Allah Tidak Perlu Dibela?
Perkataan di atas sering digaungkan oleh orang-orang munafik dari kalangan liberalis dan yang sekolam dengan mereka ketika sebagian kaum muslimin berusaha membela Islam atau kaum muslimin. Lalu, benarkah perkataan mereka ini?
Permainan kata ala orang Yahudi
Perkataan ini termasuk apa yang disebut oleh para ulama dengan istilah,
كلمة حق يراد بها باطل
“Perkataan yang zahirnya benar, namun maksud yang diinginkan adalah kebatilan.”
Ini sebagaimana kelakuan orang-orang Yahudi yang gemar bermain kata-kata untuk melecehkan kaum muslimin sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا وَاسْمَعُوا وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian katakan ‘raa’inaa’ namun katakanlah ‘unzhurnaa’ dan dengarkanlah. Dan bagi orang-orang kafir itu ada azab yang pedih.” (QS. Al-Baqarah: 104)
Para ulama tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah karena orang-orang Yahudi berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan perkataan “raa’inaa” yang multitafsir. Bisa bermakna “Wahai Rasulullah, perhatikanlah kami.” Dan juga bisa bermakna “Engkau adalah yang orang dungu di antara kami” sebagai bentuk perendahan kepada beliau. Dan makna yang mereka inginkan adalah makna yang kedua. Inilah perkataan yang zahirnya benar, namun maksud yang diinginkan adalah kebatilan. Dan kaum mukminin dilarang mengatakan perkataan yang semisal ini.
Baca Juga: Bagaimana Seharusnya Toleransi Beragama antar Negara Islam?
Rabb semesta alam tidak butuh pertolongan
Tentu saja Allah Rabb semesta alam tidak membutuhkan pertolongan atau pembelaan dari siapapun. Allah Ta’ala berfirman,
قُلْ مَنۢ بِيَدِهِۦ مَلَكُوتُ كُلِّ شَىْءٍۢ وَهُوَ يُجِيرُ وَلَا يُجَارُ عَلَيْهِ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah siapa yang di tangan-Nya ada kekuasaan langit dan bumi? Dia lah yang memberikan perlindungan dan Dia tidak butuh perlindungan. Jika kalian benar-benar mengetahui.” (QS. Al-Mukminun: 88).
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُن لَّهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ يَكُن لَّهُ وَلِيٌّ مِّنَ الذُّلِّ ۖ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا
“Katakanlah, ‘Segala puji bagi Allah yang tidak butuh untuk memiliki anak. Dia tidak butuh partner untuk menguasai alam semesta. Dia tidak lemah sehingga butuh penolong. Dan agungkanlah Dia (Allah) dengan sebenar-benarnya.” (QS. Al-Isra’: 111)
Allah Ta’ala pun tidak membutuhkan amal saleh kita. Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk menyembah-Nya, namun bukan karena Ia butuh untuk disembah. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku (saja). Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah, Dialah Mahapemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58)
Kita beribadah atau tidak, kita melakukan amal kebaikan atau tidak, kita taat atau ingkar, kita maksiat atau tidak, sama sekali tidak berpengaruh pada keagungan Allah Ta’ala. Andai seluruh manusia sejak zaman Nabi Adam sampai kiamat semuanya beriman dan bertakwa, keagungan Allah Ta’ala tetap pada kesempurnaan-Nya. Andai semua manusia sejak zaman Nabi Adam sampai kiamat semuanya kafir dan ingkar kepada Allah Ta’ala, sama sekali tidak mengurangi kekuasaan-Nya. Dalam sebuah hadis qudsi Allah Ta’ala berfirman,
يا عِبَادِي لو أنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وإنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا علَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنكُمْ، ما زَادَ ذلكَ في مُلْكِي شيئًا، يا عِبَادِي لو أنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وإنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا علَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ، ما نَقَصَ ذلكَ مِن مُلْكِي شيئًا
“Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bertaqwa, hal itu sedikit pun tidak menambah kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, andai seluruh manusia dan jin dari yang paling awal sampai yang paling akhir, seluruhnya menjadi orang yang paling bermaksiat, hal itu sedikit pun tidak mengurangi kekuasaan-Ku.” (HR. Muslim no. 2577, dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu ‘anhu)
Ini perkara yang sudah jelas dan gamblang bagi semua orang yang berakal.
Membela Allah artinya membela Islam dan kaum muslimin
Adapun firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُوا اللَّهَ يَنصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian membela Allah, maka Allah akan menolong kalian dan meneguhkan kaki kalian.” (QS. Muhammad: 7)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَلَيَنصُرَنَّ اللَّهُ مَن يَنصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Dan sungguh Allah akan menolong orang-orang yang membela-Nya. Sesungguhnya Allah itu Mahakuat lagi Mahamulia” (QS. Al-Hajj: 40)
Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan ayat di surah Muhammad di atas,
أي إن تنصروا دين الله ينصركم على الكفار
“Maksudnya adalah jika kalian membela agama Allah, maka Allah akan menolong kalian.” (Tafsir Al-Qurthubi)
Al-Baghawi rahimahullah menjelaskan,
يا أيها الذين آمنوا إن تنصروا الله أي دينه ورسوله
“‘Wahai orang-orang yang beriman! Jika kalian membela Allah’ maksudnya membela agama Allah dan Rasul-Nya.” (Tafsir Al-Baghawi)
Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan,
هذا أمر منه تعالى للمؤمنين، أن ينصروا الله بالقيام بدينه، والدعوة إليه، وجهاد أعدائه، والقصد بذلك وجه الله
“Dalam ayat ini Allah Ta’ala memerintahkan kaum mukminin untuk membela Allah, yaitu dengan menegakkan agama-Nya, mendakwahkan Islam dan berjihad melawan musuh-musuh Islam. Dan tujuan melakukan itu semua adalah untuk mengharapkan wajah Allah.” (Tafsir As-Sa’di)
Maka, yang dimaksud “membela Allah” dalam ayat-ayat di atas adalah membela Islam dan kaum muslimin. Karena kaum muslimin adalah makhluk yang butuh kepada pembelaan. Demikian juga agama Islam butuh untuk ditegakkan dan dibela karena ketika Islam lemah dan direndahkan, maka para pemeluknya akan lemah dan direndahkan pula.
