik di dunia maupun di akhirat. Diantara yang menunjukkan akan keutamaan dzikir, bahwa maksud dari segala bentuk ketaatan yang dilakukan oleh seorang hamba kepada Allah adalah untuk menegakkan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Senantiasa mengingat Allah (dzikrullaah) merupakan rahasia, sekaligus sebagai ruh dari segala bentuk ketaatan[14].
Masih banyak lagi berbagai keutamaan yang besar dan keberkahan yang banyak dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala[15]. Karena itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdzikir kepada Allah di setiap kondisinya[16]. Seperti yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.
Maka seyogyanya bagi kita untuk selalu konsisten dalam berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berbagai bentuk dan substansinya, yang jelas-jelas kesemuanya itu harus sesuai dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan, sebagai implementasi ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan meneladani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengharap mendapatkan keutamaan-keutamaan yang agung dan keberkahan yang melimpah serta kebaikan yang banyak dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia maupun di Akhirat kelak.
[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1] Lihat dalam Shahih al-Bukhari (IV/208) Kitab Fadhaa-ilush Shahaabatin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bab Manaaqibu ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu dan Shahih Muslim (IV/2091) Kitaa-budz Dzikri wad Du’aa-i wat Taubati wal Istighfaari bab at-Tasbiihu Awwalan Nahaari wa ‘inda Naumi, dari ‘Ali Radhiyallahu anhu.
[2] Al-Waabilush Shayyib (hal. 164-165) oleh Ibnul Qayyim, dengan diringkas
[3] Al-Waabilush Shayyib (hal. 164-165) oleh Ibnul Qayyim, dengan diringkas
[4] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (II/178) Kitabush Shalat bab al-Istighfaar dan Ibnu Majah dalam Sunannya (II/1254) Kitaabul Aadab bab al-Istighfaar.
[5] Shahih al-Bukhari (VII/167) Kitabud Da’awaat bab Fadhlu Tahliil dan Shahih Muslim (IV/2071) Kitabudz Dzikr wad Du’aa wat Taubati wal Istighfaar bab Fadhlu Tahliili wat Tasbiihi wad Du’aa’.
[6] Shahih Muslim (I/418) Kitabul Masaajid wa Mawaadhi’ush Shalaah bab Istih-baabubz Dzikri ba’dash Shalaah wa Bayaani Shifaatihi.
[7] Beliau adalah Syaddad bin Aus bin Tsabit al-Anshari al-Khazraji, seorang yang tekun beribadah, sangat wara’, takut kepada Allah Ta’ala. Beliau merupakan salah seorang yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ilmu yang luas dan kelembutan. Beliau wafat di Syam pada tahun 64 H, ada yang mengatakan pada tahun yang lain.
[8] Di antara maknanya; ، التَّزِمُ أَرْجِعُ dan أَقِرُّ, yaitu mengakui. An-Nihaayah (I/159) oleh Ibnul Atsir.
[9] Shahih al-Bukhari (II/150) Kitaabud Da’awaat bab Maa yuqaalu idza Ashbaha.
[10] Shahih Muslim (IV/2074) Kitaabudz Dzikr wad Du’aa wat Taubati wal Istigh-faar bab Fadhlu Ijtimaa’ ‘alaa Tilaawatil Qur-aan wa ‘aladz Dzikr.
[11] Shahih Muslim (III/1598) Kitaabul Asyribah bab Aadabuth Tha’aam wasy Syaraab wa Ahkaamuhuma.
[12] Shahih al-Bukhari (VI/141) Kitaabun Nikaah bab Maa Yuqaalu Rajul Idza Ata Ahlahu dan Shahih Muslim (II/1058) Kitaabun Nikaah bab Maa Yustahabbu ‘an Yaquulahu ‘indal Jimaa’, lafazh hadits ini dari riwayat Muslim.
[13] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunannya (II/504) Kitaabush Shalat bab Maa Dzukira minat Tasmiyyah ‘inda Dukhuulil Khalaa’. Diriwayatkan juga oleh al-Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah (I/378). Dishahihkan oleh al-Albani. Lihat Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriiji Ahaaditsi Manaaris Sabiil (I/88).
[14] Dari kitab Madaarijus Saalikiin (II/426) oleh Ibnul Qayyim, lihat pula perinciannya dalam bukunya al-Waabilush Shayyib (hal. 159-162) dan Fat-hul Baari (XI/209-210).
[15] Ibnul Qayyim menyebutkan di dalam kitabnya, al-Waabil (hal. 91-187), lebih dari 70 kaidah dan manfaat berdzikir.
[16] Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya (I/282) Kitaabul Haidh bab Dzikrullaah Ta’aalaa fii Haalil Janaabah wa Ghairiha
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3320-keberkahan-dzikir-dan-keutamaan-keutamaannya.html