Apakah boleh jual beli dengan sistem dropship dan reseller? Adakah masalah yang ditemukan? Bagaimana solusinya?
Baca dulu:
- Hukum Jual Beli Online dan Penjelasan Rincinya
- Empat Syarat Ini Harus Diperhatikan Ketika Buka Toko Online
Mengenal dropshipper
Dropship meski berasal dari dua kata, drop dan ship. Dropshipping merupakan suatu metode penjualan yang memungkinkan toko ataupun si pemilik barang tidak menyimpan stok barang yang ingin dijual.
Dengan sistem dropship, sebagai pemilik toko tidak perlu menyimpan stok barang. Ketika ada pembeli yang datang dan memesan barang ke toko, dropshipper bisa langsung memesannya ke supplier dan meminta supplier barang untuk mengirimkan barang secara langsung ke konsumen.
Lalu apa bedanya dengan makelar?
Ketika menjadi makelar, asumsinya baik pemilik barang ataupun konsumen tidak tahu kalau makelar adalah tangan kedua. Sedangkan dalam sistem dropshipper, baik pemilik barang ataupun konsumen sudah mengetahui bahwa dropshipper adalah perantara.
Dengan adanya keterbukaan semacam ini lonjakan harga yang terlalu tinggi bisa diantisipasi. Karena umumnya pemilik barang pun memberikan batasan harga kepada dropshipper untuk menjual barang-barang mereka.
Mengenal reseller
Bedanya reseller dengan dropshipper adalah, bila dengan sistem dropshipping tidak perlu stok barang dan melakukan inventarisasi. Yang menggunakan sistem reseller tetap harus melakukan stok barang dan inventarisasi.
Satu-satunya persamaan reseller dan dropshipper adalah menjual barang milik orang lain. Artinya dengan kedua sistem ini tidak dimungkinkan untuk membuat dan mengembangkan brand sendiri.
Problem dan solusi bagi reseller
Reseller diharapkan memiliki barang ketika melakukan transaksi jual beli dengan pelanggan agar tidak termasuk dalam larangan jual beli barang yang tidak dimiliki.
Hakim bin Hizam pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيعُهُ مِنْهُ ثُمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Wahai Rasulullah, ada seseorang yang mendatangiku lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya untuk mereka dari pasar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.” (HR. Abu Daud, no. 3503; An-Nasai, no. 4613; Tirmidzi, no. 1232; dan Ibnu Majah, no. 2187. Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini sahih).
- Kalau belum memiliki barang, tidak boleh menerima langsung akad jual beli. Barang yang dimohon bisa dibeli terlebih dahulu. Setelah itu, menjawab permohonan pembeli dengan menghubunginya. Lalu memintanya untuk mentransfer uang ke rekening miliknya. Kemudian, barang dikirimkan kepada pembeli.
- Toko online meminta khiyar syarat pada pemilik barang, di mana toko online menyaratkan untuk mengembalikan barang—misal selama tiga hari sejak barang dibeli—untuk menjaga-jaga apabila pembeli membatalkan transaksi.
Problem dan solusi sebagai dropshipper
Dropshipper tidak memiliki barang, maka akan terkena hadits menjual barang yang tidak dimiliki. Masalah dalam hal ini:
- Dropshipper hanya memajang foto tidak memiliki barang.
- Pengiriman barang dari supplier (owner) bukan dari dropshipper, padahal di sini kondisi barang tidak diketahui.
- Kalau ada keluhan, misal barang cacat, dropshipper tidak mengetahui, padahal pembeli akan menuntut pada dropshipper. Kalau dropshipper lepas tanggung jawab berarti ia zalim karena konsumen hanya tahu beli barang dari dia. Itulah manfaat dalam syariat kita disuruh memiliki barang dahulu.
Solusinya:
- Jadi reseller kalau memang punya cukup modal. Sehingga barang dibuat siap stok, lalu bisa dijual dengan harga bebas. Sehingga jika ada pembeli yang memesan cukup menerima permohonan (tidak mengikat). Resikonya, memang siap-siap menerima pembatalan. Kalau tidak punya modal untuk menyediakan barang, jadilah marketer untuk mempromosikan, tidak dropshipper.
- Menjadi wakil untuk supplier.
