Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam
KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM SYARI’AT ISLAM
MUQADDIMAH
إِنَّ الْحَمْدَ ِللهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَـادِيَ لَهُ، وَأَشْـهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” [Ali ‘Imran/3: 102]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakanmu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya, dan daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (menggunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” [An-Nisaa’/4: 1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَن يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar” [Al-Ahzaab/33: 70-71]
Amma ba’du.
Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah (Al-Qur-an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (As-Sunnah). Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama), setiap yang diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di Neraka.
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Al-Qur-an kepada Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan hak dan wewenang untuk menjelaskan Al-Qur-an, sehingga dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah manusia mendapat petunjuk ke jalan yang lurus (ash-Shirath al-Mustaqim). Tidak ada jalan yang benar melainkan jalan Al-Qur-an dan As-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, mengamalkan Al-Qur-an dan As-Sunnah, berdakwah (mengajak) ummat Islam untuk berpegang kepada keduanya, serta konsekuen dan konsisten di atas keduanya.
Pada saat ini banyak aliran-aliran sesat yang berusaha memalingkan ummat Islam dari sumbernya yang asli dan suci, mereka berusaha untuk menghancurkan Islam dengan segenap tenaga mereka dengan berbagai macam cara, dengan lisan, tulisan dan lainnya.
Dalam buku ini penulis membahas tentang Kedudukan As-Sunnah dalam Syari’at Islam, karena adanya orang-orang yang berusaha untuk meragukan kedudukan As-Sunnah. Mereka ingin membatalkan Al-Qur-an dengan cara meragukan As-Sunnah. Karena apabila ummat Islam sudah meninggalkan kedua pedoman hidup ini, niscaya mereka pasti akan sesat.
Mereka berusaha untuk memadamkan cahaya Islam, akan tetapi Allah akan tetap menyempurnakan cahayanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللَّهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ
“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahayanya meskipun orang-orang kafir benci.” [Ash-Shaff/61: 8]
Ummat Islam sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meyakini bahwa As-Sunnah merupakan sumber ajaran Islam di samping Al-Qur-an. Bahkan As-Sunnah adalah wahyu sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ, أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ… (أخرجه أحمد 4/131 ولآجرّى في الشريعة 1/415 رقم 97 وغيرهما بإسناد صحيح)
“Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Kitab (Al-Qur-an) dan yang sepertinya bersamanya. Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Qur-an dan yang sepertinya bersamanya.”[1]
Maksud dari kalimat: “Dan seperti itu bersamanya” adalah As-Sunnah.
Al-Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, yang terkenal dengan Ibnu Hazm (wafat th. 456 H) berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur-an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [Al-Hijr/15: 9]
Kandungan dari ayat ini adalah bagi orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari Akhir bahwasanya Allah menjamin terpeliharanya Al-Qur-an dan tidak akan hilang selamanya. Hal ini tidak diragukan sedikit pun oleh seorang muslim dan begitu pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya adalah WAHYU, berdasarkan firman Allah:
وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur-an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” [An-Najm/53: 3-4]
Wahyu adalah Adz-Dzikr dengan kesepakatan seluruh ummat Islam, dan Adz-Dzikr terpelihara dengan nash Al-Qur-an, maka sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terpelihara dan pasti dijaga Allah Subhanahu wa Ta’ala[2].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. Dan supaya mereka memikirkan” [An-Nahl/16: 44]
Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Dengan demikian, benarlah sabda Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyangkut urusan agama merupakan wahyu dari Allah Ta’ala. Para pakar bahasa Arab dan Ahli Fiqih tidak berselisih bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikra (peringatan). Oleh karena itu, setiap wahyu adalah sesuatu yang pasti dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan yakin. Semua yang dijamin oleh Allah dengan penjagaan-Nya, terjamin pula dari kepunahan dan tidak akan berubah satu pun darinya dan tidak ada yang membatalkannya. Jika wahyu tidak terjaga, niscaya firman Allah Ta’ala dan janji-Nya adalah sesuatu yang dusta dan jaminan-Nya sia-sia. Hal ini (tidak mungkin terjadi) dan tidak sedikit pun terlintas di benak orang yang berakal. Oleh karena itu, merupakan suatu kepastian bahwa segala sesuatu yang disampaikan oleh Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan masalah agama adalah terpelihara (terjaga) dengan pemeliharaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disampaikan sebagaimana adanya kepada mereka selama-lamanya sampai hancurnya dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَٰذَا الْقُرْآنُ لِأُنذِرَكُم بِهِ وَمَن بَلَغَ
“… Dan al-Qur-an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur-an (kepada-nya)…” [Al-An’aam/6: 19]
Jadi kita dapat mengetahui bahwa semua sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang terjaga sepanjang waktu, tidak mungkin ada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hilang dalam masalah agama, dan tidak mungkin pula tersamar (bercampur) antara hadits yang palsu dan yang shahih. Kalau terjadi demikian berarti Adz-Dzikru tersebut tidak terjaga dan firman Allah Ta’ala:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُوْنَ
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya [Al-Hijr/15:9]
Adalah bohong dan janji palsu. Hal ini tidak mungkin diucapkan oleh seorang muslim.
