Penutup
AL-BAI’AH BAINA AS-SUNNAH WAL AL-BID’AH ‘INDA AL-JAMA’AH AL-ISLAMIYAH
[BAI’AT ANTARA SUNNAH DAN BID’AH 1/9]
Oleh
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
MUKADIMAH
Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan minta tolong kepada-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan jiwa-jiwa dan kejelekan amal-amal kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, maka tidak ada yang bisa memberikan petunjuk kepadanya.
Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya, amma ba’du.
Inilah tulisan singkat yang dilengkapi dengan dalil-dalil ilmiah baik dalil naqli maupun aqli tentang masalah ba’iat yang syar’i[1] serta hukumnya menurut Al-Kitab dan As-Sunah. Apakah bai’at itu hanya boleh untuk khalifah saja atau untuk semua manusia ? Disertai penjelasan pendapat yang benar tentang bai’at agar menjadi terang dan gamblang bagi pencari kebenaran (al-haq). Terungkap sebagian penyimpangan-penyimpangan yang menjerumuskan kepada aliran-aliran yang sesat dan menyesatkan.
Saya tulis risalah ini, setelah saya yakin bahwa ketika amalan Islam menjadi jauh dari fitrahnya di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka terjadilah kemorosotan moral, kehidupan rohani menjadi lemah, ilmupun kian sedikit. Begitupula semakin hilang keteguhan ketika menghadapi fenomena-fenomena yang mengerikan dan menyedihkan, dan jarak antara syi’ar dan kenyataan semakin lebar, serta semakin hilang jejak-jejak Nabi pada para juru dakwah (da’i), sebagai gantinya muncul jejak (jalan) yang dipenuhi oleh pemikiran aneh.[2]
Maka saya berkeinginan untuk menulis pembahasan ini dengan tujuan menyebarkan ilmu dan menampakkan al-haq. Mudah-mudahan Allah memberi rahmat dan menunjukkan jalan yang lurus kepada kita. Sesungguhnya Allah Maha mampu atas segala sesuatu.
PENGANTAR [1/3]
Karakter suatu pembahasan dan alurnya akan berbeda menurut perbedaan kondisi yang ada, motivasi dan hasil-hasil yang mau dicapai, serta hal-hal lainnya yang tidak samar lagi bagi penuntut ilmu dan ahlinya.
Pembahasan kita dengan kekuatan yang diberikan Allah kepada kami bukanlah pembahasan yang didasari oleh perasaan dan semangat dengan cara menampakkan ungkapan-ungkapan yang indah. Tetapi pembahasan ini merupakan bahasan yang ilmiah (insya Allah), karena menuntut ilmu merupakan salah satu bentuk jihad yang wajib bagi kita untuk berkorban di dalam menempuhnya, meskipun berat dan mahal.[3]
Jika hasil pembahasan nampak dengan jelas dan terang, maka wajib bagi pembaca tulisan ini untuk kembali kepada kebenaran (al-haq). Sehingga tertutuplah jalan bagi setan untuk memasuki jiwa-jiwa, dikarenakan jiwa, jika ditempati hawa nafsu pada salah satu lubuknya, maka akan dibutakan dari kebaikan dan akan ditulikan telinganya dari al-haq.[4] Tertutup pula was-was setan bahwa rujuknya dia dari kesalahan (kepada kebenaran -ed) akan meruntuhkan reputasi dan menurunkan kedudukannya ! Padahal yang meghilangkan kedudukan adalah : masa bodoh dengan kesalahan, pindahnya dai dari hari kemarin kepada hari ini, kemudian kepada hari esoknya (semakin jelek amalnya -ed), merasa terjaga dari kesalahan dan menutup mata dari keadaan masyarakat yang komplek.[5]
Barangkali ada orang yang membantah dengan mengatakan :
Yang menjadi kewajiban kita sekarang ini ialah mengajak kaum muslimin kepada masalah-masalah yang tidak ada perselisihan di dalamnya dan menjauhi sisi yang terdapat perselisihan di dalamnya[6] Tidak sepantasnya bagi kita untuk berbicara seputar perselisihan demi menjaga kemaslahatan, sehingga musuh-musuh kita tidak tahu masalah ini! Atau ada yang mengatakan : Kewajiban yang paling penting ialah mengarahkan keinginan kaum musimin kepada persatuan barisan dan menyatukan kalimat semampu kita[7].
