Berikut adalah panduan shalat bagi kaum muslimin yang saat ini sedang mengalami musibah banjir.
Dalam Keadaan Banjir Tetap Shalat
Kewajiban shalat tetap ada meskipun dalam kondisi banjir. Ayat ini tetap berlaku,
حَٰفِظُوا۟ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلْوُسْطَىٰ وَقُومُوا۟ لِلَّهِ قَٰنِتِينَ
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238)
Shalat tetap wajib bagi muslim, baligh, berakal, dalam keadaan suci (thahir, yaitu suci dari haidh dan nifas). (Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:152)
Meninggalkan shalat amat berbahaya. Dalam hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ ، تَرْكَ الصَّلاَةِ
“Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kufur itu adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, no. 82)
Namun, Islam dibangun di atas kemudahan. Imam Syafii rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Umm,
إِذَا ضَاقَ الأَمْرُ اِتَّسَعَ
“Jika perkara itu sempit, maka jadilah lapang.” Artinya, jika ada kesulitan, pasti ada kemudahan dalam Islam.
Dalam ayat disebutkan,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Shalat saat banjir nantinya dilakukan sesuai kemampuan,
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah pada Allah semampu kalian.” (QS. At-Taghabun: 16)
Baca juga: Kaedah Fikih, Jika Ada Kesulitan, Datanglah Kemudahan
Syarat Sah Shalat Tetap Harus Dipenuhi
- Suci dari hadats
- Suci dari najis
- Menutup aurat
- Masuk waktu shalat
- Menghadap kiblat
Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:200.
Bagaimana Jika Sulit Mencari Air Bersih Saat Banjir?
Ketika ingin bersuci dari hadats kecil (berwudhu) atau hadats besar (mandi), maka dituntut menggunakan air. Selama ada air bersih dan jernih, itulah air yang digunakan, misalnya air PDAM dan sumber air lain yang layak untuk dipakai bersuci.
Lantas sebenarnya bagaimana cara bersuci bagi korban banjir? Mengingat sebelum melaksanakan shalat tentu perlu bagi mereka untuk bersuci, baik dari hadats kecil, yakni dengan wudhu; dan dari hadats besar, yakni dengan mandi besar.
Terkait hal ini, para korban banjir hendaknya tetap berupaya mencari air yang bersih dan jernih di sekelilingnya jika masih memungkinkan, misalnya dari keran yang berfungsi, bantuan air PDAM, dan sumber-sumber air lain yang layak untuk dibuat bersuci.
Meski begitu, tetap boleh bagi para korban banjir berwudhu dengan air banjir yang keruh sebab terkena tanah dan debu. Hal ini boleh selama air yang digunakan untuk bersuci tidak ditemukan komponen najis atau komponen selain tanah dan debu (mukholith) yang sampai mengubah warna, rasa, atau bau dari air. Sebab perubahan air karena faktor tercampur tanah atau debu tidak sampai mencegah kemutlakan nama air.
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Faqih ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Bafadhal Al-Hadhrami mengatakan,
وَلَا يَضُرُّ تَغَيُّرٌ بِمُكْثٍ وَتُرَابٍ وَطُحْلُبٍ وَمَا فِي مَقَرِّهِ وَمَمَرِّهِ
“Perubahan air sebab diamnya air (dalam waktu lama), sebab debu, lumut, dan sebab sesuatu yang menetap dalam tempat menetapnya air dan tempat berjalannya air merupakan hal yang tidak dipermasalahkan” (Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah fii Fiqh As-Saadah Asy-Syafi’iyyah, hlm. 53, Penerbit Darul Minhaj).
Berbeda halnya jika seseorang yakin bahwa perubahan air banjir yang berada di sekitarnya lebih dominan karena faktor benda selain tanah yang mencampuri air (mukhalith), seperti sampah, najis dan benda lainnya, sehingga sampai mengubah terhadap bau, rasa dan warna air, maka air tersebut sudah tidak dapat digunakan untuk bersuci.
