Harta Mayit ke Mana Disalurkan?
Ada prioritas dalam penyaluran harta mayit atau orang yang meninggal dunia. Terlebih dahulu harta tersebut digunakan untuk pengurusan jenazahnya, lalu melunasi utang, melunasi dzimmah (kewajiban), menunaikan wasiat dan terakhir barulah dibagi untuk warisan.
Urutan prioritas penyaluran harta peninggalan si mayit adalah sebagai berikut.
Pertama: Pengurusan jenazah si mayit
Hal ini meliputi memandikan, mengkafani, memakamkan si mayit dan semacamnya tanpa berlebih-lebihan dan tidak terlalu pelit. Pengurusan jenazah ini lebih didahulukan daripada utang dan lainnya. Karena pengurusan jenazah ibarat pakaian yang menjadi kebutuhan primer bagi seseorang yang hidup dan tidak bisa dicopot dengan alasan untuk melunasi utang.
Kedua: Melunasi utang yang berkaitan dengan harta peninggalan si mayit.
Hal ini seperti utang dengan menggadaikan sebagian dari harta peninggalan.
Ketiga: Melunasi utang yang terikat dan menjadi dzimmah (kewajiban).
Yang dimaksud adalah harta yang tidak berkaitan dengan gadaian harta peninggalan, yaitu meliputi utang yang berkaitan dengan hak Allah dan berkaitan dengan hak manusia. Utang yang berkaitan dengan hak Allah seperti zakat, kafaroh atau puasa yang belum ditunaikan. Misalnya zakat tahun saat ia meninggal dunia belum dibayarkan dari hartanya. Begitu pula puasa yang belum ditunaikan dan bisa diganti dengan memberi fidyah (memberi makan pada orang miskin sesuai dengan jumlah puasa yang ditinggalkan). Sedangkan utang yang berkaitan dengan hak sesama manusia seperti utang kepada orang lain yang belum dilunasi sampai meninggal dunia dan pembayaran upah yang tertunda.
Keempat: Menunaikan wasiat si mayit yang tidak lebih dari 1/3 harta yang tersisa.
Setelah tiga kewajiban sebelumnya, barulah ditunaikan wasiat. Pelunasan utang lebih didahulukan daripada penunaian wasiat. Di antara alasannya adalah kesepakatan para ulama yang mendahulukan utang dari wasiat. Sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ الآيَةَ (مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ) وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَضَى بِالدَّيْنِ قَبْلَ الْوَصِيَّةِ
“Sesungguhnya kalian membaca ayat ini ‘sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya’[1]. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melunasi utang sebelum menunaikan wasiat” (HR. Tirmidzi no. 2094, Ibnu Majah no. 2715, dan Ahmad 1: 79. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Alasan yang lain, karena wasiat termasuk akad sosial atau pemberian cuma-cuma. Jika harta peninggalan begitu pas-pasan, maka tidak ragu lagi penunaian utang lebih didahulukan barulah wasiat karena menunaikan utang itu wajib sedangkan menunaikan wasiat hanyalah sukarela.
Sedangkan dalam ayat,
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ
“sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya”[2], wasiat lebih didahulukan karena wasiat hampir mirip dengan harta waris yaitu diberikan secara cuma-cuma tanpa bayaran. Dan itu hanyalah tanda bahwa warisan juga termasuk kewajiban yang harus segera ditunaikan semisal utang. Tapi jika kita kembali hadits tetap menunjukkan secara tegas bahwa utang lebih dahulu diselesaikan daripada wasiat.
Dan wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga (1/3) harta yang tersisa. Bahasan ini akan dikaji pada kesempatan yang lain, bi idznillah.
Kelima: Membagi harta peninggalan kepada ahli waris yang berhak menerima sesuai dengan jatah yang telah ditetapkan dalam kitabullah.
Jika telah memahami hal ini, ketika si mayit memiliki 100 juta rupiah sebagai harta peninggalan, maka harus diprioritaskan untuk keempat hal di atas terlebih dahulu sebelum pembagian warisan. Semisal jika untuk pengurusan jenazah dibutuhkan 500 ribu rupiah, utang 500 ribu rupiah, utang zakat 4 juta rupiah, wasiat 5 juta kepada anak yatim, totalnya adalah 10 juta rupiah. Maka sisa 90 juta rupiah, itulah yang dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerima. Jadi harta peninggalan si mayit tidak dibagikan langsung untuk warisan. Akan tetapi, harus diprioritaskan sesuai urutan yang dijelaskan di atas.
Semoga Allah senantiasa memberikan kita ilmu yang bermanfaat dan moga berbuah amal sholeh.
Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 3: 425-426, terbitan Maktabah At Tauqifiyah.
@ KSU, Riyadh, KSA, 20 Rajab 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
🔍 Shalat Berbaring, Hijrah Menjadi Pribadi Yang Lebih Baik, Pengertian Shalat Sunnah Tahiyatul Masjid, Dimana Dajjal Berada
Artikel asli: https://muslim.or.id/19033-harta-mayit-ke-mana-disalurkan.html