Syubhat-syubhat dan Jawaban Wanita Safar Tanpa Mahram
HUKUM SAFAR BAGI WANITA TANPA MAHRAM
Oleh
Ummu ‘Abdillah As-Salafiyah
SYUBHAT-SYUBHAT DAN JAWABANNYA
1. Ada orang mengatakan bahwa larangan wanita safar tanpa mahram adalah apabila menggunakan angkutan zaman dulu, seperti onta, kuda, atau lainnya, yang wanita akan mengalami kesukaran, kesusahan dan menghabiskan waktu yang lama Adapun wanita yang bersafar menggunakan angkutan zaman sekarang, baik angkutan udara, darat atau laut, maka tidak termasuk keumuman hadits yang melarang wanita safar tanpa mahram.
Kami katakan untuk menjawab terhadap syubhat ini, yaitu: bahwa syariat dan agama kita sesuai untuk setiap zaman dan tempat- Alhamdulillah-. Maka sebagaimana syariat dan agama kita sesuai untuk zaman onta dan pedang, sesuai pula untuk zaman pesawat terbang, roket dan atom. Seandainya agama ini hanya sesuai pada satu zaman saja, seperti agama-agama terdahulu, pastilah Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus seorang nabi lagi setelah nabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal pastilah Rabb kita tidak akan melakukan hal tersebut, karena Dia telah berfirman:
مَّاكَانَ مُحَمَّدٌ أَبَآ أَحَدٍ مِّن رِّجَالِكُمْ وَلَكِن رَّسُولَ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi“. [Al-Ahzab/33: 40]
Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَأَنَا خَاتَمُ النَّبِيِّينَ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي
“Aku adalah penutup para nabi dan tidak ada nabi setelahku“. [HR. Muslim 1920, Abu Dawud 4252, Tirmidzi 2203]
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjuki umatnya kepada setiap kebaikan dan melarang mereka dari setiap keburukan serta mengabarkan kepada mereka berbagai cobaan dan bencana-bencana yang akan terjadi sampai hari kiamat. Seandainya syari’at, perintah dan larangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlaku hanya berlaku untuk satu zaman, maka pastilah beliau sudah menjelaskannya.
وَمَاكَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا
“Tidaklah Rabbmu lupa“. [Maryam/19: 64]
Kemudian sesungguhnya orang-orang yang menyelidiki kejadian-kejadian pelanggaran kehormatan di pesawat terbang, mobil dan angkutan lainnya di zaman sekarang ini, dia akan mendapatkan keyakinan bahwa dahsyatnya bahaya tersebut tetap ada, dan sebab (alasan) yang karenanya nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita safar sendirian tetap berlaku dari zaman dulu sampai sekarang.
Sering kita dengar tentang pembajakan pesawat terbang, sedangkan wanita dapat menimbulkan syahwat, dia lemah dan merupakan incaran para lelaki. Wanita sering dipamerkan untuk kerakusan orang-orang fasiq, padahal mereka seperti serigala yang siap menerkam, mereka menanti kesempatan yang datang untuk dapat menyendiri dengan wanita tersebut dan menyerbunya untuk memproleh kehormatan dan kesuciannya. Kejadian perampasan dan pemerkosaan sudah tidak terhitung jumlahnya, banyak terjadi di negeri kafir dan negeri muslim. Di antara sebab yang paling banyak adalah: bercampur baurnya (ikhtilath) antara laki dan perempuan, laki-laki menyendiri dengan wanita, dan safarnya wanita sendirian tanpa disertai mahram. Maka wanita yang meremehkan masalah ini akan dapat kehilangan kehormatan dan kesuciannya dimana keduanya merupakan perhiasan wanita di setiap zaman dan tempat. Karena keselamatan dien wanita tergantung juga dengan keselamatan kehormatan, kemuliaan dan akhlaqnya. Dan agama tidak akan menjaga wanita kecuali jika dia mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhi apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kepada bapak-bapak, suami dan penguasa yang menjadi penanggung jawab masalah (Auliya’ul umur) ini, janganlah meremehkan masalah yang berbahaya ini. Padahal dengan mentaati agama dalam masalah ini dan masalah lainnya akan dapat menjaga kehormatan kaum muslimin di setiap waktu dan tempat. Kalau tidak, maka kemurkaan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan dirasakan oleh umat ini dan adzabNya akan terjadi tanpa kecuali. Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka“. [At-Tahrim /66: 6]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Setiap kalian adalah pemimpin dan masing-masing kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. [HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad][1]
- Sebagian orang mengatakan: “Mengapa wanita dilarang safar kecuali bersama dengan mahramnya?”.