Berbeda jika seseorang masih ragu, apakah air banjir yang ada di sekitarnya perubahannya karena murni tercampur tanah atau lebih dominan karena tercampur benda yang lain, maka dalam kondisi demikian, air tetap berstatus suci dan menyucikan. Sebab hukum asal dari air adalah suci, dan kesucian tersebut tidak menjadi hilang hanya disebabkan suatu keraguan.
Dalam hadits disebutkan,
الْمَاءُ طَهُورٌ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ
“Air itu suci tidak ada yang dapat menajiskannya.” (HR. Abu Daud, no. 66; An-Nasa’i, no. 326; Tirmidzi, no. 66. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Baca juga: Bulughul Maram tentang Air (Bahas Tuntas)
Hukum Jamak Ketika Hujan dan Shalat yang Dijamak
Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالعَصْرَ جَمِيْعًا وَالمَغْرِبَ وَالعِشَاءَ جَمِيْعًا فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَرٍ قَالَ مَالِكٌ أُرَى ذَلِكَ كَانَ فِي مَطَرٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat zuhur dan asar dengan cara jamak. Shalat maghrib dan isya’ dengan cara jamak tanpa adanya rasa takut dan tidak dalam keadaan perjalanan.” Imam Malik berkata, “Saya berpandangan bahwa Rasulullah melaksanakan shalat tersebut dalam keadaan hujan.” (HR. Muslim, no. 705 dan Abu Daud, no. 1210. Lafazhnya dari Abu Daud).
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
“Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.” Dalam riwayat Waki’, ia berkata, “Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjamak shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, “Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.” Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu ’Abbas, “Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjamak shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, “Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim, no. 705)
Hisam bin Urwah mengatakan,
أَنَّ أَبَاهُ عُرْوَةَ وَسَعِيْدَ بْنَ المُسَيَّبَ وَأَبَا بَكْرٍ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنَ الحَارِثِ بْنَ هِشَام بْنَ المُغِيْرَةَ المَخْزُوْمِي كَانُوْا يَجْمَعُوْنَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ إِذَا جَمَعُوْا بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ وَلاَ يُنْكِرُوْنَ ذَلِكَ
“Sesungguhnya ayahnya (Urwah), Sa’id bin Al-Musayyib, dan Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Al-Harits bin Hisyam bin Al-Mughirah Al-Makhzumi biasa menjamak shalat Maghrib dan Isya’ pada malam yang hujan apabila imam menjamaknya. Mereka tidak mengingkari hal tersebut.” (HR. Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 3:169. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih. Lihat Irwa’ Al-Ghalil, no. 583)
Jamak shalat ketika hujan dibolehkan menurut jumhur ulama yaitu Malikiyah, Syafiiyyyah, dan Hambali, serta para ulama besar fuqaha yang tujuh (Sa’id bin Al-Musayyib, ‘Urwah bin Az-Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr, Kharijah bin Zaid bin Tsabit, ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin Mas’ud, Sulaiman bin Yasar, Abu Bakr bin ‘Abdurrahman). Lihat Mulakhkhash Fiqh Al-‘Ibadaat, hlm. 324.
Shalat Zhuhur dan shalat Ashar, serta shalat Maghrib dan shalat Isya boleh dijamak karena uzur mendapati hujan. Inilah pendapat dalam madzhab Syafii, salah satu pendapat dalam madzhab Hambali, dan juga pendapat sebagian salaf. Lihat Mulakhkhash Fiqh Al-‘Ibadaat, hlm. 324.
Dalam madzhab Syafii, jika shalat Zhuhur dan Ashar boleh dijamak, shalat Jumat dan shalat Ashar juga berarti boleh dijamak. Lihat Kifayah Al-Akhyar, hlm. 189.
Jamak shalat boleh juga dilakukan ketika jalan berlumpur. Lihat Kifayah Al-Akhyar, hlm. 190.
Baca juga: Menjamak Shalat Karena Hujan
Hujan yang Bagaimana Baru Dibolehkan Menjamak Shalat?
