Hakikat Tasawuf (Bag. 1)
Pendahuluan
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد
Istilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf.
Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allah ta’ala
Sebelum kami membahas tentang hakikat tasawuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer adalah sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As Sunnah menurut apa yang dipahami salafush shalih.
Sebagai bukti akan hal ini kisah khawarij, kelompok yang pertama menyempal dalam islam yang diperangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Padahal kalau kita melihat pengakuan lisan dan penampilan lahir kelompok khawarij ini maka tidak akan ada seorang pun yang menduga bahwa mereka menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan yang besar dalam batin mereka, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau menjelaskan ciri-ciri kelompok khawarij ini, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“…Mereka (orang-orang khawarij) selalu mengucapkan (secara lahir) kata-kata yang baik dan indah, dan mereka selalu membaca Al Quran tapi (bacaan tersebut) tidak melampaui tenggorokan mereka (tidak masuk ke dalam hati mereka)…” (HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu).
Dan dalam riwayat yang lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “… Bacaan Al Quran kalian (wahai para sahabatku) tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bacaan Al Quran mereka, (demikian pula) shalat kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka, (demikian pula) puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan puasa mereka (HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu)
Maka pada hadits yang pertama Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang ciri-ciri mereka yang selalu mengucapkan kata-kata yang baik dan indah tapi cuma di mulut saja dan tidak masuk ke dalam hati mereka, dan pada hadits yang ke dua Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan tentang penampilan lahir mereka yang selalu mereka tampakkan untuk memperdaya manusia, yaitu kesungguhan dalam beribadah yang bahkan sampai kelihatannya melebihi kesungguhan para Sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam beribadah (karena memang para Sahabat radhiyallahu ‘anhum berusaha keras untuk menyembunyikan ibadah mereka karena takut tertimpa riya)
Yang kemudian prinsip ini diterapkan dengan benar oleh Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, tatkala kelompok khawarij keluar untuk memberontak dengan satu slogan yang mereka elu-elukan: “Tidak ada hukum selain hukum Allah ‘azza wa jalla“. Maka Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau radhiyallahu ‘anhu yang sangat masyhur -yang seharusnya kita jadikan sebagai pedoman dalam menilai suatu pemahaman- yaitu ucapan beliau radhiyallahu ‘anhu: “(slogan mereka itu ) adalah kalimat (yang nampaknya) benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.”
Semoga Allah ‘azza wa jalla Merahmati Imam Abu Muhammad Al Barbahari yang mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya Syarhus Sunnah dengan ucapan beliau: “Perhatikan dan cermatilah -semoga Allah ‘azza wa jalla merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali kamu terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai kamu tanyakan dan meneliti kembali: Apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamradhiyallahu ‘anhu atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlussunnah? Kalau kamu dapati ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiyallahu ‘anhum berpegang teguhlah kamu dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) kamu meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) kamu akan terjerumus ke dalam neraka!” (Syarhus Sunnah, tulisan Imam Al Barbahari hal.61, tahqiq Syaikh Khalid Ar Radadi). Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawuf ini.
Definisi Tasawuf/Sufi
Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya: hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” (kain wol) dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh (menyerupai) Nabi ‘Isa Al Masih ‘alaihi sallam (Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” (hal. 13), tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” (yang artinya: penisbatan kepada suku Quraisy), dan kata “Al Madani” (artinya: penisbatan kepada kota Madinah) dan yang semisalnya. Ada yang mengatakan: “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah (Ash Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin radhiyallahu ‘anhum yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan peng- hidupan yang cukup. Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34, -pen), tapi pendapat ini (jelas) salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shuffi” (dengan huruf “fa’ “yang didobel). Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” (barisan) yang terdepan di hadapan Allah ‘azza wa jalla, pendapat ini pun salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” (dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’ ” yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” (orang-orang terpilih) dari semua makhluk Allah ‘azza wa jalla, dan pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah: “Shafawi”. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada (seorang yang bernama) Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu (zaman jahiliah) pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk (ibadah) setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah meskipun lafazhnya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah (suku) ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang mengatakan -dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” (kain wol)(Majmu’ul Fatawa, 11/5-6).
Lahirnya Ajaran Tasawuf
Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu ‘anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama (generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. (Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dariHasan Al Bashri” (Majmu’ Al Fatawa 11/5).
Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (islam) lainnya (Majmu’ Al Fatawa, 11/6).
Berkata Imam Ibnu Al Jauzi: “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka. (Talbis Iblis hal 161).
Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan (hal. 17) “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tasawwuf, hal. 13).
Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla, bahkan justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama Budha” (Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 14).
Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin ‘Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. (Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15)
Baca pembahasan selanjutnya: Hakikat Tasawuf (Bag. 2)
—
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel: Muslim.or.id
Artikel asli: https://muslim.or.id/407-hakikat-tasawuf-1.html