Jika ada seseorang mengatakan bahwa yang dijamin oleh Allah terpelihara adalah Al-Qur-an saja dan bukan semua wahyu yang diturunkan selain Al-Qur-an, maka kami jawab, “Kami mohon taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tuduhan itu adalah bohong, tidak ada bukti sama sekali dan pengkhususan bahwa yang dimaksud Adz-Dzikra hanya Al-Qur-an saja, itupun tidak ada dalilnya. Maka dakwaan mereka itu adalah bathil.”
ۗ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“… Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’” [Al-Baqarah/2: 111]
Oleh karena itu, orang yang tidak punya bukti atas dakwaannya, maka ia tidak benar dan tidak bisa dipercaya.
Kalimat Adz-Dzikru mencakup semua yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa salalm, baik berupa Al-Qur-an maupun As-Sunnah, karena As-Sunnah sebagian wahyu yang telah dijelaskan oleh Al-Qur-an :
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ
Dan Kami turunkan Ad-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar mereka memikirkan. [An-Nahl/16 : 44]
Dalam ayat ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah untuk menjelaskan Al-Qur-an kepada manusia. Di dalam Al-Qur-an banyak ayat-ayat yang bersifat mujmal (global), kalau Sunnah tersebut tidak terjaga dan tidak terpelihara, niscaya ayat-ayat Al-Qur-an tidak bermanfaat, bahkan bisa menjadi batal sebagian besar dari kewajiban-kewajiban agama yang dibebankan kepada manusia?! Jika demikian, maka kita tidak mampu membedakan antara yang benar dari firman Allah dan yang salah dalam menafsirkannya atau orang yang sengaja berbohong. Semua ini mustahil terjadi pada Allah Subhanahu wa Ta’ala[3].
Di antara dalil lain yang menegaskan keotentikan As-Sunnah sebagai sumber hukum, bahwasanya Allah Ta’ala telah menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup seluruh Nabi dan Rasul dan syari’atnya sebagai penutup syari’at sebelumnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kepada manusia untuk beriman dan mengikuti segala ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari Kiamat. Allah telah menghapus segala syari’at yang bertentangan dengan syari’at beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syari’at yang abadi dan terpelihara. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan bagi setiap muslim bila berselisih tentang sesuatu untuk kembali kepada Al-Qur-an dan As-Sunnah.
فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“… Dan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” [An-Nisaa’/4: 59]
Imam Mujahid, Qatadah, Maimun bin Mihran dan ulama Salaf lainnya ketika menafsirkan ayat ini: “Kembali kepada Allah, yaitu mengembalikan kepada Al-Qur-an dan kembali kepada Rasul yaitu mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada As-Sunnah[4].
Semua Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah upaya untuk menjelaskan Al-Qur-an. Tidak ada satu pun yang samar atau tersembunyi dari semua penjelasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat, melainkan beliau telah jelaskan, ini menunjukkan bahwa agama Islam sudah sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…” [Al-Maa-idah/5: 3]
Para Sahabat telah memberi kesaksian atas hal itu pada peristiwa Hajjatul Wada’ ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri meminta mereka memberikan kesaksian, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menyampaikan seluruh risalah. Tidak ada satu pun yang beliau tidak sampaikan. Semua sudah disampaikan, apa saja yang membawa manusia ke Surga sudah beliau jelaskan, dan apa saja yang membawa manusia ke Neraka sudah beliau jelaskan pula. Karena itu, hilangnya satu bagian dari Sunnah Rasul sama buruknya dengan hilangnya satu bagian dari Al-Qur-an. Sehingga ummat Islam sepanjang sejarah telah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga dan memelihara As-Sunnah. Upaya-upaya para ulama Ahli Hadits dalam menjaga As-Sunnah dapat diringkas sebagai berikut:
- Pertama : Para Shahabat yang mulia Radhiyallahu anhum langsung menerima hadits dari Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan yang tidak sempat hadir, mereka bertanya kepada yang hadir dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Shahabat untuk menyampaikan As-Sunnah. Beliau bersabda:
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَ فَرُبَّ مُبَلَّعٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ. (رواه التّرمذى رقم 2657 وابن حبان رقم 74 وغيره. عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه وقال التّرمذى: هذا حديث حسن صحيح)
“Allah akan memberikan cahaya kepada wajah seseorang yang mendengarkan ucapanku, lalu ia menyampaikannya sebagaimana yang ia dengar. Maka boleh jadi di antara yang disampaikan kepada mereka itu ada yang lebih mengerti daripada yang mendengarkan (langsung dariku).”[5]
- Kedua : Kesungguhan para Shahabat dalam menyampaikan Sunnah Rasulullah di samping mereka langsung mengamalkan apa-apa yang datang dari al-Qur-an dan As-Sunnah.
- Ketiga : Ketelitian para Shahabat yang tinggi dalam menerima As-Sunnah, bahkan ada yang diminta untuk menjadi saksi.
- Keempat : Kesungguhan para ulama sepanjang sejarah dalam mengumpulkan As-Sunnah dan ketelitian mereka dalam menerimanya, serta hafalan mereka yang luar biasa (matan dan sanadnya).