Dalam Kifayah Al-Akhyar disebutkan bahwa orang yang mukim dibolehkan untuk menjamak shalat pada waktu pertama dari shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ dikarenakan hujan, menurut pendapat yang benar. Meski ada juga yang berpendapat bahwa menjamak karena hujan hanya berlaku untuk shalat Maghrib dan Isya’ karena kondisi ketika malam itu memang lebih merepotkan. Hukum ini disyaratkan jika shalat dikerjakan di suatu tempat yang seandainya orang itu berangkat ke sana akan kehujanan lalu pakaiannya menjadi basah kuyup. Demikian persyaratan menurut Ar-Rafi’i dan Imam Nawawi.
Sedangkan Al-Qadhi Husain memberi syarat tambahan yaitu alas kaki juga menjadi basah sebagaimana pakaian. Al-Mutawalli juga menyebutkan hal yang serupa dalam kitab At-Tatimmah. Lihat Kifayah Al-Akhyar, hlm. 189.
Baca juga: Patokan Boleh Menjamak Shalat Ketika Hujan
Syarat Jamak Shalat Ketika Hujan
Dalam mazhab Syafi’i menjamak shalat ketika hujan hanya boleh dilaksanakan di waktu shalat pertama (jamak taqdim) serta harus memenuhi dua syarat. Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Asy-Syafii disebutkan,
“Tidak diperbolehkan menjamak shalat (dalam keadaan hujan) pada waktu kedua (jamak takhir), karena hujan terkadang akan reda (di waktu kedua), maka hal ini menyebabkan seseorang tidak melaksanakan shalat pada waktunya dengan tanpa uzur. Shalat jamak ketika hujan hanya boleh dilakukan dengan dua syarat:
- Shalat dilaksanakan dengan berjamaah di masjid yang jaraknya jauh menurut standar umum (‘urf), yang sekiranya bakal merepotkan seseorang ketika berjalan menuju masjid.
- Hujan berlangsung di awal dari dua shalat dan ketika salamnya shalat pertama.”
Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafii, hlm. 192.
Baca juga:
Bagaimana Kalau Menjamak Shalat di Rumah Karena Hujan?
Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Raudhah Ath-Thalibin berkata,
ثم هذه الرخصة لمن يصلي جماعة في مسجد يأتيه من بعد، ويتأذى بالمطر في إتيانه. فأما من يصلي في بيته منفردا، أو في جماعة، أو مشى إلى المسجد في كن، أو كان المسجد في باب داره، أو صلى النساء في بيوتهن جماعة، أو حضر جميع الرجال في المسجد، وصلوا أفرادا، فلا يجوز الجمع على الاصح.
“Keringanan (menjamak shalat karena hujan) ini bagi orang yang shalat berjamaah di masjid yang datang dari jarak jauh dan merasa kesulitan karena terkena hujan pada saat berangkatnya. Adapun orang yang shalat di rumahnya sendirian atau dengan jamaah atau perjalanan menuju masjid dalam keadaan teduh (tidak terkena hujan) atau masjid berada di samping pintu rumahnya atau para wanita shalat di rumah mereka dengan berjamaah, atau semua laki-laki hadir di masjid, tetapi mereka shalat sendirian, maka tidak diperbolehkan menjamak shalat dalam keadaan-keadaan di atas menurut qaul ashoh (pendapat yang kuat).” (Raudhah Ath-Thalibin, 1:276)
Baca juga: Amalan Ketika Turun Hujan
Bagaimana Jika Ada Uzur Sehingga Menjamak Shalat Saat Banjir?
Boleh menjamak shalat ketika mukim ketika menghadapi kesulitan mengerjakan shalat pada masing-masing waktu. Ini pendapat Imam Ahmad dan pendapat sebagian ulama hadits, termasuk juga Ibnu Taimiyyah, dan ulama belakangan seperti Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Lihat Mulakhkhash Fiqh Al-‘Ibadaat, hlm. 325.
