Mengimani Sifat Murka Allah
Kemuliaan suatu disiplin ilmu sangat erat kaitannya dengan obyek pembahasan. Semakin tinggi kedudukan obyek pembahasannya, maka ilmu itu semakin mulia. Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa ilmu yang membahas tentang nama dan sifat Allah adalah cabang ilmu yang sangat mulia, sebab obyek pembahasannya adalah Allah, Zat yang Mahamulia, maka pembahasannya pun jadi mulia.
Di antara sifat Allah yang menjadi tema pembahasan di dalam kitab para ulama kontemporer adalah masalah sifat غَصَب(sifat marah/murka) bagi Allah. Sengaja para ulama ahlus sunnah wal jama’ah memasukkan pembahasan ini dalam karya tulis mereka karena ada sebagian umat Islam yang mengingkari sifat ini. Sehingga perlu bagi para ulama untuk menjelaskan kepada umat ini akan eksistensi sifat ghadhab (marah) bagi Allah.
Dalil yang Menunjukkan Adanya Sifat Marah Bagi Allah
Ada banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat ghadhab (murka/marah). Baik dalil dari Alquran maupun dari Sunah.
1. Dalil dari Alquran
Ada banyak teks ayat Alquran yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat marah. Di antaranya adalah:
QS. An-Nisa: 93
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barang siapa membunuh seorang beriman dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa: 93)
QS. Al-Baqarah: 90
Allah berfirman,
فَبَاءُوا بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dankarena itulah mereka menanggung kemurkaan demi kemurkaan, dan kepada orang-orang kafir ditimpakan azab yang pedih.” (QS. Al-Baqarah: 90)
Ketika menanggapi ayat ini, Imam Ibnu Katsir membawakanriwayat dari Abu ‘Aliyah. Beliau mengatakan, “Allahmurka kepada mereka lantaran mereka mengingkari Injil dan Isa. Kemudian mereka juga ingkar terhadap Muhammad dan Alquran.”
QS. An-Nur: 9
Allah berfirman,
وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Dan sumpah yang kelima bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (istri) jika suaminya termasuk orang yang berkata benar.” (QS. An-Nur: 9)
Sebagaimana yang kita saksikan, di dalam ayat-ayat di atas, Allah me-nisbat-kan sifat marah kepada diri-Nya sendiri. Jika demikian halnya, lantas layakkah jika kita lancang terhadap ayat-ayat Allah seraya mengatakan, “Allah tidak memiliki sifat murka.” atau “ Allah tidak mungkin bisa marah.”
Tidakkah kita tahu diri serta beriman kepada Allah? Tidakkah kita mencukupkan diri menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri?
Ayat-ayat yang memberikan pesan semakna dengan ayat-ayat di atas masih banyak. Bahkan Allah juga mengisyaratkan hal ini di dalam ayat yang senantiasa dibaca oleh umat Islam di dalam salatnya. Allah berfirman,
غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan jalan mereka yang sesat.” (QS. Al-Fatihah: 7)
Syaikh Sholih Fauzan dan para ulama yang lain rahimahumullah menjadikan ayat ini sebagai bukti bahwa ghadhab (marah/murka) adalah salah satu sifat Allah ta’ala.1
Dan masih banyak lagi ayat-ayat Alquran yang mengandung pesan bahwa Allah memiliki sifat murka kepada siapa saja yang Dia kehendaki sebagaimana Dia juga memiliki sifat rida terhadap siapa saja yang Dia kehendaki.
Dalil dari Al-Hadis
Ada sekian banyak hadis yang menunjukkan bahwa Allah memiliki sifat murka. Di antaranya adalah:
Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لَمَّا قَضَى الْخَلْقَ كَتَبَ عِنْدَهُ فَوْقَ عَرْشِهِ إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي
“Sesungguhnya tatkala Allah menetapkan makhluk-Nya, Dia tulis di sisi-Nya di atas ‘arsy bahwa rahmat-Ku mendahului murka-Ku” (HR. Bukhari: 7422)
Hadis yang juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ketika Rasulullah terluka dalam sebuah peperangan, beliau bersabda,
اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى قَوْمٍ فَعَلُوا بِنَبِيِّهِ يُشِيرُ إِلَى رَبَاعِيَتِهِ اشْتَدَّ غَضَبُ اللهِ عَلَى رَجُلٍ يَقْتُلُهُ رَسُولُ اللهِ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Allah sangat murka terhadap kaum yang memperlakukan nabinya seperti ini. Beliau menunjuk giginya yang patah. Kemudian beliau mengatakan, “Allah juga sangat murka terhadap orang yang dibunuh oleh nabi-Nya.”(HR. Bukhari: 4073 dan Muslim: 1793)
Barangkali beberapa ayat dan hadis di atas sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa Allah adalah zat yang bisa murka sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya.