Hakekat syubhat ini menurut mereka adalah “mengapa seorang wanita tidak diberikan kepercayaan yang sempurna pada dirinya? Mengapa harus ada ketakutan yang berlebihan? Hendaklah berbaik sangka kepada wanita dan jangan mengkhawatirkan dirinya”.
Padahal sebenarnya keharusan adanya mahram bersama wanita tersebut merupakan penghormatan bagi wanita. Karena mahram ini pada hakekatnya dianggap sebagai khadim (pembantu) yang mengerjakan kebutuhan-kebutuhannya, dan memberikankan ketenangan yang sempurna baginya. Sebagaimana juga mahram dianggap sebagai penjaga kehormatan dan kemuliaannya dari (gangguan) orang-orang rendah dan jelek akhlaqnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أنْ تُسَافِرُ إِلاَّ وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ
“Tidaklah halal (tidak boleh) seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir bersafar kecuali bersama dengan mahramnya“.
Dan perintah beliau kepada seorang laki-laki yang sudah tercatat untuk mengikuti peperangan agar dia pergi berhaji bersama istrinya. Semua itu adalah untuk kemaslahatan wanita itu sendiri. Hal ini tidak menghilangkan kepercayaan dirinya sendiri, bahkan akan menenangkan jiwanya dan menjamin keselamatannya. Sesungguhnya melepaskan tali kendali bagi wanita untuk bersafar kapan saja dia mau, tanpa disertai mahram akan mengantarkan dirinya dan masyarakat seluruhnya pada malapetaka yang berbahaya. Dan hal tersebut merupakan bahaya yang mengancam keselamatan wanita. Karena orang yang ingin berbuat jahat terhadapnya dan menanti dirinya pastilah akan dapat melakukannya, sehingga merusak kehidupan dan kehormatannya.
Di antara tabi’at wanita adalah lemah badan dan pribadi (jiwa)nya, maka sering dikalahkan oleh laki-laki. Disebabkan kelemahannya, laki-laki sering mempengaruhi wanita dan mencoba agar wanita tersebut bersedia menyerahkan diri dan kehormatannya. Dari sini (diketahui bahwa) mahram bagi wanita dalam bersafar adalah perkara yang wajib. Sebagaimana adanya mahram yang menghalangi wanita khalwat (menyendiri dengan laki-laki yang bukan mahram) adalah suatu perkara yang wajib.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki berkhalwat dengan wanita asing (bukan mahram), karena hal tersebut mengakibatkan terjadinya bencana, dimana syaithan akan menjadi pihak ketiga dalam khalwat ini, sedangkan syaithan adalah musuh besar yang nyata bagi manusia. Semua ini adalah untuk menjaga akhlaq wanita, sampai rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang laki-laki berkhalwat dengan wanita yang masih kerabat bagi laki-laki ini, apabila tidak ada mahram bersamanya, seperti saudara laki-laki, paman dari ayah atau paman dari ibu suami. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
“Janganlah kalian menemui wanita (yang bukan mahram). Seorang lelaki dari kalangan Anshar bertanya: “Apa pendapat anda tentang saudara ipar?”. Beliau bersabda: “Ipar adalah maut“.
Ipar adalah kerabat suami yang bukan mahram.
Seandainya tidak ada kehati-hatian pastilah syaithan akan mempengaruhi bani Adam, dan pastilah wanita yang akan menjadi korban. Dan jika itu terjadi, para penyeru kebebasan tidak akan dapat membebaskan dari bencana itu.