Dalil dalam masalah ini sudah disebutkan sebelumnya hadits dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata “Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.” Alasan dari Ibnu ‘Abbas adalah beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya. (HR. Muslim, no. 705)
Baca juga: Keringanan Menjamak Shalat Ketika Mukim
Shalat di Atas Lumpur Tetap Sah
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
جَاءَتْ سَحَابَةٌ فَمَطَرَتْ حَتَّى سَالَ السَّقْفُ ، وَكَانَ مِنْ جَرِيدِ النَّخْلِ ، فَأُقِيمَتِ الصَّلاَةُ ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَسْجُدُ فِى الْمَاءِ وَالطِّينِ ، حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّينِ فِى جَبْهَتِهِ
“Tatkala awan muncul, turunlah hujan hingga membasahi genteng (atap)–genteng tersebut terbuat dari pelepah kurma–kemudian shalat ditegakkan. Lalu saya melihat Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sujud di atas air dan lumpur sehingga saya melihat bekas lumpur di dahinya.” (HR. Bukhari, no. 669 dan Muslim, no. 1167)
Maka dari hadits ini terlihat bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam masih tetap melaksanakan shalat berjamaah di masjid meskipun harus bersujud di atas lumpur dan air. Lihat Shahih Fiqh As-Sunnah, 1:512.
Baca juga: Sembilan Najis yang Dimaafkan
Shalat Berjamaah Saat Banjir Untuk Menjangkau Masjid Amat Sulit
Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan, “Adapun shalat jamaah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada uzur.” Lihat Ash-Shalah wa Hukmu Taarikiha, hlm. 107.
Hujan itu termasuk uzur meninggalkan shalat berjamaah di masjid.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Shahih Muslim membawakan judul bab ’Shalat di Rumah Ketika Hujan’, lalu dibawakanlah beberapa hadits di antaranya:
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَذَّنَ بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ فَقَالَ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ « أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ ».
Nafi’ berkata bahwa Ibnu Umar pernah beradzan ketika shalat di waktu malam yang dingin dan berangin. Kemudian beliau mengatakan “Alaa shollu fir rihaal” [hendaklah kalian shalat di rumah kalian]. Kemudian beliau mengatakan, ”Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mu’adzin ketika keadaan malam itu dingin dan berhujan, untuk mengucapkan “Alaa shollu fir rihaal” [hendaklah kalian shalat di rumah kalian].” (HR. Muslim, no. 697)
Dalam bab tersebut, Imam Nawawi rahimahullah berkata, ”Dari hadits di atas terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat berjamaah ketika turun hujan dan ini termasuk uzur (halangan) untuk meninggalkan shalat berjamaah. Shalat berjamaah–sebagaimana yang dipilih oleh ulama Syafiiyyah- adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul ditekankan)–apabila tidak ada uzur. Tidak mengikuti shalat berjamaah dalam kondisi seperti ini adalah suatu hal yang disyariatkan (diperbolehkan) bagi orang yang susah dan sulit melakukannya. Hal ini berdasarkan riwayat lainnya, ”Siapa yang mau, silahkan mengerjakan shalat di tempat kediamannya masing-masing.” (Syarh Shahih Muslim, 5:184)
Kalau dari penjelasan Imam Nawawi di atas berarti shalat dalam keadaan banjir atau air tergenang termasuk uzur tidak shalat berjamaah ke masjid karena termasuk kondisi sulit untuk berangkat.
Baca juga: Disebut Munafik Karena Meninggalkan Shalat Berjamaah di Masjid
Shalat Sambil Duduk Saat Shalat Wajib Ketika Banjir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Imran bin Al-Hushain,
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
“Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu lagi, kerjakanlah dengan tidur menyamping.” (HR. Bukhari, no. 1117).
