Hukum Seputar Bulan Madu
Kita memasuki zaman yang susah sekali membedakan hal yang dibolehkan dan tidak dibolehkan. Zaman yang kehidupan ini dipenuhi dengan fitnah syahwat dan fitnah syubhat. Di antara fenomena yang dihadapi oleh kaum muslimin masa kini adalah munculnya berbagai gaya hidup yang terdapat lebih banyak kemungkaran dan pelanggaran terhadap syariat dibandingkan memberikan kebaikan. Namun, sering kali dilakukan oleh masyarakat, bahkan oleh kaum muslimin sendiri.
Salah satu fenomena tersebut adalah kegiatan bulan madu. Bulan madu adalah kebiasaan yang dilakukan oleh pasangan yang baru menikah. Mereka pergi bersama, menetap di suatu tempat, bersantai, dan berada jauh dari gangguan, baik dari pihak keluarga, saudara atau teman terdekat sehingga terbangun ikatan antara pasangan suami istri.
Tidak ada dalil secara khusus yang memperbolehkan atau melarang bulan madu bagi umat Islam yang baru menikah sehingga hukum asalnya adalah mubah. Hukumnya mubah apabila tidak mengandung kemungkaran, seperti tempat tujuannya bukanlah negeri kafir atau negeri yang dipenuhi dengan kefasikan. Bulan madu bisa dihukumi haram, sunah, dan makruh tergantung bagaimana orang tersebut melakukannya, tempat tujuannya, dan perkara-perkara lainnya.
Penamaan bulan madu
Syekh Utsaimin Rahimahullah di dalam kitab Syarhul Mumti menyebutkan,
“Ada faedah yang mungkin diambil dari sabda nabi,
حتى تذوقي عسيلته ويذوق عسيلتك
“Hingga Engkau mencicipi sedikit madunya dan dia mencicipi sedikit madumu (yaitu berhubungan suami istri)” (HR. Muslim no. 1433).
Sebagian orang mengatakan hadis ini menjadi sebab penyebutan bulan madu. Apakah perkara ini dibenarkan?”
Syekh Utsaimin Rahimahullah melanjutkan, “Iya, hal ini dapat dibenarkan. Namun, manisnya madu ini bukan hanya sebulan jika hubungan kita dengan istri langgeng dan lancar. Oleh karena itu, manisnya madu (hubungan suami istri) ini akan bertahan abadi dan bukan hanya sebulan.”
Bisa kita simpulkan bahwa membatasi waktu berakrab ria dengan istri, baik itu sebulan, seminggu maupun beberapa hari tidaklah mengandung kebaikan. Pada hakikatnya, kita mengharapkan hubungan langgeng dan abadi sepanjang usia kehidupan kita saat menikah.
Bolehkah bulan madu ke negeri kafir?
Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah pernah ditanya, “Banyak orang yang ditimpa cobaan berupa melakukan perjalanan ke luar negeri Islam yang tidak memedulikan dosa. Tujuan mereka adalah bulan madu. Saya mohon agar syekh dengan baik hati memberikan nasihat kepada saudara semuslim dan mereka yang berwenang sehingga mereka dapat mengetahui masalah ini.”
Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah menjawab, “Segala puji bagi Allah. Selawat dan salam atas Rasulullah, keluarganya, sahabatnya, dan orang-orang yang mendapat petunjuknya. Tidak ada keraguan bahwa bepergian ke negeri-negeri kafir merupakan bahaya besar, tidak hanya pada saat pernikahan atau yang disebut bulan madu saja, tetapi juga di waktu-waktu lainnya. Orang yang beriman harus takut kepada Allah Ta’ala dan waspada terhadap apa-apa yang membahayakan dirinya. Bagi seorang muslim, berbahaya untuk agamanya, akhlaknya, dan agama istrinya ketika melakukan perjalanan ke negeri orang-orang musyrik. Hal ini disebabkan karena negeri tersebut menggembar-gemborkan kebebasan dan tidak menyangkal serta memedulikan kemungkaran.
Wajib dilakukan oleh semua pemuda kita dan semua saudara kita untuk meninggalkan perjalanan semacam ini. Abaikan pikiran untuk tinggal di negara mereka pada saat pernikahan ataupun karena sebab lainnya. Semoga Allah Ta’ala mencegah mereka dari kejahatan dorongan setan.
Bepergian ke negara-negara yang di dalamnya terdapat kekafiran, kesesatan, kebebasan, dan keburukan sangatlah berbahaya bagi pria dan wanita muslim. Betapa banyak orang saleh yang bepergian dan kembali dalam keadaan rusak. Betapa banyak orang yang awalnya muslim lalu kembali dari perjalanannya sebagai orang kafir. Jelaslah bahwa bahaya perjalanan ini sangat besar. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ الْمُشْرِكِينَ
“Aku berlepas diri dari setiap muslim yang tinggal di antara orang-orang musyrik” (HR. Abu Daud (7/303-‘Aunul Ma’bud), At-Tirmidzy (4 /132), disahihkan oleh Al-Albani dalam Irwa’ (5/30). Beliau menyebutkan berbagai jalan dan syawahid hadis tersebut).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
لا يقبَلُ اللهُ من مُشركٍ أشرَكَ بعدَ ما أسلمَ عملًا حتَّى يفارقَ المشركينَ إلى المسلِمينَ
“Allah tidak akan menerima amalan orang musyrik yang sudah masuk Islam hingga ia memisahkan diri dari orang-orang musyrik dan bergabung dengan orang-orang muslim” (HR. An-Nasa’i (5/82) dan Ibnu Majah (2536). Syekh Al-Albani berkata, “Hadis ini sanadnya hasan dan disahihkan oleh Hakim (4/600) dan disetujui oleh Adz-Dzahabi (Ash-Shahihhah no 369))”.