Dan yang paling penting dari semua ini adalah bahwa ini adalah hal yang difirmankan dan diperintahkan oleh Allah Ta’ala. Bagaimana mungkin kita meninggalkan perintah Allah Ta’ala untuk mengikuti perkataan orang-orang liberal yang hina dina?
Baca Juga: Pembatal Keislaman: Meyakini Ada Orang yang Boleh Meninggalkan Ajaran Islam
Hakikat perkataan mereka
Orang-orang munafik yang berkata “Allah tidak perlu dibela” sebenarnya yang mereka maksudkan adalah “tidak perlu amar ma’ruf dan nahi mungkar“.
Perbuatan ma’ruf (baik) tidak perlu diperintahkan dan disampaikan kepada orang lain. Perbuatan mungkar tidak perlu dicegah dan diingkari. Pelaku kekufuran dan kesyirikan, biarkanlah mereka. Pelaku bid’ah dan maksiat pun jangan diganggu dan jangan dilarang. Itulah maksud mereka.
Padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk amar ma’ruf nahi mungkar sesuai dengan kemampuan. Allah Ta’ala menyebutkan perkataan Luqmanul Hakim,
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا أَصَابَكَ ۖ إِنَّ ذَٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Wahai anakku! Dirikanlah salat, lakukanlah amar ma’ruf dan nahi mungkar, serta bersabarlah dalam menghadapi kesulitan ketika melakukannya. Karena sesungguhnya itu semua adalah perkara yang mulia.” (QS. Luqman: 17)
Allah Ta’ala juga berfirman,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kalian (kaum mukminin) adalah sebaik-baik umat yang lahir di tengah manusia, kalian beramar ma’ruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Dan agama Islam ini adalah agama nasihat sehingga seluruh ajaran Islam tidak membiarkan adanya kemungkaran dan berusaha melakukan perbaikan sebisa mungkin. Dari Tamim ad-Dari radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنا: لِمَنْ؟ قالَ: لِلَّهِ ولِكِتابِهِ ولِرَسولِهِ ولأَئِمَّةِ المُسْلِمِينَ وعامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat.” Para sahabat bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan umat muslim seluruhnya.” (HR. Muslim no. 55)
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam memerintahkan kita melakukan amar ma’ruf nahi mungkar dalam sabdanya,
مَن رَأَى مِنكُم مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بيَدِهِ، فإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسانِهِ، فإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وذلكَ أضْعَفُ الإيمانِ
“Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim no. 49, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)
Dan menasihati seseorang dari kesalahannya pada hakikatnya adalah usaha untuk menolong dan menyayanginya. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
انصر أخاك ظالما أو مظلوما . قالوا : يا رسول الله ، هذا ننصره مظلوما ، فكيف ننصره ظالما ؟ قال : تأخذ فوق يديه
“Tolonglah saudaramu yang zalim dan yang dizalimi.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami paham bahwa yang dizalimi mesti ditolong, namun bagaimana menolong orang yang zalim?” Beliau bersabda, “Tariklah tangannya (dari berbuat kezhaliman).” (HR. Bukhari no. 2444)
Ini dalil-dalil tentang wajibnya amar ma’ruf nahi mungkar secara umum. Dan para ulama ijma’ (bersepakat) tentang wajibnya amar ma’ruf nahi mungkar sebagaimana dinukil oleh Ibnu ‘Athiyyah, An-Nawawi, dan Al-Juwaini rahimahumullah.
Namun, tentu saja amar ma’ruf nahi mungkar harus dilakukan dengan ilmu, tidak boleh serampangan yang justru akan membuat kerusakan yang lebih besar. Umar bin Abdil Aziz rahimahullah mengatakan,
من تعبد بغير علم كان ما يفسد أكثر مما يصلح
“Orang yang beribadah tanpa didasari ilmu, ia akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.” (HR. Ad-Darimi, 1/102)
Kesimpulannya, tidak perlu mendengarkan perkataan orang-orang munafik yang berkata, “Allah tidak perlu dibela”. Karena maksud perkataan ini adalah ajakan untuk meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, yang jelas kebatilannya dan sangat jauh dari bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Teruslah bersemangat belajar ilmu agama, mengamalkannya, mendakwahkannya, dan membelanya, untuk meraih wajah Allah semata.
Semoga Allah Ta’ala memberi taufik.
Baca Juga:
***
Penulis: Yulian Purnama
Artikel asli: https://muslim.or.id/71889-allah-tidak-perlu-dibela.html