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang tidak mampu shalat sambil berdiri untuk shalat wajib, maka ia boleh shalat sambil duduk. Shalatnya dalam keadaan itu tidak perlu diulangi (i’aadah). Menurut ulama Syafiiyah bahwa pahala orang yang shalat sambil duduk karena tidak mampu tidaklah berkurang dari keadaan ia berdiri karena ia termasuk orang yang punya uzur.” (Al-Majmu’, 4:310)
Jika dalam keadaan banjir atau air tergenang, orang yang ingin shalat hanya mampu duduk, karena keadaan air tergenang, shalatnya tetap sah. Wallahu a’lam.
Baca juga: Rukun Shalat Harus Berdiri
Shalat di Atas Kasur Saat Banjir
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri.” (HR. Bukhari, no. 812 dan Muslim, no. 490)
Syarat yang ada dalam sujud ini diterangkan dalam kitab Fath Al-Mu’in,
قال: (و) سابعها: (سجود مرتين) كل ركعة، (على غير محمول) له، (وإن تحرك بحركته) ولو نحو سرير يتحرك بحركته لانه ليس بمحمول له فلا يضر السجود عليه، كما إذا سجد على محمول لم يتحرك بحركته كطرف من ردائه الطويل.
“Rukun yang ketujuh adalah sujud dua kali setiap rakaat pada benda yang tidak (tergolong) dibawa olehnya, meskipun benda tersebut bergerak dikarenakan gerakannya. Seperti sujud di ranjang (kasur) yang ikut bergerak seiring dengan bergeraknya orang yang shalat, sebab ranjang bukan termasuk kategori benda yang dibawa oleh orang yang shalat, maka sujud pada ranjang tersebut tidak masalah. Sebagaimana halnya tidaklah masalah sujud pada benda yang dibawa oleh orang yang shalat, tetapi tidak ikut bergerak seiring dengan gerakannya orang yang shalat, seperti sujud pada ujung selendang yang sangat Panjang.” (Fath Al-Mu’in, hlm. 21)
Dari pendapat di atas, shalat di atas ranjang atau kasur saat banjir tetaplah sah.
Semoga bermanfaat.
Baca juga:
Referensi:
- Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafii. Cetakan kesepuluh, Tahun 1430 H. Dr. Musthafa Al-Khin, Dr. Musthafa Al-Bugha, ‘Ali Asy-Syarbaji. Penerbit Darul Qalam.
- Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazi. Cetakan kedua, Tahun 1427 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi.Tahqiq: Muhammad Najib Al-Muthi’i. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
- Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.
- Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
- Al-Muqaddimah Al-Hadhramiyyah fii Fiqh As-Saadah Asy-Syafiiyyah. Cetakan pertama, Tahun 1438 H. Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Faqih ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Bafadhal Al-Hadhrami. Penerbit Darul Minhaj.
- Ash-Shalah wa Hukmu Taarikiha. Cetakan pertama, Tahun 1426 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Dar Al-Imam Ahmad.
- Fath Al-Mu’in bi Syarh Qurrah Al-‘Ain. Cetakan pertama, Tahun 1427 H. Syaikh Zinuddin Al-Maliabari. Penerbit Al-Haramain.
- Kifayah Al-Akhyar fii Halli Ghayah Al-Ikhtishar. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin ‘Abdul Mu’min Al-Hishni. Penerbit Darul Minhaj.
- Mulakhkhash Fiqh Al-‘Ibadaat. I’dad: Al-Qism Al-‘Ilmi bi Muassasah Ad-Durar As-Saniyyah. Cetakan kedua, Tahun 1438 H. Musyrif: Syaikh ‘Alawi bin ‘Abdul Qadir As-Saqqaf. Penerbit Ad-Durar As-Saniyyah.
- Raudhah Ath–Thalibin. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Al-Maktabah Al-‘Ashriyyah.
- Shahih Fiqh As–Sunnah wa Adillatuhu wa Tawdhih Madzahib Al-Aimmah. Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Penerbit Al-Maktabah At-Taufiqiyyah.
—
Diselesaikan pada Sabtu siang, 3 Jumadal Akhir 1442 H, 16 Januari 2021 di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumasyho.Com
Silakan unduh PDF “Panduan Shalat Ketika Banjir” di sini: