Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Menjual barang yang masih utangan adalah salah satu permasalahan dalam jual beli dan sering terjadi di tengah-tengah kita. Contoh kasusnya adalah si M membeli motor dari pihak A secara tidak tunai, lalu ketika masih belum selesai pelunasan ia menjualnya lagi pada pihak B secara tunai. Apakah jual beli semacam ini dibolehkan?
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah sangat menekankan bahwa ada dua jual beli yang mesti dibedakan yaitu jual beli tawarruq dan jual beli ‘inah. Intinya, maksud beliau hafizhohullah, dua macam jual beli tersebut berbeda.[1]
Berikut kami jelaskan dua macam jual beli tersebut. Moga manfaat.
Definisi Jual Beli Tawarruq
Yang dimaksud jual beli tawarruq secara istilah adalah membeli suatu barang secara tidak tunai kemudian menjualnya lagi dengan tunai pada orang lain (bukan pada penjual pertama) dengan harga yang lebih murah dari harga saat dibeli.
Contoh: Ahmad membeli motor secara kredit (dengan kredit yang halal tentunya)[2] dari pihak A seharga 15 juta. Kemudian masih dalam tempo pelunasan utang, Ahmad sudah menjual motor tersebut pada pihak B dengan harga lebih murah, yaitu 13 juta.
Jadi sebenarnya maksud Ahmad adalah ia butuh uang 13 juta. Namun ia hanya punya uang untuk cicil motor sebesar 1 juta. Jadi ia membeli motor dengan uang cicilan 1 juta tadi, lalu masih dalam waktu pelunasan kredit, ia jual motor itu lagi pada pihak B dengan harga lebih murah, 13 juta secara kontan. Moga paham dengan gambaran ini.
Istilah jual beli tawarruq cuma kita temukan pada istilah pakar fiqih Hambali. Ulama madzhab lainnya memasukkan pembahasan jual beli di atas pada pembahasan “bai’ al ‘inah” (jual beli ‘inah).
Defini Jual Beli ‘Inah
Ada beberapa definisi mengenai jual beli ‘inah yang disampaikan para ulama. Definisi yang paling masyhur adalah seseorang menjual barang secara tidak tunai, kemudian ia membelinya lagi dari pembeli tadi secara tunai dengan harga lebih murah.
Contoh: Sufyan menjual motor pada pihak A seharga 15 juta dan pembayarannya dilunasi sampai dua tahun ke depan. Belum juga dilunasi oleh si A, Sufyan membeli lagi motor tersebut dari si A dengan harga lebih rendah yaitu 13 juta, dengan dibayar kontan.
Sebenarnya yang terjadi adalah si A butuh uang 13 juta. Jual beli motor hanyalah perantara namun maksudnya adalah untuk meminjam uang. Untuk maksud peminjaman ini, Sufyan yang ingin meminjamkan uang pada si A, menjualkan motor padanya. Lalu Sufyan beli lagi motor tadi dari si A dengan harga lebih rendah dari penjualan. Sama saja maksudnya adalah Sufyan meminjamkan uang pada si A 13 juta, nanti dikembalikan 15 juta, sedangkan motor hanya untuk mengelabui saja.
Moga paham lagi dengan gambaran di atas.
Sehingga dari sini sebenarnya yang terjadi pada jual beli ‘inah adalah utang dengan kedok jual beli dan bermaksud mencari untung dari utang tersebut.
Padahal ada suatu kaedah para fuqoha yang ini dibangun di atas dalil,
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا
“Setiap utang yang mendatangkan keuntungan, maka itu adalah riba.”
Padahal dosa riba telah jelas disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama.”[3] Maksud perkataan “mereka semua itu sama”, Syaikh Shafiyurraahman Al Mubarakfury mengatakan, “Yaitu sama dalam dosa atau sama dalam beramal dengan yang haram. Walaupun mungkin bisa berbeda dosa mereka atau masing-masing dari mereka dari yang lainnya.”[4] Tentang dosa riba, lihat bahasan rumaysho.com di sini: https://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/2620-memakan-satu-dirham-dari-hasil-riba-.html.
Hukum Jual Beli ‘Inah
Mengenai hukum jual beli ‘inah, para fuqoha berbeda pendapat dikarenakan penggambaran jual beli tersebut yang berbeda-beda. Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad tidak membolehkan jual beli tersebut. Sedangkan –sebagaimana dinukil dari Imam Asy Syafi’i rahimahullah-, beliau membolehkannya karena beliau mungkin hanya melihat dari zhohir akad, menganggap sudah terpenuhinya rukun dan tidak memperhatikan adanya niat di balik itu. Namun yang tepat, jual beli ‘inah dengan gambaran yang kami sebutkan di atas adalah jual beli yang diharamkan. Di antara alasannya:
Pertama: Untuk menutup jalan pada transaksi riba. Jika jual beli ini dibolehkan, itu sama saja membolehkan kita menukarkan uang 10 juta dengan 5 juta namun yang salah satunya tertunda. Ini sama saja riba.
