Bismillah … Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ulama besar di abad ke-3 hijriyah telah menyebutkan pula mengenai keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengenai keberadaan Allah di atas ‘Arsy dan itu menunjukkan sifat ketinggian bagi Allah. Jika ada yang menanyakan bahwa keyakinan seperti ini berarti menetapkan Allah itu jauh, padahal dalam banyak ayat dibuktikan kalau Allah itu begitu dekat. Jawabannya, pada makhluk kita dapat mengatakan ia tinggi tetapi dekat. Jika itu mungkin pada makhluk, maka pada Sang Kholiq lebih-lebih mungkin karena tidak ada yang mustahil bagi Allah. Selanjutnya, simak dalam tulisan sederhana berikut.
Zakariya As Saaji[1]
قال الإمام أبو عبد الله بن بطة العكبري مصنف الإبانة الكبرى في السنة وهو أربع مجلدات حدثنا أبو الحسن أحمد بن زكريا بن يحيى الساجي قال قال أبي القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وساق سائر الإعتقاد وكان الساجي شيخ البصرة وحافظها وعنه أخذ أبو الحسن الأشعري الحديث ومقالات أهل السنة
Al Imam Abu ‘Abdillah bin Battoh Al ‘Akbari, penulis kitab Al Ibanah Al Kubro fis Sunnah yang terdiri dari empat jilid, ia berkata bahwa Abul Hasan Ahmad bin Zakariya bin Yahya As Saaji berkata bahwa ayahnya, Zakariya As Saaji berkata, “Perkataan dalam As Sunnah yang kulihat bahwa sahabat kami para ulama hadits yang pernah kami temui meyakini Allah di atas ‘Arsy yang berada di ketinggian-Nya, namun Dia dekat dengan hamba-Nya sesuai yang Dia kehendaki”. Lalu As Saaji menyebutkan berbagai i’tiqod yang lain.
Adz Dzahabi mengatakan bahwa As Saaji adalah ulama di Bashroh dan seorang hafizh terkemuka. Abul Hasan Al Asy’ari mengambil hadits dan perkataan Ahlus Sunnah lainnya dari beliau. Beliau pernah melakukan rihlah untuk belajar dari Muzanni (murid Imam Asy Syafi’i) dan Ar Robi’. As Saaji memiliki kitab ‘Ilalul Hadits dan kitab Ikhtilaful Fuqoha.[2]
Pelajaran penting:
Dalil-dalil yang menyebutkan kedekatan Allah adalah sebagai berikut. Pertama, firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), “Aku itu dekat”. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS. Al Baqarah [2] : 186)
Begitu juga terdapat dalil dalam Shohih Muslim pada Bab ‘Dianjurkannya merendahkan suara ketika berdzikir’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالَّذِى تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَةِ أَحَدِكُمْ
“Yang kalian seru adalah Rabb yang lebih dekat pada salah seorang di antara kalian daripada urat leher unta tunggangan kalian” (HR. Muslim no 2704).
Sedangkan ayat yang menyebutkan keberadaan Allah di ketinggian amat banyak sekali, salah satu contohnya adalah,
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُورُ
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di (atas) langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. Al Mulk : 16).
Yang jelas, keberadaan Allah di atas ‘Arsy tidaklah bertentangan dengan kedekatan Allah dengan makhluk-Nya. Masa’ kita katakan ayat-ayat Al Qur’an saling bertentangan? Kita dapat katakana bahwa Allah berada di ketinggian, namun juga dekat pada hamba-Nya.
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al Aqidah Al Wasithiyah berkata, “Kedekatan dan kebersamaan Allah yang disebutkan dalam Al Kitab dan As Sunnah tidaklah bertentangan denga ketinggian Allah Ta’ala. Tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan-Nya dalam setiap sifat-sifat-Nya. Allah Maha Tinggi, namun dekat. Dia Maha Dekat, namun tetap berada di ketinggian.”