Memahami Sifat Allah Sesuai dengan Kaidah Ahlus Sunnah Waljama’ah
Para ulama ahlus sunnah wal jama’ah telah jauh hari menetapkan kaidah-kaidah universal dalam memahami teks-teks yang berbicara masalah sifat Allah. Upaya ini tidak lain bertujuan untuk mengantisipasi adanya penyimpangan dalam mempelajari dan memahami sifat-sifat Allah Ta’ala. Serta untuk meng-counter pemikiran pemikiran luar yang berupaya untuk merusak metode berpikir umat Islam.
Di antara kaidah yang dimaksud adalah sebagai berikut2:
Hakikat sifat Allah tidak sama dengan sifat makhluk-Nya.
Setiap kali kita mendapatkan teks-teks yang berbicara tentang sifat-sifat Allah, harus kita tanamkan di benak kita bahwa sifat Allah tidak sama dengan sifat makhluk. Kaidah ini bersandar pada firman Allah,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu apapun yang menyamainya. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. Asy–Syura: 11)
Demikian halnya ketika Allah menisbatkan sifat marah pada diri-Nya sendiri, maka kita harus memahami bahwa marahnya Allah tidak sama dengan marahnya makhluk. Meskipun namanya sama, akan tetapi hakikatnya berbeda.
Sebagai contoh konkritnya, amarah yang timbul pada diri manusia adalah amarah yang disertai dengan mendidihnya darah dalam jantung serta raut wajah yang memerah. Bahkan bisa jadi rambutnya pun juga ikut berdiri. Ini adalah gambaran ekspresi murka yang ada pada manusia.
Sedangkan murkanya Allah, tidak boleh kita samakan dengan murka manusia. Sebab jika kita samakan dengan sifat amarah yang ada pada manusia berarti kita telah menerjang ayat di atas. Selain itu, jika kita menyamakan antara murka Allah dengan murka makhluk maka akan timbul berbagai konsekuensi-konsekuensi batil, seperti; Allah memiliki jantung, darah, rambut, dst.
Oleh karena itu, kita tidak boleh menyamakan antara amarah Allah dengan amarah manusia. Adapun bagaimana hakikat murka Allah, maka hanya Allah-lah yang mengetahuinya.
Seluruh sifat Allah adalah sifat sempurna, tidak mengandung aib dan kekurangan.
Allah adalah Mahasempurna, jauh dari kekurangan serta aib. Allah menerangkan hal ini dalam firmannya,
لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِ وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَى وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Bagi orang yang tidak beriman pada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk. Sedangkan Allah mempunyai sifat yang Mahatinggi.” (QS. An-Nahl: 60)
Ayat ini mengandung pesan bahwa sifat-sifat Allah adalah sifat yang paling tinggi, tiada sifat yang lebih tinggi dari sifat Allah. Sehingga setiap sifat yang disandang oleh Allah adalah sifat sempurna yang mencapai puncak kesempurnaan.3
Dengan demikian, sifat murka Allah adalah sifat murka yang sempurna sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya. Sesuai kehendak-Nya, Allah murka kepada orang yang pantas untuk dimurkai sebagaimana Dia juga meridai orang yang pantas untuk diridai.
Berbeda halnya dengan sifat amarah makhluk. Manusia genap dengan seluruh kekurangan dan keterbatasannya, sering kali bertindak tidak adil. Sangat mungkin seorang manusia marah bukan pada tempatnya, atau marah pada orang yang tidak berhak untuk dimarahi.
Teks yang berbicara masalah sifat Allah harus dipahami sesuai dengan makna lahiriahnya.
Alquran adalah kitab suci yang Allah turunkan dengan bahasa Arab yang sudah jelas. Allah berfirman,
وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ () نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ () عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ () بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
“Dan sungguh Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, yang dibawa oleh Ruhul Amin (Jibril). Ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu’ara: 192-195)
Allah menurunkan Alquran dengan bahasa Arab yang sangat jelas, itu artinya kita tidak perlu menyimpangkan maknanya dari makna lahiriahnya. Ketika Allah menyandarkan sifat ghadhab pada dirinya, maka yang dimaksud dengan ghadhab (murka) adalah sifat marah hakiki yang sudah diketahui maksudnya oleh setiap orang berakal.