Kalu demikian, maka apakah mahram -yang menjaga akhlaq wanita, agamanya dan keselamatan hidupnya- itu dianggap mempersempit kebebasan (urusan) nya serta merampas kepercayaan dirinya? Yang benar adalah bahwa hal itu merupakan bagian yang penting dari hak-hak kebebasannya (hak-hak untuk mendapatkan perlindungan-Red) yang hal ini tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang Allah terangi hatinya dengan cahaya iman[2].
- Sebagian orang membolehkan seorang wanita diantarkan oleh mahramnya sampai naik pesawat terbang, kemudian mahramnya yang lain akan menjemputnya di negara tujuan. Menurut pendapat mereka pesawat terbang itu aman, karena didalamnya banyak penumpang laki-laki dan perempaun.
Kami katakan kepada mereka: “Ketahuilah bahwa pesawat terbang bahayanya lebih besar daripada kendaraan lain, karena penumpang bercampur baur didalamnya. Kemungkinan wanita tersebut akan duduk di samping laki-laki (yang bukan mahramnya), dan kemungkinan juga pesawat menghadapi sesuatu (cuaca buruk misalnya) yang dapat merubahnya menuju ke bandara yang lain (bukan tujuan). Kalau itu terjadi, maka wanita tersebut tidak akan menemukan mahram yang akan menjemputnya, sehingga ia menghadapi bahaya. Apa yang terjadi pada wanita tersebut di negara yang tidak dia kenal, dan tidak ada mahram baginya di negara tersebut?”[3].
Syeikh Al-Albany rahimahullah menyebutkan kisah sebagai berikut:
“Ada mahram seorang wanita mengantarkannya ke bandara, karena wanita tersebut mempunyai janji dengan suaminya di bandara yang akan ia tuju. Setelah pesawat lepas landas, seorang pramugari yang keji memperhatikan wanita yang sendirian ini, yang ia adalah seorang yang cantik. Lalu pramugari yang keji ini memberitahu pilot pesawat, tentang kecantikan wanita itu dan bahwa dia sendirian. Lalu pilot pesawat merubah arah pesawat dari rutenya yang pertama menuju bandara lain, dengan alasan bahwa ada kerusakan pada pesawat. Setelah pesawat mendarat di bandara itu, pramugari tadi menemani wanita itu menuju keperistirahatan penumpang, dengan keyakinan wanita tersebuat bahwa pramugari ini ingin menemaninya karena dia sendirian. Setelah pramugari tadi menyiapkan tempat yang cocok, kemudian dia memberi tahu pilot, bahwa segala sesuatunya seperti yang dia inginkan. Lalu pilot tersebut segera menuju ke tempat itu, kemudian menemui wanita tadi. Dan di sini terjadilah perbuatan yang keji. Setelah itu para penumpang menaiki pesawat dan melanjutkan perjalanan mereka sehingga sampai ke bandara tujuan. Di sana mahram wanita tersebut menunggu, lalu wanita tersebut memberitahukan padanya apa yang telah terjadi pada dirinya. Akan tetapi (wahai para wanita) dapat membayangkan bagaimana perasaan mahram wanita tersebut.”[4]
FATWA ULAMA TENTANG HUKUM SAFAR WANITA TANPA SUAMI ATAU MAHRAM
1. Fatwa Samaahah As-Syaikh Al-‘Alamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz rahimahullah:
Soal: “Apakah seorang wanita dianggap sebagai mahram bagi wanita asing (bukan mahram) dalam safar, bermajlis dan semisalnya atau tidak dianggap mahram?”
Jawab : Seorang wanita bukan mahram bagi wanita lainnya, mahram itu hanyalah laki-laki yang haram menikah dengannya karena nasab, seperti: ayahnya, saudara laki-lakinya, atau dengan sebab mubah seperti suami, ayah suami (mertua), anak suami, dan seperti ayah susuan, saudara laki-laki dari susuan dan semisalnya.
Tidak boleh laki-laki berkhalwat (menyendiri) dengan wanita asing (bukan mahram) dan tidak boleh bersafar dengannya berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Wanita tidak boleh safar kecuali bersama dengan mahramnya“.
Hadits tersebut disepakati keshahihannya. Dan berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بِامْرَأَةٍ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ ثَالِثُهُمَا
“Janganlah seorang laki-laki berkhalwat (menyendiri) dengan wanita karena setan menjadi pihak yang ketiga dari keduanya“. [HR. Ahmad][5].
2. Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah
Soal: “Ada seorang wanita dari Saba’ terkenal sebagi wanita shalihah, dia berumur setengah baya atau mendekati lanjut usia dan dia ingin menunaikan haji, akan tetapi tidak mempunyai mahram (yang dapat menyertainya). Ada laki-laki diantara penduduk negeri itu yang ingin pergi haji, dia terkenal sebagi laki-laki shalih dan dia bersama wanita-wanita dari kalangan mahramnya. Apakah boleh wanita tersebut berhaji bersama laki-laki yang baik ini dan wanita-wanitanya, dan dia berada bersama para wanita sedangkan laki-laki itu mengawasinya, ataukah kewajiban haji gugur darinya karena tidak adanya mahram, sedangakan dia mampu dari sisi harta?. Berilah fatwa kepada kami semoga Allah memberkahimu, karena kami berbeda pendapat dengan beberapa ikhwan.
Al-Lajnah telah menjawab sebagai berikut:
Seorang wanita yang tidak mempunyai mahram tidak wajib haji atasnya, karena mahram termasuk as-Sabiil, dan kesanggupan as-Sabiil adalah syarat dalam wajibnya haji. Allah ta’ala berfirman:
وَللهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ اللهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah“. [Ali-Imran/3: 97].
Wanita tidak boleh melakukan bersafar untuk haji atau untuk selainnya, kecuali bersama dengan suami atau mahramnya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إلاَّ مَعَ ذي مَحْرَمٍ
“Tidak halal bagi wanita melakukan safar sehari semalam kecuali bersama dengan mahramnya“.
Dan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga dari ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu beliau mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (artinya): “Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali bersama dengan mahram wanita tersebut, janganlah seorang wanita safar kecuali bersama dengan mahramnya”. Lalu seorang berdiri dan berkata: “Wahaia Rasulullah sesungguhnya isteriku keluar untuk berhaji, sedangkan aku tercatat untuk mengikuti perang ini dan ini.” Beliau bersabda: “Pergilah dan berhajilah bersama isterimu.”
Al-Hasan an-Nakha’i, Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir dan Ashabur Ra’yi telah berpendapat dengan perkataan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Dan itulah yang shahih karena sesuai dengan keumuman hadits-hadits yang melarang wanita safar tanpa disertai suami atau mahramnya. Sedangkan Malik, Asy-Syafi’i dan al-Auza’iy menyelisihi dalam hal itu, dan masing-masing mereka memberikan syarat yang tidak ada hujjahnya sama sekali.
Semoga Allah memberikan shalawat kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Majalah ad-Da’wah 7688 – al-Lajnah ad-Da’imah].
3. Fatwa Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah.
Beliau rahimahullah berkata: “Seorang wanita tidak boleh bersafar untuk haji atau untuk selainnya kecuali bersama mahramnya, sama saja baik safarnya tersebut lama atau sebentar, bersama para wanita atau tidak, pemudi ataupun lanjut usia, berdasarkan keumuman sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
لاَ تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Janganlah seorang wanita bersafar kecuali bersama dengan mahramnya“.
Hikmah dilarangnya wanita safar tanpa mahram adalah kurangnya akal wanita, kurangnya (kekuatannya untuk) membela dirinya, dan dia adalah incaran para laki-laki. Terkadang dia ditipu, dipaksa atau lemah agamanya lalu keluar disertai syahwatnya, sedangkan pada dirinya terdapat sesuatu yang diinginkan oleh orang-orang yang rakus. Maka mahram-lah yang akan melindunginya, menjaga kehormatannya dan membelanya. Oleh karena itu mahram disyaratkan harus laki-laki yang baligh dan berakal, sehingga tidaklah mencukupi anak kecil yang belum baligh dan tidak pula orang yang tidak berakal.
Mahram adalah suami wanita tersebut dan setiap orang yang haram menikahinya selamanya baik karena sanak saudara (keluarga), susuan atau (keluarga) karena perkawinan[6].
4. Fatwa Syaikh Muhammad Ibrahim Syaqrah Hafidhulullah
Beliau Hafidhulullah berkata: “(Bagi) wanita ditambah syarat yang keenam yaitu adanya suami, atau mahram yang akan bersafar bersamanya untuk haji. Karena tidak halal baginya bersafar untuk berhaji atau selainnya kecuali bersama suami atau mahramnya, seperti: ayah, saudara laki-laki atau anak laki-laki. Sama saja baik didapati teman wanita yang amanah ataupun tidak, baik haji yang wajib ataupun sunnah, baik lanjut usia ataupun gadis.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ إلاَّ وَمَعَهَا ذي مَحْرَمٍ
“Tidak halal bagi wanita safar sejauh sehari semalam (perjalanan) kecuali bersama dengan mahramnya“.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan seorang laki-laki yang telah menyiapkan (keperluan) untuk berperang sedangkan isterinya ingin menunaikan haji, agar dia berhaji bersama isterinya dan meninggalkan jihad.
Seaandainya para ulama -yang berpendapat bolehnya wanita safar dengan seorang wanita yang amanah- melihat atau mendengar apa yang terjadi pada zaman kita sekarang ini –padahal perantara-perantara safar telah menjadi mudah, dengan adanya pesawat terbang, mobil atau lainnya, yaitu kejadian yang berupa perampasan pesawat-pesawat terbang, perubahan arah tujuan dan seringnya pendaratan darurat selain pada bandara yang dinginkan, pastilah mereka melihat kembali pada apa yang telah mereka katakan.
Tidaklah aku merasa heran kecuali terhadap sekelompok ahlu ilmi pada zaman sekarang ini, mereka menjadikan mudahnya perantar-perantara (angkutan-angkutan), singkatnya waktu dan semakin singkatnya jarak perjalanan yang jauh sebagai sebab dibolehkannya wanita safar sendirian tanpa mahram atau suami, sedangkan mereka melihat bencana yang terjadi pada manusia secara langsung!
Kepada Allahlah tempat mengadu, aku ingatkan mereka dengan firmanNya Azza wa Jalla :
وَمَاكَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا
“Dan tidaklah Rabbmu lupa“.
(Irsyaadu As-Saary Ilaa ‘Ibaadati al-Baary, hal: 19, 20)
Pada kitab yang sama hal: 41, beliau berkata: (Di bawah judul: masalah-masalah yang khusus tentang haji wanita):
- Pertama: Apabila syarat-syarat wajib haji bagi wanita telah terealisasikan kecuali (adanya) suami atau mahram yang menemaninya dalam safarnya, maka telah gugur kewajiban haji darinya.
- Kedua: Apabila wanita safar untuk berhaji tanpa ditemani suami atau mahram, maka dia telah berbuat maksiat dengan safarnya ini. Sama saja, baik bersama teman wanita yang amanah ataupun teman wanita yang tidak amanah. Akan tetapi apabila dia telah menunaikan manasik hajji maka hajinya telah sempurna dan gugur kewajiban haji darinya.
Wallahu A’lam Bish-Shawwab.
Semoga Allah Azza wa Jalla memberikan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti dengan baik sampai hari kiamat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun V/1422/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lihat. Kasyful Khafa’ an Ahkaami Safarin Nisa’ oleh Syeikh Muhammad Musa Nashr. Hal. 22-25
[2] Syubhaatun fi Thariqatil Mar’atil Muslimah, hal: 48-49, karya syeikh Abdullah Al-Jilaaly , sebagaimana dinukil dalam kutaib “Min Mukhalafatin Nisa’, hal: 45-47, jama’a Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdullah As-Sudhaan
[3] Tanbihaat ‘alaa Ahkaamin Takhtashshu Bil Mukminat, oleh Syeikh Fauzan Al-Fauzan
[4] Dinukil dari Min Mukhaalafaatin Nisaa’, hal. 47-48
[5] Al-Fataawaa / Samahah Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baaz (190) dicetak oleh Muassasah Ad-Da’wah Al-Islamiyah
[6] Al-Manhaj Li Muriidil ‘Umrati Wal Hajji, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin hal: 7
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2849-syubhat-syubhat-dan-jawaban-wanita-safar-tanpa-mahram.html