Hakikat Tawakkal
HAKIKAT TAWAKAL
Oleh
Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji
Sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya bahwa tawakkal merupakan keadaan yang muncul dari sekumpulan urusan, di mana hakikat tawakkal tidak akan sempurna, kecuali dengannya. Oleh karena itu, Ibnul Qayyim mengatakan, “Telah dikemukakan bahwa banyak dari ummat manusia yang menafsirkan tawakkal sebagai percaya sepenuhnya dan menjadikannya sebagai hakikat tawakkal itu sendiri. Dan sebagian lagi ada yang menafsirkannya sebagai penyerahan diri. Ada pula yang menafsirkannya sebagai penyerahan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kedudukan tawakkal adalah menyatukan hal tersebut secara keseluruhan.”[1]
Beberapa ulama yang telah disebutkan namanya telah menafsirkan tawakkal sebagai salah satu, dua atau tiga dari urusan-urusan ini. Dan Ibnul Qayyim menyebutnya dengan beberapa tingkatan[2], yaitu sebagai berikut:
1. Mengenal Rabb dan Sifat-Sifat-Nya, baik itu kemampuan, kekuasaan, kecukupan, berakhirnya segala urusan pada ilmu-Nya, kemunculannya dari kehendak-Nya, keyakinan pada kecukupan dari lindungan-Nya, dan kesempurnaan pelaksanaan apa yang ditugaskan kepadanya Dan bahwasanya makhluk tidak dapat menduduki posisi ini.[3]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ma’rifat (pengetahuan) ini merupakan tingkatan yang pertama, di mana seorang hamba meletakkan kakinya di (kedudukan) tawakkal.”[4]
Dia juga pernah menukil ungkapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, yaitu: “Karena itu, tawakkal tidak akan menjadi benar dan sulit dibayangkan bisa dilakukan seorang filosof ataupun golongan Qadariyah (golongan yang menolak sifat-sifat Allah), yang mengatakan bahwa di alam kekuasaan Allah ada sesuatu yang tidak bisa dikehendaki-Nya atau dari golongan Jahmiyah yang meniadakan sifat Allah Azza wa Jalla. Dan tidaklah tawakkal akan benar, kecuali dari ahlul Itsbat (Ahlus Sunnah).”[5]
Ibnul Qayyim juga mengatakan, “Mereka itu, yakni para filosof dan penganut paham Qadariyah merupakan pemutus jalanan bagi hati, antara hati itu sendiri dengan Pencipta dan kecintaan hati terhadap Allah Subhanahu wa Ta’la.”[6]
Bagaimana mungkin mereka akan membayangkan hal tersebut -yakni, tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala-, sedang mereka mengingkari ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap perkara-perkara kecil serta menafikan dari-Nya sifat-sifat al-fi’il al-ikhtiyariyah (perbuatan yang dikehendaki-Nya), iradah, dan kehendak.
2. Penetapan sebab-sebab, pemeliharaan, dan penerapannya.
Artinya, tawakkal seorang hamba tidak akan lurus dan benar, kecuali dengan menetapkan sebab-sebab, karena tawakkal merupakan sebab yang paling kuat dalam mengantarkan pelakunya untuk sampai kepadanya. Sebagian kaum sufi memahami bahwa penetapan sebab-sebab itu bisa menodai tawakkal dan penafiannya (peniadaannya) merupakan kesempurnaan tawakkal.
Dalam hal ini, mereka memiliki beberapa pendapat yang cukup terkenal, yang pembahasannya sekaligus bantahan terhadapnya akan disampaikan lebih lanjut, insya Allah. Tetapi, yang termasuk kesempurnaan tawakkal adalah tidak bersandar kepada sebab-sebab ini dan bergantung kepadanya serta pemutusan hubungan hati darinya, sebagaimana yang akan dijelasskan lebih rinci nantinya.
Oleh karena itu, tawakkal tidak akan sempurna, kecuali dengan menghilangkan sebab-sebab dari hati dan ketergantungan anggota tubuh padanya, sehingga terkadang ia terputus darinya dan terkadang bersambung dengannya. Hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Yang lebih tahu.[7]