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada pertentangan sama sekali antara kedekatan dan ketinggian Allah. Karena sesuatu ada yang jauh namun dekat. Ini kondisi yang ada pada makhluk. Jika makhluk demikian, bagaimana lagi pada kholiq (Sang Pencipta)?! Allah bisa saja dekat sekaligus berada di ketinggian. Allah itu begitu dekat dengan kita dari urat leher hewan tunggangan”.[3]
Muhammad bin Jarir Ath Thobari[4], penulis kitab tafsir terkemuka
Disebutkan dalam kitab tafsir karya Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thobari yang banyak berisi perkataan para salaf, ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ اسْتَوَى إلَى السَّمَاءِ
“Dan Dia berkehendak (menuju) langit” (QS. Fushshilat: 11). Yang dimaksud dengan ayat ini kata Ar Robi’ bin Anas adalah,
ارتفع إلى السماء
“Naik di ketinggian”.[5]
Sedangkan mengenai ayat,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Allah berada tinggi di atas ‘Arsy” Yang dimaksudkan dengan ayat ini kata Ath Thobari,
علا عليه
“Tinggi di atas ‘Arsy”[6]
Pelajaran Penting:
Ibnul Qayyim dalam bait sya’ir An Nuniyah memberikan empat definisi istiwa’: 1-istaqorro (menetap), 2-‘alaa (tinggi), 3- irtafa’a (naik), dan 4-sho’ada (naik).
Sehingga sifat istiwa’ menunjukkan Allah tidak di mana-mana dan bukan di setiap tempat serta tidak bersatu dengan makhluk-Nya karena Allah berada tinggi di atas seluruh makhluk-Nya.
Syaikh Muhammad Kholil Harros hafizhohullah mengatakan, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengimani yang diberikan dari Allah tentang diri-Nya yaitu bahwasanya Allah beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya dan terpisah dari makhluk-Nya dengan kaifiyah (cara) yang tidak diketahui hanya oleh-Nya. Sebagaimana kata Imam Malik, “Istiwa’ itu ma’lum (sudah diketahui maknanya), sedangkan kaifiyahnya (hakekatnya atau cara istiwa’) itu tidak diketahui”.[7]
Ibnu Khuzaimah[8]
Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata,
من لم يقر بأن الله على عرشه استوى فوق سبع سمواته بائن من خلقه فهو كافر يستتاب فإن تاب وإلا ضربت عنقه وألقي على مزبلة لئلا يتأذى بريحته أهل القبلة وأهل الذمة
“Siapa yang tidak menetapkan keberadaan Allah di atas ‘Arsy dan Dia beristiwa’ (menetap tinggi) di atas langit yang tujuh, terpisah dari makhluk-Nya, maka ia kafir dan dimintai taubat. Jika ia tidak mau bertaubat, maka dipenggal saja lehernya dan dibuang ke tempat sampah supaya baunya tidak menyakiti ahlul kiblat (muslim) dan ahlu dzimmah (non muslim)” .
Ibnu Khuzaimah adalah ulama terkemuka dalam ilmu hadits dan juga fikih. Beliau di antara dai Ahlus Sunnah dan ulama yang keras dalam penetapan nama dan sifat Allah. Beliau memiliki kedudukan mulia di Khurasan. Ibnu Khuzaimah mengambil fikih dari Muzanni -murid Imam Asy Syafi’i- dan mendengar ilmu dari ‘Ali bin Hajr dan ulama semasanya. Beliau meninggal dunia dalam usia 80-an.[9]
Tsa’lab, imam Al ‘Arobiyah, ulama pakar bahasa[10]
Al Hafizh Abul Qosim Al Lalika-i dalam kitab As Sunnah berkata bahwa ia mendapat tulisan tangan Ad Daruquthni dari Ishaq Al Kadzi Abul ‘Abbas –dikenal dengan Tsa’lab- berkata,
استوى أقبل عليه وإن لم يكن معوجا ثم استوى إلى السماء أقبل و استوى على العرش علا واستوى وجهه اتصل واستوى القمر امتلأ واستوى زيد وعمرو تشابها في فعلهما وإن لم تتشابه شخوصهما
“Istiwa bermakna menuju (أقبل عليه) walau tidak persis menetap. Sedangkan makna istawa ilas samaa’ adalah menuju (أقبل). Adapun makna istawa ‘alal ‘arsy adalah tinggi (علا). Makna istawa wajhuh adalah bersambung (اتصل). Makna istawal qomar adalah penuh (امتلأ). Sedangkan makna istawa Zaid wa ‘Amr adalah keduanya mirip dalam perbuatan walau tidak mirip orangnya. ”[11]
Abu Ja’far Ath Thohawiy[12], ulama terkemuka Hanafiyah
Dalam kitab akidahnya, Ath Thohawiy berkata,
والعرش والكرسي حق كما بين في كتابه وهو مستغن عن العرش وما دونه محيط بكل شيء وفوقه
“‘Arsy dan Kursi adalah benar adanya. Allah tidak membutuhkan ‘Arsy-Nya itu dan apa yang ada di bawahnya. Allah mengetahui segala sesuatu dan Dia berada di atas segala sesuatu.”[13]
Abu Muhammad Al Barbahariy Al Hasan bin ‘Ali bin Kholf[14], ulama besar Hanabilah di Baghdad
Dalam Syarhus Sunnah, Al Barbahariy berkata,
وهو على عرشه استوى وعلمه بكل مكان ولا يخلو من علمه مكان
“Allah berada di atas ‘Arsy dan menetap di atas-Nya. Namun ilmu Allah di setiap tempat. Tidak ada suatu tempat yang lepas dari ilmu Allah”.[15]
Pelajaran penting:
Ayat berikut mendukung pernyataan di atas yaitu Allah menetap tinggi sedangkan yang di mana-mana adalah ilmu Allah,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia menempat tinggi di atas ‘Arsy-Nya. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Hadid: 4). Ayat ini begitu jelas tidak mempertentangkan keberadaan Allah di atas ‘Arsy dan ilmu Allah yang mengetahui segala tempat. Sebagaimana kata Ibnu Taimiyah rahimahullah,
فَأَخْبَرَ أَنَّهُ فَوْقَ الْعَرْشِ يَعْلَمُ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ مَعَنَا أَيْنَمَا كُنَّا
“Surat Al Hadid ayat 4 menyebutkan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy dan Dia mengetahui segala sesuatu. Meskipun begitu Allah pun bersama kita di mana saja kita berada”.[16]
Masih tersisa satu ulama terkenal di abad ke-3 hijriyah yang belum kami sebutkan mengenai perkataannya. Beliau adalah Abul Hasan Al Asy’ari. Mengenai perkataan beliau tentang keyakinan Ahlus Sunnah ini akan kami bahas dalam tulisan selanjutnya -dengan izin Allah-.
Semoga Allah senantiasa memberi hidayah dan taufik kepada akidah yang lurus. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
@ Ummul Hamam, Riyadh-KSA, 2 Jumadats Tsaniyah 1433 H
[1] Zakariya As Saaji meninggal dunia tahun 307 H.
[2] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar hal. 205 dan Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 223.
[3] Syarh ‘Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan keempat, 1424 H, 2: 53.
[4] Ibnu Jarir Ath Thobari hidup pada tahun 224 – 310 H.
[5] Tafsir Ath Thobari, 1: 456
[6] Tafsir Ath Thobari, 13: 411
[7] Syarh Al ‘Aqidah Al Wasithiyah, Syaikh Muhammad Kholil Harros, terbitan Ad Durur As Sunniyah, cetakan keenam, 1429 H, hal. 172.
[8] Ibnu Khuzaimah hidup pada tahun 223-311 H.
[9] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar hal. 207 dan Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 225-226.
[10] Tsa’lab meninggal tahun 291 H.
[11] Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar hal. 213 dan Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 230-231.
[12] Ath Thohawiy hidup pada tahun 239-321 H.
[13] Lihat Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, terbitan Darul Mawaddah, cetakan pertama, 1431 H, 1: 428.
[14] Al Barbahariy meninggal dunia pada tahun 329 H.
[15] Syarhus Sunnah, Al Hasan bin ‘Ali bin Kholf Al Barbahariy Abu Muhammad, terbitan Dar Ibnul Qayyim, cetakan pertama, 1408 H, hal. 24.
[16] Majmu’ Al Fatawa, 5: 103.