Perkataan ini menyelisihi kebenaran, karena bersembunyi di atas kesalahan dengan dalih demi menjaga kemaslahatan bersama, Begitu pula anggapan bahwa koreksi di dalam beragama merupakan penyebab perpecahan dan pertikaian serta perkara yang berbahaya dan kerusakan yang nyata yang akan ditebus oleh umat dengan darah yang mengalir. Bukan itu saja, bahkan akan menimbulkan hilangnya kekuatan dan yang paling mendasar adalah hilangnya eksitensi. Padahal umat jika tanpa adanya koreksi dan saling menasehati akan hidup dalam warna lain : ‘berupa kesendirian sampai pada batasan yang sangat menyedihkan dan menyakitkan’. Dari sini diketahui bahwa sosok seorang muslim yang benar ialah yang tidak terkungkung (terkurung) dan terpaku oleh satu sosok bagaimanapun karakternya. Tetapi sosok yang selalu siap untuk berpindah dari yang bermanfaat kepada yang lebih bermanfaat lagi, dari yang baik kepada yang lebih baik lagi, selalu menerima al-haq jika sudah terang dan menerima dalil jika sudah gamblang (jelas), serta tidak terjerumus kedalam hizbiyyah yang mematikan dan ashabiyyah yang membinasakan.[8]
Adapun anggapan bahwa diam dalam masalah tersebut (nasehat-menasehati) bisa menyatukan barisan, maka hal ini telah dijawab oleh al-Ustadz Sayyid Qutb rahimahullah “Dengan ayat tersebut (Al-Maidah : 48 -pent) Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menutup semua pintu bagi setan, berupa kamuflase yang kelihatan baik dan bisa meluluhkan hati serta bisa menyatukan barisan tetapi dengan meremehkan sebagian dari syariat Allah demi memperoleh keridhaan dari semua pihak atau demi persatuan shaf (barisan) [9]
Yang lainpun akan mengatakan dengan memberikan jalan keluar yang “obyektif” dengan berkata : “Kita saling menolong pada masalah-masalah yang kita sepakati dan saling memberi ‘udzur’ (maaf) sebagian atas sebagian yang lain pada masalah-masalah yang kita berselisih di dalamnya”.[10]
Maka kami jawab : “Benar, wajib bagi kita untuk saling menolong pada permasalahan yang kita bersepakat di dalamnya, seperti membela al-haq dan mendakwahkannya, serta mengingatkan dari hal-hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-nya, Adapun saling memberi ma’af sebagian kita kepada sebagian yang lain pada masalah yang kita berbeda pendapat di dalamnya, tidaklah secara mutlak, tetapi perlu dirinci lagi. Kalau permasalahannya termasuk dari masalah-masalah ijtihad yang samar dalilnya, maka wajib untuk tidak mengingkari sebagian kita atas sebagian yang lain. Adapun pada permasalahan yang menyelisihi nash baik dari Al-Kitab maupun As-Sunnah, maka sudah menjadi suatu kewajiban untuk mengingkari orang yang menyelisihinya, akan tetapi dengan hikmah dan nasehat yang baik serta berdiskusi dengan cara yang lebih baik ….” [11]
Sebenarnya sebagian penulis-penulis harakiyyin (gerakan Islam) telah merasakan salahnya pemutlakan kalimat tersebut di atas, sehingga membatasinya dengan batasan yang halus guna menghilangkan kesalahan dan kekeliruan kalimat tersebut. Maka, diapun menyatakan setelah membawakan kalimat tersebut dengan mengatakan : “….pada masalah-masalah yang ada bagian untuk ijtihad di dalamnya”.[12]
Kemudian penulis yang lainpun memberi batasan dengan mengatakan : “…dengan ketentuan adanya kemungkinan ikhtilaf (perselisihan/perbedaan) di dalamnya dan dengan landasan-landasan manhaj (metode) yang membolehkan adanya ikhtilaf seperti ini”[13] Perlu diketahui bahwa keduanya berasal dari sekolah yang sama yang mengucapkan kalimat ini.
[Disalin dari kitab Al-Bai’ah baina as-Sunnah wa al-bid’ah ‘inda al-Jama’ah al-Islamiyah, edisi Indonesia Bai’at antara Sunnah dan Bid’ah oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid, terbitan Yayasan Al-Madinah, penerjemah Arif Mufid MF.]
_______
Footnote.
[1]. Dalam kitab ini ada risalah yang ditulis oleh Doktor Mahmud al-Kahidi dengan judul : “Al-Bai’ah fi al-Fikras-Siyasi al-Islami”
[2]. Ihya’ar-Rabbaniyyah, hal. 11, Said Hawa
[3]. Mudzakkirat ad-Da’wah wa-ad-Da’iyyah, hal.39, Hasan al-Banna
[4]. Idem, hal.116
[5]. Dari mukadimahnya Syaikh Muhammad al-Ghazali terhadap kitab Nazharat fi Masiirah al-‘Amal al-Islami,hal 11, Umar Ubaid Hasanah
[6]. Al-Ikhwan al-Muslimin Ahdats Shana’at al-Tarikh (I/138) Mahmud Abdul Halim
[7]. Majmu’ah ar-Rasa’il, hal.331, Hasan al-Banna
[8]. Nadzarat fi masiirah al-Amal al-Islami, hal.21 Umar Ubaid Hasanah
[9]. Fi Zhilal al-Qur’an (2/749), Sayyid Qutb
[10]. Dari ucapan Syaikh Hasan al-Banna
[11]. Tanbihaat Haammah ‘ala ma katabahu al-Shabuni fi Shifat Allah ‘azza wa Jalla, hal.41 Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
[12]. Ucapaan Sa’id Hawa di dalam Ihya’ ar-Rabbaniyyah, hal.8
[13]. Dari pembahasan Doktor Rajih al-Kurdi pada awal buku Nadwah Ittijaahaat al-fikr al-Islami al-Mu’ashar, pada sub al-Ittijah as-Salafi. Di dalamnya terdapat banyak kesalahan. Dan aku telah membantahnya dengan suatu bahasan yang aku beri judul Ar-Radd al-Majdi ‘ala Rajih al-Kurdi
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/190-al-baiah-baina-as-sunnah-wal-al-bidah-inda-al-jamaah-islamiyah.html