3. Memantapkan hati pada pijakan tauhid.
Tidaklah tawakkal seorang hamba dinilai benar sampai tauhidnya dinilai benar pula. Bahkan, hakikat tawakkal adalah tauhid yang ada pada hati. Oleh karena itu, selama di dalam hati itu masih terdapat kaitan-kaitan syirik, maka tawakkalnya dinilai cacat. Seberapa jauh tingkat kemurnian tauhid, maka sejauh itu pula kebenaran tawakkal dinilai.[8]
4. Menyandarkan hati kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan merasa tenang dan tenteram serta percaya sepenuhnya terhadap pengelolaan-Nya, sebagaimana yang dikemukakan oleh sebagian kaum cerdik pandai: “Orang yang bertawakkal itu seperti anak bayi, tidak mengetahui apa-apa yang bisa dia jadikan perlindungan, kecuali payudara ibunya. Maka seperti itu pula orang yang bertawakkal, di mana dia tidak dapat berlindung, kecuali kepada Rabb-nya semata.”[9]
Oleh karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tawakkal merupakan satu makna yang menempel pada dua dasar: percaya dan bersandar. Hal tersebut merupakan hakikat: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ ‘Hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu pula aku memohon pertolongan.’ ”[10] [11]
5. Berbaik sangka kepada Allah Azza wa Jalla.
Hal tersebut telah ditafsirkan oleh sebagian orang yang telah lebih dulu berbicara tentang hal itu. Hal tersebut merupakan salah satu pilar tawakkal, di mana tawakkal tidak bisa digambarkan, kecuali dari orang-orang yang berhusnuzhan (berbaik sangka) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang benar adalah bahwa husnuzhan kepada Allah itu mengajaknya untuk bertawakkal kepada-Nya, karena tawakkal itu tidak bisa dibayangkan kepada pihak yang dijadikan sebagai sasaran buruk sangka dan tidak juga ada tawakkal pada pihak yang tidak diharapkan. hanya Allah Yang Mahatahu.”[12]
Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla telah berfirman di dalam satu hadits qudsi, “Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku.”[13]
Tiga hari sebelum wafat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
لاَ يَمُوتَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِاللهِ تَعَالَى
“Jangan sampai salah seorang di antara kalian meninggal dunia, melainkan dia dalam keadaan berbaik sangka kepada Allah Ta’ala.”[14]
6. Kepasrahan hati kepada-Nya dan menarik semua faktornya yang mengarah kepadanya serta memotong semua perintangnya.
Ini merupakan bentuk kepasrahan yang sempurna kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga dia tidak akan pernah berkehendak, kecuali apa yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak mencintai, kecuali apa yang Dia cintai, tidak juga membenci, kecuali apa yang dibenci-Nya, dan tidak mengerjakan atau meninggalkan, kecuali apa yang diperintahkan oleh Allah untuk mengerjakan atau meninggalkannya.
Dan inilah makna realisasi ‘ubudiyah (penghambaan) yang sempurna kepada Allah Ta’ala. Dan itulah makna hadits mengenai wali (Allah), yang di dalamnya disebutkan:
…وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ َلأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي َلأُعِيْذَنَّهُ…
“…Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Dan jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang dia pergunakan untuk mendengar, pandangannya yang dia pergunakan untuk memandang, tangannya yang dia pergunakan untuk menyerang, dan kakinya yang dia pergunakan untuk berjalan. Dan jika meminta kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika memohon perlindungan kepada-Ku pasti Aku akan melindunginya…”[15]
7. Pasrah Diri.[16]
Inilah yang ditafsirkan oleh Imam Ahmad dan lain-lainnya. Ibnul Qayyim mengatakan, “Penyerahan diri merupakan ruh, subtansi, sekaligus hakikat tawakkal. Yakni, sikap menyerahkan semua urusan kepada Allah, dan menempatkannya pada-Nya dengan penuh harapan, tanpa pemaksaan dan tuntutan.”[17]
Dengan demikian, pasrah diri berarti keterlepasan sekaligus keluar dari daya dan kekuatan serta penyerahan semua urusan hanya kepada Penguasannya[18] Yang Mahamulia lagi Mahaperkasa. Di dalam do’anya, Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam memanjatkan:
اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِيْ إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ.