Kedua: Larangan jual beli ‘inah disebutkan dalam hadits,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَ يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, mengikuti ekor sapi (maksudnya: sibuk dengan peternakan), ridha dengan bercocok tanam (maksudnya: sibuk dengan pertanian) dan meninggalkan jihad (yang saat itu fardhu ‘ain), maka Allah akan menguasakan kehinaan atas kalian. Allah tidak akan mencabutnya dari kalian hingga kalian kembali kepada agama kalian.”[5]
Hukum Jual Beli Tawarruq
Mayoritas ulama membolehkan jual beli tawarruq, terserah ia menamakannya dengan tawarruq (sebagaimana dalam madzhab Hambali), atau ia menamakannya dengan istilah lain (bagi ulama selain Hanabilah). Alasan mereka yang membolehkan adalah keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَحَلَّ اللَّهُ البَيْعَ
“Allah menghalalkan jual beli.” (QS. Al Baqarah: 275)
Alasan lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بِعِ الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ، ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا
“Janganlah kamu melakukannya, juallah semua kurma itu dengan dirham kemudian beli dengan dirham pula”.[6] Hadits ini dimaksudkan kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengizinkan menukar langsung kurma kualitas bagus dan kurma kualitas rendah dengan takaran yang berbeda, artinya harus takarannya sama dan kontan. Sedangkan kalau kurma yang jelek kita jual dulu dan dapat sejumlah uang, lalu kita beli kurma bagus, maka ini dibolehkan. Ini artinya jika dalam satu transaksi tidak nampak bentuk dan maksud riba, maka tidak ada masalah. Sama halnya dengan jual beli tawarruq, sama sekali tidak ada bentuk riba di dalamnya.[7]
Penutup
Sungguh berbeda dua macam jual beli tersebut. Perbedaan keduanya terlihat jelas. Jual beli ‘inah, kita menjual dan membeli lagi pada pihak yang sama. Sedangkan jual beli tawarruq, membeli dan menjualnya pada pihak yang berbeda. Sehingga dari sini jelas hukumnya berbeda. Jual beli ‘inah jelas mengandung trik riba.
Catatan yang perlu diperhatikan bagi orang yang ingin melaksanakan transaksi tawarruq adalah:
- Karena tawarruq ada unsur utang piutang, maka seharusnya dilakukan dalam keadaan butuh sebagaimana juga dalam hal berutang.[8]
- Hendaknya barang yang dijual (setelah sebelumnya dibeli tidak tunai), benar-benar telah menjadi milik utuh si penjual, artinya benar-benar ia miliki dan kuasai, bukan dikuasai atau berada di pihak lain.[9]
Pembahasan tawarruq ini juga menunjukkan bahwa barang yang sudah dibeli secara kredit sudah menjadi milik pembeli seutuhnya. Coba lihat bagaimana kelirunya perkreditan yang ada di negeri kita. Ketika kita membeli motor secara kredit, pihak perkreditan masih menganggap bahwa motor tersebut tetap miliknya. Maka apa yang terjadi jika sudah jatuh tempo pelunasan, motor masih belum dilunasi? Motor tersebut akan ditarik dari pihak pembeli. Padahal yang tepat, motor yang sudah dibeli secata kredit sudah jadi milik pembeli, bukan lagi milik penjual walaupun itu dibeli secara tidak tunai (alias utang).
Pahami pembahasan riba lebih jauh di bahasan berikut:
Semoga bahasan ini bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Reference:
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 14/147-148.
Faedah Durus Syaikh Sholeh Al Fauzan (sesi tanya jawab), pembahasan kitab Al Muntaqo, Sabtu, 19 Muharram 1432 H.
Minnatul Minnah Syarh Shahih Muslim, Syaikh Shofiyurrahman Al Mubarakfuri, Darus Salam, Riyadh, cetakan pertama, 1420 H.
Prepared in Riyadh KSA, in the blessing morning, 20th Muharram 1432 H (26/12/2010)
By: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Syaikh Sholeh Al Fauzan terangkan hal ini dalam Durus Fiqih Kitab “Al Muntaqo” (19 Muharram 1432 H).
[2] Di sini kami maksudkan kredit yang halal karena ada bentuk kredit motor yang bermasalah (yang mengandung riba). Lihat bahasan rumaysho.com di sini: https://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/2816-kredit-lewat-pihak-ketiga-bank.html
[3] HR. Muslim no. 1598, dari Jabir
[4] Minnatul Mun’im fi Syarhi Shohihil Muslim, 3/64
[5] HR. Abu Daud no. 3462. Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Al ‘Azhim Abadi Abuth Thoyyib, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 9/242
[6] HR. Bukhari no. 4244, 4245 dan Muslim no. 1593, dari Abu Sa’id Al Khudri dan Abu Hurairah.
[7] Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim melarang jual beli tawarruq. Namun yang lebih tepat adalah penjelasan di atas.
[8] Baca tentang Bahaya Utang di rumaysho.com: https://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/1739-bahaya-orang-yang-enggan-melunasi-hutangnya.html
[9] Lihat bahasan Ustadz Abu Mu’awiyah di sini: http://al-atsariyyah.com/masalah-at-tawarruq.html