Dengan demikian kita tidak dibenarkan mengganti makna tersebut dengan makna lain. Misalnya mengganti makna “ghadhab” dalam ayat ini dengan tafsiran lain seperti; “keinginan untuk mengazab” atau “keinginan untuk membalas”, dsb.
Jika kita merubah makna ayat seperti ini, seakan kita mengatakan bahwa tata bahasa dalam ayat Alquran tidak jelas, sehingga makna teks-teksnya perlu diganti dari makna lahirnya.
Di sisi lain, perbuatan mengganti makna teks seperti ini sama halnya kita menentang Allah. Seakan orang seperti ini ingin mengatakan, “Allah tidak marah.” Padahal Allah sendiri yang telah menyandarkan sifat tersebut kepada dirinya.
Imam al-Asbahani mengatakan, “Sesungguhnya dalam permasalahan ini, mazhab kami dan mazhab Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah menetapkan serta memahaminya sesuai dengan makna lahiriahnya tanpa menggambarkan kaifiahnya serta tanpa menyamakannya dengan sesuatu apa pun. Sebagian kelompok ada menolak sifat Allah dengan cara meniadakannya. Dan ada juga sebagian kelompok yang menyimpangkan maknanya sehingga menyelisihi makna lahir. Akibatnya mereka justru menolak sifat Allah dan juga menyerupakan Allah dengan makhluknya.”4
Tidak boleh menggambarkan bagaimana hakikat sifat Allah.
Akal manusia sangat terbatas. Jikapun bisa menganalisa, ia hanya mampu menganalisa materi-materi yang kasat mata atau yang bisa ditangkap oleh indra. Dengan kata lain, akal tidak akan pernah mampu menganalisa perkara-perkara ghaib tanpa adanya bimbingan wahyu.
Oleh karenanya jika ada manusia yang mencoba membayangkan bagaimana sejatinya keadaan Allah tatkala murka, niscaya ia tidak akan sanggup untuk menggambarkannya. Sebab hal-hal yang ia bayangkan adalah perkara gaib, tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah pula didengar oleh telinga.
Seandainya pun ia memaksakan diri untuk menggambar-gambarkannya, niscaya yang terlintas di pikirannya tidak jauh dari berbagai bentuk makhluk yang pernah ia lihat dan ia dengar saja. Itu artinya menggambarkan kaifiyah Allah sama artinya menyerupakan Allah dengan Makhluk-Nya. Padahal kita tahu, Allah tidak sama dengan makhluknya.
Sehingga, wajar jika kita dilarang untuk menggambarkan bagaimana bentuk Allah Ta’ala, sebab jika kita membayangkan bentuk Allah sama halnya kita menyerupakan-Nya dengan makhluk.
Sangat tepat jawaban imam Malik rahimahullah tatkala beliau ditanya, “Bagaimanakah Allah bersemayam (istiwa’) di atas ‘Arsy?” Beliau menjawab, “Istiwa’ sudah dimaklumi, sedangkan bagaimana kaifiahnya tidaklah kita ketahui, mengimaninya adalah wajib dan bertanya tentang kaifiahnya adalah bid’ah.”5
Meluruskan Kesalahpahaman
Secara umum, para ulama ahlus sunnah waljama’ah terdahulu semenjak generasi para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in tidak ada yang mengingkari sifat ini. Di dalam memahami sifat ini pun nyaris tidak ada kontroversi di antara mereka.
Akan tetapi setelah umat Islam banyak yang terpengaruh oleh filsafat Yunani mulailah muncul kontroversi dalam memahami sifat ini. Teks-teks Alquran yang pada dasarnya sangat mudah dipahami, kini dibuat bertele-tele dan begitu rancu. Walhasil, banyak kaum muslimin yang keliru dalam memahami sifat ghadhab Allah Ta’ala.
Di antara kesalahan tersebut adalah menolak sifat marah bagi Allah. Dalam hal ini mereka terbagi menajdi beberapa kelompok. Sebagian kelompok meniadakan sifat ghadhab bagi Allah secara mutlak dan sebagian kelompok yang lain menyimpangkan makna ghadhab kepada maka yang lain, yaitu : kehendak untuk menyiksa.
Untuk menguatkan pemikiran ini, mereka membawakan beberapa alasan. Di antaranya adalah:
Marah adalah sifat bagi makhluk. Jika kita menetapkan sifat marah bagi Allah berarti kita menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.