“Ya Allah, aku serahkan wajahku kepada-Mu serta aku pasrahkan urusanku kepada-Mu.”[19]
Dan tentang orang yang beriman dari kalangan keluarga Fir’aun ia berkata dalam firman Allah Ta’ala:
وَأُفَوِّضُ أَمْرِي إِلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
“…Dan aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” [Al-Mu’min/40: 44]
Dilanjutkan dengan pemberian pahala atas kepasrahan tersebut, di mana Dia berfirman:
فَوَقَاهُ اللَّهُ سَيِّئَاتِ مَا مَكَرُوا
“Maka Allah memeliharanya dari kejahatan tipu daya mereka…” [Al-Mu’min/40: 45]
.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan dengan sanadnya kepada as-Sya’abi, dia berkata, “Syatir[20] Ibnu Sahl pernah duduk mendekati Masruq, lalu Syatir berkata, bisakah engkau ceritakan apa yang engkau dengar dari Ibnu Mas’ud, sehingga aku akan membenarkan-mu atau aku yang akan memberitahumu sehingga engkau akan membenarkan diriku? Maka Masruq berkata, ‘Tidak. Tetapi, engkau saja yang memberitahu sehingga aku akan membenarkan-mu.’ Maka dia berkata, ‘Aku pernah mendengar Ibnu Mas’ud berkata, ‘Sesungguhnya ayat yang paling agung di dalam al-Qur-an adalah mengenai: Tafwiidhan[21] (penyerahan diri), yaitu, ‘Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.[22]’ Masruq berkata, ‘Engkau memang benar.’”[23]
8. Ridha.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Ridha merupakan buah dari tawakkal. Dan orang yang menafsirkannya dengan hal itu[24], maka dia menafsirkannya dengan nilai dan faedah yang besar. Oleh karena itu, jika dia benar-benar bertawakkal, niscaya dia akan meridhai apa yang dikerjakan oleh pihak yang dipasrahinya.”[25]
Syaikhul Islam menyebutkan bahwa ridha dan tawakkal mengelilingi apa yang ditakdirkan (dimana tawakkal sebelum kejadian, sementara ridha setelah kejadian).[26]
Oleh karena itu, orang yang bertawakkal kepada Allah sebelum perbuatan dan ridha pada apa yang ditetapkan baginya setelah perbuatan, berarti dia telah melakukan ‘ubudiyah, atau makna ini.[27]
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyandingkan keduanya dalam firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّهُمْ رَضُوا مَا آتَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ سَيُؤْتِينَا اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَرَسُولُهُ إِنَّا إِلَى اللَّهِ رَاغِبُونَ
“Jikalau mereka sungguh-sungguh ridha dengan apa yang di-berikan Allah dan Rasul-Nya kepada mereka, dan berkata: ‘Cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberikan kepada kami sebagian karunia-Nya dan demikian (pula) Rasul-Nya, Sesungguhnya kami orang-orang yang berharap kepada Allah,’ (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).” [At-Taubah/9: 59].
Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menyandingkan antara keduanya di dalam do’a Istikharah yang beliau ajarkan kepada para Sahabatnya, sebagaimana beliau juga mengajarkan suatu surat dari al-Qur-an kepada mereka, di mana di awal do’anya itu, beliau mengucapkan:
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ
“Ya Alah, sesungguhnya aku memohon petunjuk kepada-Mu dengan ilmu-Mu, memohon ketetapan dengan kekuasaan-Mu, dan aku memohon karunia-Mu yang sangat agung.”
Dan ini merupakan tawakkal dan tafwidh (penyerahan diri). Kemudian beliau menutup do’anya itu dengan meminta keridhaan di dalam ucapan beliau:
وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ, ثُمَّ أَرْضِنِي بِهِ
“Tetapkanlah yang baik itu bagiku di mana pun kebaikan itu berada, kemudian jadikanlah aku orang yang ridha dengan ketetapan tersebut.”[28]
Dan di antara do’a yang beliau panjatkan di dalam shalatnya adalah sebagai berikut: “…وَأَسْأَلُكَ الرِّضَا بَعْدَ الْقَضَاء” (“…Dan aku memohon keridhaan setelah qadha’ (ketetapan)).”[29]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memintah keridhaan setelah qadha’, karena pada saat itu antara hakikat ridha sebelumnya, karena sesungguhnya ia merupakan ketetapan bahwa beliau ridha jika mendapatkannya, karena ke-ridhaan itu akan teralisasi setelahnya.”[30]
Demikianlah kedelapan tingkatan, yang di antaranya ada yang merupakan bagian dari sebab-sebab dan sendi-sendi tawakkal, dan ada juga yang merupakan bagian dari nilai dan pengaruhnya, dan ada juga di antaranya yang merupakan bagian dari maknanya. Barangsiapa yang menyempurnakannya berarti dia telah menyempurnakan maqam tawakkal sekaligus teguh padanya. Dan jika kurang salah satu darinya, berarti berkurang pula nilai tawakkalnya sesuai kekurangannya itu. Wallahu a’lam.