Syekh Sholeh Fauzan di dalam kitab Al-Mulakhas Al-Fikhi (2/581) menyebutkan, “Apa yang masyhur saat ini di kalangan anak muda kaya dan orang kaya adalah bepergian di awal pernikahan ke negara-negara kafir asing untuk menghabiskan bulan madu. Sesungguhnya itu adalah bulan racun karena termasuk bulan yang dihukumi haram. Kegiatan bulan madu itu banyak mendatangkan kemungkaran, seperti membuka cadar, mengenakan pakaian orang-orang kafir, menyaksikan perbuatan dan tradisi orang-orang kafir yang kurang adab, serta mengunjungi tempat-tempat hiburan. Pada akhirnya, wanita itu kembali dari perjalanannya dengan kondisi terpengaruh oleh akhlak keji tersebut dan meninggalkan moral masyarakat muslim. Oleh karena itu, perjalanan seperti ini dilarang keras. Hukumnya wajib mencegah pelakunya dari melakukan hal itu. Begitu juga, wali wanita harus mencegah (wanita tersebut) dari perjalanan itu.”
Bagaimana jika bulan madu dengan umrah bersama?
Di dalam Fatawa As-Syabakiyyah Al-Islamiyyah disebutkan,
“Dibolehkan bagi seseorang untuk menghabiskan bulan pertama pernikahannya di dekat rumah suci Allah (berumrah) sehingga ia menggabungkan kebaikan dunia dan akhirat. Selain itu, dia mendapatkan kelezatan agama dan dunia. Hal seperti ini juga menjadi peluang besar untuk mensyukuri nikmat Allah Ta’ala atas nikmat pernikahan yang dilimpahkan kepadanya. Nikmat pernikahan merupakan salah satu tanda kebesaran Allah dan merupakan keberkahan untuk hamba-hamba-Nya.
Namun, yang harus diperhatikan seorang suami, hendaknya ia tidak terganggu ibadahnya dari pemenuhan hak-hak istrinya. Terutama di masa-masa awal pernikahan mereka. Tak terkecuali hak istrinya atas dirinya di tempat tidur, mempergaulinya, dan bercengkrama dengannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
“Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak terhadapmu, matamu memiliki hak terhadapmu, dan istrimu memiliki hak terhadapmu” (HR. Al-Bukhari no. 5199, Muslim no. 1159).
Istri pun juga tidak boleh terganggu karena ibadahnya dari melayani suaminya dengan tetap memperhatikan bahwa larangan ihram harus dihindari sebelum tahallul (diantaranya adalah berhubungan suami istri).”
Ada nasihat yang sangat indah dari Syekh Utsaimin Rahimahullah terkait hal ini. Beliau berkata di dalam Syarhul Mumti’, “Apa hukumnya orang yang mengatakan, ‘Saya dan istri pergi umrah (untuk bulan madu)?’
Kami berpendapat bahwa ini mengandung hal baik dan tidak baik. Sepertinya asal-usul bulan madu diambil dari non-muslim. Kami tidak mengetahui hal ini pada zaman para ulama sebelumnya dan pada zaman para pendahulu. Para ulama pun tidak membicarakannya. Dengan demikian, hal ini (bisa jadi) diambil dari non-muslim. Ini sudut pandang dari satu sisi.
Sudut pandang dari sisi lain, saya khawatir jika dalam jangka waktu yang lama manusia menjadikan pernikahan sebagai alasan untuk melaksanakan umrah. Jika demikian, lama kelamaan akan dikatakan, ‘sunah bagi setiap orang yang menikah untuk melakukan umrah!’ Sehingga kita telah membuat alasan yang tidak sesuai dengan syariat untuk beribadah. Hal ini merupakan masalah. Setelah berjalannya waktu yang cukup panjang, sering kali keadaan akan berubah dan manusia akan melupakan alasan awal dari melakukan suatu perbuatan.
Oleh karena itu, kami katakan, jadikan bulan madu itu di kamar Anda, di rumah Anda, dan jadikan manisnya madu ini untuk selamanya, bukan hanya sebulan. Aku memuji Allah Ta’ala atas nikmat kesehatan yang telah diberikan.”
Wallahu a’lam bisshawaab.
—
Penulis: Muhammad Idris, Lc.
Artikel asli: https://muslim.or.id/72714-hukum-seputar-bulan-madu.html