Untuk menjawab kesalahpahaman seperti ini maka bisa kita jawab dari beberapa sisi:
Jika Anda boleh mengatakan demikian, maka kami pun juga bisa mengatakan bahwa orang yang menolak sifat ghadhab bagi Allah sama artinya telah menyerupakan Allah dengan dengan benda-beda mati (seperti batu, tanah, kayu, dsb) yang tidak memiliki sifat marah.
Kesamaan nama tidak mengharuskan kesamaan materi. Sebagai contoh, Allah bersifat wujud (ada). Demikian juga manusia bersifat wujud. Akan tetapi eksistensi keduanya berbeda. Wujud Allah adalah wujud azali abadi, sedangkan wujud manusia adalah wujud fana dan sementara.
Demikian juga dengan sifat murka, meskipun Allah punya sifat marah namun amarah Allah sesuai dengan kemuliaan-Nya tidak sama dengan sifat amarah makhluk-Nya.
Marah adalah keadaan saat darah mendidih dalam hati, dan hal itu mustahil bagi Allah.
Pemahaman seperti ini juga tidak tepat. Sebab mendidihnya darah, atau berubahnya warna wajah saat marah adalah sifat yang terjadi pada makhluk. Adapun Allah, maka marah-Nya tidak lazim harus seperti itu. Lantas bagaimana marahnya Allah? Hanya Allah–lah yang mengetahui bagaimana kaifiahnya.
Menetapkan sifat marah bagi Allah sama dengan mengatakan bahwa Allah dipengaruhi oleh ciptaan, dan ciptaan yang menyebabkan peristiwa kemarahan-Nya, dll. Padahal Allah tidak terpengaruh oleh apa yang kita lakukan, atau oleh apa pun dalam ciptaan-Nya. Karena Dia tidak membutuhkan ciptaan dengan cara atau bentuk apapun.
Untuk meluruskan kesalahpahaman ini kita bisa menjawabnya dari beberapa sisi:
Pertama: Yang menetapkan sifat murka bagi Allah adalah Allah sendiri. Sedangkan kewajiban kita hanyalah menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya sendiri. Sebagai hamba-Nya tentu kita tidak boleh lancang sampai berani menolak ketetapan Allah atau menetapkan perkara yang tidak Ia tetapkan bagi diri-Nya
Kedua: sifat murka adalah sifat ikhtiyariyah (pilihan) Allah. Artinya Allah tidak dipaksa oleh siapapun dalam hal ini. Semuanya terserah kepada kehendak Allah. Jika Ia menghendaki maka Ia akan murka kepada orang yang pantas untuk dimurkai, Sebagaimana Allah juga meridai hamba-Nya sesuai dengan kehendak dan iradah-nya. Jadi menetapkan sifat murka bagi Allah, tidak berarti mengtakan bahwa Allah bergantung kepada makhluk-Nya.
Dengan demikian kita tidak perlu menakwil makna ghadhab dengan “kehendak menyiksa” atau “siksaan” atau takwil-takwil lain yang menyimpang dari makna lahirnya.
Demikian pembahasan singkat ini, semoga bermanfaat. Shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi ajma’in.
Catatan Kaki
1 Syarah lum’atul i’tiqad: 78
2 Untuk mengenal kaidah-kaidah selengkapnya silakan merujuk ke kitab Al Qawa’idul Mutsla, karya syaikh ‘Utsaimin rahiahullah.
3 Syarah Al Qawaidul Mutsla, hal 101-102.
4 Lihat kitab Al Hujjah fi bayanil Mahajjah:1/312
5 Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab Al Asma’ Was Sifat : 866
Referensi
‘Utsaimin.(2007) Syarah Al Qawaid Al Mutsla, Darul Arqam; Mesir
Al Asbahani. (1999) Al Hujjah Fi Bayanil Mahajjah, Dar Ar Rayah; Riyadh.
Fauzan, Shalih.(2004) Syarah Lum’atul I’tiqad,
Abul ‘Izz, Ibnu. (2006) Syarah ‘Aqidh Thahawiyah, Al Maktab Al Islami; Beirut
—
Penulis: Agus Pranowo
Murajaah: Ust. Suhuf Subhan, M.Pd.IDaftar Pustaka
🔍 Hukum Memakai Kawat Gigi, Ayat Tentang Anak Yatim, Foto Gambaran Surga Dan Neraka, Surat Al Wahab
Artikel asli: https://muslim.or.id/18978-mengimani-sifat-murka-allah.html