[Disalin dari kitab At-Tawakkul ‘alallaahi Ta’aalaa, Penulis Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar ad-Dumaiji, Edisi Indonesia MEMAHAMI TAWAKKAL Menyandarkan Semua Urusan kepada Allah Azza Wa Jalla, Penerjemah M. Abdul Ghaffar E.M. Penerbit Pustaka Ibnu Katsir, Rabi’ul Awwal 1426 H – April 2005 M]
_______
Footnote
[1] Kitab Madaarijus Salikin (I/144).
[2] Kitab Madaarijus Saaliikin (II/117).
[3] Kitab Thariiqul Hijrataini wa Baab Sa’adataini, hal. 234, karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Muhammad bin Abu Bakar, wafat tahun 571 H. Cetakan ketiga, tahun 1400 H.
[4] Kitab Madaarijus Saaliikin (III/118).
[5] Kitab Madaarijus Saaliikin (II/118).
[6] Kitab Madaarijus Saaliikin (III/17).
[7] Kitab Madaarijus Saaliikin (II/120). Lihat tambahan penjelasan tentang sebab-sebab dan hubungannya dengan tawakkal dari pembahasan ini.
[8] Kitab Madaarijus Salikin, (II/120). Topik tentang hubungan tawakkal dan tauhid akan dijelaskan lebih lanjut sebagai penjelasan tambahan, insya Allah.
[9] Kitab Madaarijus Saaliikin (II/121). Topik tentang hubungan tawakkal dan tauhid akan dijelaskan lebih lanjut sebagai penjelasan tambahan, insya Allah.
[10] Al-Qur-an Surat Al-Faatihah/1 : 5.
[11] Kitab Madaarijus Saaliikin (I/75).
[12] Kitab Madaarijus Saaliikin (II/121).
[13] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab at-Tauhiid, bab Qaulullah Ta’ala: “Wayuhadzdzirukumullah Nafsah”. Hadits nomor 7405 -Fat-hul Baari (XIII/ 295).- Muslim di dalam kitab at-Taubah, bab al-Haddhu ‘alaa at-Taubah. Hadits nomor 2675 (IV/2102). At-Tirmidzi di dalam kitab Az-Zuhud, bab Maa Jaa fii Husnizh-Zhann Billah. Hadits nomor 2388 (IV/596). Dan Ibnu Majah di dalam kitab al-Adab, bab Fadhlul ‘Amal. Hadits nomor 3822 (II/1255). Ad-Darimi di dalam kitab ar-Riqaaq, bab Husnuzh-Zhann Billah. Hadits nomor 2734 (II/214). Dan Ahmad di dalam kitab al-Musnad (II/251, 315, 391).
[14] Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab al-Jannah, bab: al-Amr bihusni azh-Zhann billah. Hadits nomor 2877 (IV/2205). Abu Dawud didalam kitab al-Janaa-iz, bab Maa Yustahabbu min Husni azh-Zhann billah ‘indal Maut. Hadits nomor 2097-‘Aunul Ma’bud (VIII/382).- Ibnu Majah dalam kitab az-Zuhud, bab at-Tawakkul wal Yaqiin. Hadits nomor 4167 (II/1395). Serta Ahmad (III/293 dan 315).
[15] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, didalam kitab ar-Riqaaq, bab at-Tawadhu’. Nomor 6502 -Fat-hul Baari (XI/348).
[16] Penulis kitab Manaazil as-Saa-iriin, Imam al-Harawi berpendapat bahwa berserah diri memiliki pengertian lebih luas dari tawakkal. Tetapi hal itu disanggah oleh Ibnul Qayyim, sekaligus didiskusikan dalil-dalilnya seraya meringkasnya sampai pada ungkapannya, “Dan pendapat yang menjadi pegangan kami adalah bahwa tawakkal itu lebih luas dari penyerahan diri, dan lebih tinggi.” Lihat kitab Madaarijus Saalikiin (II/137-139). Sebagaimana Syaikhul Islam juga telah melakukan kesalahan, di mana dia telah menjadikan tawakkal pada posisi hakikat kepasrahan murni. Lihat kitab Majmuu’ al-Fataawaa (X/22).
[17] Kitab Madaarijus Saalikiin (II/123).
[18] Kitab Madaarijus Saalikiin (II/138).
[19] Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Wudhuu’, bab Fadhlui man Baata ‘alaa wudhuu’in. Hadits nomor 247 -Fat-hul Baari (I/426).- Muslim di dalam kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a, bab Maa Yaquulu ‘inda an-Naum wa Akhdzu al-Madhji’. Hadits nomor 2710 (IV/2081). Abu Dawud di dalam kitab al-Adab, hal. 98. At-Tirmidzi di dalam kitab ad-Da’waat. Hadits nomor 161. Ad-Darimi di dalam kitab al-Isti’dzaan. Hadits nomor 51. Serta Ahmad di dalam kitab al-Musnad (IV/285 dan 290).