Dropshipper menjadi wakil untuk supplier
Hadits yang mendasari tentang masalah wakil adalah hadits dari ‘Urwah ibnu Abil Ja’di Al-Bariqiy radhiyallahu ‘anhu, di mana ia berkata bahwa,
أَعْطَاهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- دِينَارًا يَشْتَرِى بِهِ أُضْحِيَةً أَوْ شَاةً فَاشْتَرَى شَاتَيْنِ فَبَاعَ إِحْدَاهُمَا بِدِينَارٍ فَأَتَاهُ بِشَاةٍ وَدِينَارٍ فَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ فِى بَيْعِهِ فَكَانَ لَوِ اشْتَرَى تُرَابًا لَرَبِحَ فِيهِ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberinya satu dinar untuk membeli satu hewan qurban (udhiyah) atau membeli satu kambing. Lantas ia pun dapat membeli dua kambing. Di antara dua kambing tadi, ia jual lagi dan mendapatkan satu dinar. Kemudian ia pun mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa satu kambing dan satu dinar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya dengan keberkahan dalam jualannya, yaitu seandainya ia membeli debu (yang asalnya tidak berharga sekali pun, -pen), maka ia pun bisa mendapatkan keuntungan di dalamnya. (HR. Abu Daud, no. 3384 dan Tirmidzi, no. 1258. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Hadits ini jadi dalil boleh mewakilkan jual beli pada orang lain.
Hadits ini juga jadi dalil bahwa wakil tidak boleh menyalahi apa yang diminta oleh pihak yang diwakili. Misalnya, wakil tidak boleh menetapkan harga sendiri ketika menjual orang tanpa izin dari supplier.
Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid membicarakan tentang masalah wakil,
من وكل غيره في الشراء، فاشترى الوكيل ما وُكل فيه: صح العقد، سواء صرح فيه بأن الشراء لموكِّله، أو لم يصرح وجعله باسمه، ونزّل نفسه منزلة موكِّله.
“Siapa yang mewakilkan yang lain dalam membeli, maka si wakil boleh membeli sebagaimana yang diwakilkan untuknya, Akad tersebut sah, terserah di sini secara tegas atas nama yang membeli adalah orang yang ia wakilkan, atau ia tidak menegaskannya dan posisi ia sendiri sudah sebagai wakil.” (Fatawa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 299918)[1]
Dropshipper bisa saja menjadi wakil, berarti yang bisa dilakukan:
Jadi wakil dari pembeli, uang diserahkan, dan mendapatkan fee. Statusnya jadi wakalah bil ujrah.
atau bisa jadi:
- Jalin kerjasama dengan supplier. Biasanya dropshipper disuruh menjadi anggota, bahkan ada yang meminta uang keanggotaan.
- Dropshipper tidak mengapa tak memiliki stok barang.
- Dropshipper boleh mengiklankan barang dan mendapatkan fee dari situ, baik dengan transaksi ijarah maupun ji’alah, yang keduanya adalah bentuk mengupahi. Ijarah itu mengupahi layaknya pegawai. Ji’alah itu mengupahi dengan melihat target penjualan.
- Dropshipper boleh menerima pembayaran karena sebagai wakil sama posisinya seperti penjual yang sudah diizinkan.
- Boleh mengirim barang dari supplier ke konsumen karena sudah ada kerjasama wakalah.
- Dropshipper harus siap menerima komplain karena konsumen tahunya bertransaksi dengannya.
Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma dinyatakan,
وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ يُضْمَنْ
“Tidak boleh ada keuntungan tanpa menanggung resiko.” (HR. An-Nasai, no. 4634. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).
Kaidah yang patut diingat pula dan ini menurut ulama Malikiyah ketika membahas masalah pembagian keuntungan dalam syirkah al-‘inan (masing-masing memberi modal dan mereka bekerja bersama),
اِسْتِحْقَاقُ الرِّبْحِ إِمَّا بِالمَالِ أَوْ بِالعَمَلِ أَوْ بِالْتِزَامِ الضَّمَانِ
“Orang berhak mendapatkan keuntungan, karena modal, usaha, atau menanggung resiko.” (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 4:609)
Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Baca juga: Berbagai Bacaan tentang Jual Beli Online
[1] https://islamqa.info/ar/answers/299918/وكله-في-الشراء-فكتب-العقد-باسم-موكله-ووقع-عنه
Diselesaikan di Perpus Darush Sholihin, 12 Dzulqa’dah 1441 H, 3 Juli 2020
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com