- Kelima : Pengetahuan mereka yang dalam tentang ihwal para perawi dan sikap kritis yang tinggi dalam menerima riwayat-riwayat mereka.
- Keenam : Penyusunan ilmu al-Jarh wat Ta’dil (kriteria penerimaan dan penolakan hadits berdasarkan perawi-nya). Seperti al-Jarh wat Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razy (wafat th. 327 H).
- Ketujuh : Pengumpulan dan penyusunan ‘illat-‘illat (cacat) hadits dengan pembahasan yang lengkap. Seperti kitab ‘Ilal Imam ad-Daraquthni dan Imam at-Tirmidzi.
- Kedelapan : Penyusunan kitab-kitab untuk membedakan hadits-hadits maqbul (yang dapat diterima) dengan hadits mardud (ditolak).
- Kesembilan : Penyusunan kaidah-kaidah yang menjelaskan kriteria penerimaan atau penolakan suatu hadits dari berbagai segi.
- Kesepuluh : Penyusunan biografi para perawi hadits dengan pembahasan lengkap tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kesamaran atau perbedaan atau persa-maan dalam nama dan kun-yah. Seperti kitab:
- Tahdzibul Kamal fi Asma-ir Rijal oleh al-Hafizh Ja-maluddin Abul Hajjaj Yusuf bin ‘Abdirrahman al-Mizzi (wafat th. 742 H)
- Tahdziib Tahdzibul Kamal oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahabi (wafat 748 H)
- Mizanul I’tidaal (4 jilid) oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahabi.
- Tahdzibut Tahdzib (12 jilid) oleh al-Hafizh Syihabud-din Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqa-lany (wafat th. 752 H)
- Taqribut Tahdzib (2 jilid) oleh al-Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalany
- Al-Kuna wal Asma’ oleh Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad bin Hammad bin Sa’d al-Anshary ad-Daulaby (wafat th. 320 H), dan kitab-kitab lain, ratusan jilid kitab yang membahas tentang hal ihwal rawi.
Dengan penjelasan di atas, kita tahu bahwa As-Sunnah yang berada di tangan kita telah dikumpulkan, dikodifikasi, disusun dan dipelihara keabsahannya dan keotentikannya oleh para ulama Islam hingga hari Kiamat, sebagaimana pertama kali mereka dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Salah satu faktor terkuat yang memelihara keabsahan As-Sunnah adalah metode sanad dan kritik sanad. Ini merupakan keistimewaan tersendiri bagi ummat ini yang tidak ditemukan pada ummat-ummat lain.
Kata ‘Abdullah Ibnul Mubarak (wafat th. 181 H) berkata:
َاْلإِسْنَادُ مِنَ الدِّيْنِ لَوْلاَ اْلإِسْنَادُ لَقَالَ مَنْ شَاءَ مَاشَاءَ.
“Sanad itu merupakan bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, niscaya siapa saja akan berkata menurut apa yang dikehendakinya.”[6]
Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H) mengomentari perkataan di atas, bahwa bila sanad hadits itu dapat diterima, bila tidak shahih maka harus ditinggalkan. Dinyatakan hubungan hadits dengan sanadnya seperti antara hubungan hewan dengan kakinya[7].
Dalam buku ini, penulis terangkan kedudukan As-Sunnah sebagai pembelaan terhadap As-Sunnah yang selalu dirongrong oleh musuh-musuh Islam dan orang-orang kafir, munafik, ahlul bid’ah, orientalis, dan para pengekornya. Mudah-mudahan penjelasan dalam buku ini dapat difahami, diamalkan, dan bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga tulisan ini menjadi timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat.
Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, para Shahabatnya serta para pengikut beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tetap ittiba’ mengikuti Sunnahnya, hingga akhir zaman.
Alhamdulillaahi Rabbil ‘Aalamiin.
Bogor,
30 Jumadil Awal 1426 H
7 Juli 2005 M
Penulis
Yazid bin Abdul Qadir Jawas
(Abu Fat-hi)
[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
______
Footnote
[1] Hadits shahih riwayat Ahmad (IV/131), al-Ajurri dalam kitabnya asy-Syari’ah (I/415 no. 97) dan selain keduanya. Dari Shahabat al-Miqdam bin Ma’di Kariba al-Kindi Radhiyallahu anhu
[2] Al Ihkam fii Ushulil Ahkam (I/96, 207) cet. Darul Kutul al-Ilmiyah.
[3] Al-Ihkam fii Ushulil Ahkam (I/117-118).
[4] Lihat Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari (IV/154 no. 9884-9889), cet. I Darul Kutub al-‘Ilmiyah-Beirut 1412 H dan lihat juga Tafsir Ibnu Katsir (I/568), cet. Darus Salam.
[5] Hadits riwayat at-Tirmidzi (no. 2657), Ibnu Hibban (no. 74), dan lainnya. Dari Shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”
[6] Muqaddimah Shahih Muslim.
[7] Shahih Muslim bi Syarah Imam an-Nawawi (I/88), cet. Darul Fikr.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3166-kedudukan-as-sunnah-dalam-syariat-islam.html