[20] Syatir bin Syakl bin Hamid al-‘Abbasi Abu ‘Isa al-Kufi. Dikatakan bahwa dia sempat mengalami masa Jahiliyyah, yang meninggal dunia pada pemerintahan Ibnu Zubair. Dan dia termasuk tsiqah, dengan sedikit hadits. (Tahdziib at-Tahdziib (IV/311)).
[21] Menurut Ibnu Jarir: Tafwidhan
[22] Al-Qur-an Surat Ath-Thalaaq/65: 3
[23] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir di dalam kitab at-Tafsiir (XXVIII/140). Ibnu Abid Dun-ya tentang at-Tawakkul ‘alallahi Hadits 50, hal. 87, dengan sanad jayyid. Diriwayatkan Abdurrazaq di dalam kitab al-Mushannaf. Hadits nomor 6002 (III/370). Diriwayatkan ath-Thabrani di dalam kitab al-Mu’jam al-Kabiir, hadits nomor 8659 (IX/142), dengan yang lebih panjang darinya, hanya saja ayat: “Man yattaqillah yaj’al lahu makhrajan” diganti dengan ayat: “Wa man yatawakkal ‘alaallahi fahuwa hasbuhu”. Al-Haitsami di dalam kitab al-Majma’ (VII/126), mengatakan, “Semuanya diriwayatkan oleh ath-Thabrani dengan beberapa sanad. Dan para perawi pertama adalah para perawi shahih selain ‘Ashim bin Bahdalah, di mana dia tsiqah dan padanya terdapat kelemahan.”
[24] Sebagaimana yang telah dikemukakan dari al-Hasan t, juga pendapat Yahya bin Mu’adz. Dan pernah ditanyakan, “Kapan seseorang disebut bertawakkal?” Maka dia menjawab, “Jika dia telah ridha sepenuhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai pelindung.” Basyar al-Hafi mengatakan, “Salah seorang di antara mereka mengatakan, ‘Saya bertawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala,’ berarti dia berdusta kepada Allah. Sebab, jika dia bertawakkal kepada Allah, niscaya dia akan meridhai apa yang dilakukan oleh Allah terhadap. Kitab Madaarijus Saalikiin (II/123).
[25] Kitab Madaarij as-Saaliikin (II/123).
[26] Kitab Majmuu’ al-Fataawaa (X/37), di dalam risalah at-Tuhfah al-‘Iraqiyah fii al-A’maal al-Qalbiyah, Syaikhul Islam, hal. 87. Lihat terbitan tersendiri bersamaan dengan Amraadhul Quluub wa Syifaa’uhaa. Tahqiq: Dr. Mahmud Muthraji. Cetakan pertama, tahun 1406 H, didistribusikan oleh Daarul Qalam.
[27] Kitab Madaarijus Saalikiin (II/122).
[28] Diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam kitab at-Tauhid, bab Qul Huwa al-Qaadir. Hadits nomor 739 (XIII/387). At-Tirmidzi di dalam al-Witir, bab Maa Jaa’a fii Shalti al-Istikharah. Hadits 480 (II/345). Ibnu Majah dalam kitab Iqamatish Shalah, bab Maa Jaa-a fii Shalati al-Istikharah. Hadits nomor 1383 (I/440). Ahmad di dalam kitab al-Musnad (III/344). Ibnul Qayyim memiliki ungkapan yang sangat berharga sekali terhadap hadits ini ada di dalam kitab Madaarijus Saalikiin (II/123). Bagi yang berminat, silakan merujuknya langsung.
[29] Diriwayatkan oleh an-Nasa-i di dalam kitab as-Sahwi, bab (62). Hadits nomor 1305 dan 1306 (III/54). Ahmad di dalam kitab al-Musnad (V/191). al-Hakim di dalam kitab al-Mustadrak (I/524), dari hadits Ammar bin Yasir, dan dinilai shahih oleh al-Hakim yang disepakati oleh adz-Dzahabi, sebagaimana yang dinilai shahih oleh al-Albani di dalam takhrijnya terhadap hadits-hadits al-Kalim ath-Thayyib, karya syaikhul Islam, hal. 66. Dan dia mengatakan, “Disampaikan oleh Atha’ sebelum terjadi pencampuradukan.”
[30] Kitab Madaarijus Saalikiin (II/223). Dan lihat kitab Majmuu’u al-Fataawaa (X/37)
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3282-hakikat-tawakkal.html