Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi dibawakan oleh Rumaysho kali ini. Di samping dibawakan kisah, semoga banyak pelajaran bisa digali di dalamnya. Allahumma yassir wa a’in.
Kisah Ashabul Kahfi adalah Tanda Kekuasaan Allah
Allah Ta’ala berfirman,
أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا
“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?” (QS. Al-Kahfi: 9)
Mereka adalah salah satu dari sekian ayat-ayat Allah yang luar biasa.
Al-Kahfi adalah gua di gunung. Nama gua tersebut adalah Hizam (Haizam). Sedangkan Ar-Raqiim adalah papan yang tertulis nama-nama Ashabul Kahfi dan kejadian yang mereka alami, ditulis setelah masa mereka. Versi lain, Ar-Raqiim adalah nama gunung yang terdapat gua. Ada yang berpendapat, itu adalah nama lembah yang terdapat padanya sebuah gua.
Nama anjing mereka adalah Humron.
Kisah Ashabul Kahfi itu setelah masanya Nabi Isa Al-Masih. Mereka itu Nashrani. Kaum mereka itu adalah orang-orang musyrik yang menyembah berhala.
Ashabul Kahfi itu di masa raja Diqyaanus. Ashabul Kahfi itu sendiri adalah pemuda-pemuda yang merupakan putra dari para raja (tokoh). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:563.
Para ulama juga berselisih pendapat mengenai letak gua ini. Ada yang berkata di negeri Aylah. Ada yang berpendapat di negeri Niinawa. Ada yang mengatakan di Balqa’. Ada juga yang berpendapat di negeri Ar-Ruum (Romawi). Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566.
Kisah Mereka Secara Global
Allah Ta’ala berfirman,
إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
“(Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.” (QS. Al-Kahfi: 10)
Allah Ta’ala memberitakan tentang para pemuda yang melarikan diri menyelamatkan agama mereka dari kaum mereka, agar tidak terfitnah, mereka menjauh dari kaumnya dan menuju sebuah gua di gunung bersembunyi dari kejaran kaumnya. Mereka mengatakan ketika memasuki gua seraya memohon kepada Allah rahmat dan kelembutan-Nya kepada mereka, “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu”, yaitu berikan kepada kami rahmat dari sisi-Mu, dengan mengasihani kami dan melindungi kami dari kaum kami. “Dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”, yaitu jadikan petunjuk sebagai hasil akhir bagi kami. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Husain bin Arthah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,
اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ
“ALLOHUMMA AHSIN ‘AAQIBATANAA FIL UMUURI KULLIHAA, WA AJIRNAA MIN KHIZYID DUNYAA WA ‘ADZAABIL AAKHIROH. (artinya: Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat).” (HR. Ahmad, 4:181. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth berkata bahwa periwayat hadits ini tsiqqah atau terpercaya kecuali Ayyub bin Maysaroh. Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim dan ia mensahihkannya, begitu pula Imam Adz-Dzahabi. Lihat Al-Mustadrak, 3:591. Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 10:181, menyatakan bahwa perawinya tsiqqah. Lihat catatan kaki Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:139).
Baca juga: Doa Agar Baik dalam Urusan
Ditidurkan dalam Gua Sekian Tahun Lamanya
Allah Ta’ala berfirman,
فَضَرَبْنَا عَلَىٰ آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا
“Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.” (QS. Al-Kahfi: 11)
Maksudnya, Allah jadikan telinga mereka tabir yang menghalangi mereka dari mendengar, yaitu, Kami tidurkan mereka dengan tidur yang sangat pulas yang tidak bisa dibangunkan oleh suara-suara, seperti yang terjadi pada orang yang sangat kantuk dan lelap dalam tidurnya, sekalipun diterikai di telinganya, ia tidak mendengar dan tidak terbangun. “beberapa tahun” artinya tahun-tahun yang berbilang, banyak, dan lama.
Baca juga: Mesti Fokus dan Mendengarkan dalam Belajar
Dibangunkan Setelah Tidur Sangat Panjang
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَىٰ لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا
“Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu).” (QS. Al-Kahfi: 12)
Kemudian Allah bangunkan mereka dari tidur seperti membangkitkan orang mati dari kubur mereka, agar diketahui dua golongan yang berselisih pendapat mengenai berapa lama mereka tertidur di dalam gua. Dengan perhitungan yang sangat teliti, yaitu lebih meliputi berapa lama mereka tinggal dalam gua, sehingga mereka akan mengetahui selang waktu yang Allah menjaga mereka di dalam gua tanpa makan dan minum, serta memberikan mereka rasa aman dari musuh, dengan begitu sempurnalah petunjuk mereka untuk bersyukur kepada Allah, dan hal itu menjadi tanda kekuasaan bagi mereka yang akan membuat mereka giat untuk beribadah kepada Allah.
Rincian Kisah Ashabul Kahfi
Allah Ta’ala berfirman,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 13)
Ayat ini merupakan permulaan rincian kisah dan keterangannya. “Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka” yakni mengakui keesaan Allah dan mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. “dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk”, maksudnya adalah dengan taufik (hidayah) dan tatsbit (pemantapan dan keteguhan).
Baca juga: Empat Tingkatan Hidayah Menurut Ibnul Qayyim
Hati Mereka Dikuatkan
Allah Ta’ala berfirman,
وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
“Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Rabb selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran“.” (QS. Al-Kahfi: 14)
Maksudnya adalah mereka dikuatkan dengan kesabaran, mereka meninggalkan kampung halaman mereka serta meninggalkan berbagai kenikmatan demi menyelamatkan agama mereka. Mereka berdiri di hadapan raja mereka dan menyatakan kebenaran dengan tegas di hadapannya ketika kabar mereka terdengar oleh raja dan mereka diminta hadir menghadap raja. Raja bertanya kepada mereka tentang agama dan keyakinan yang mereka Yakini, maka mereka menjawab dengan benar dan bahkan mengajak raja tersebut kepada Allah Ta’ala. Karena itulah dalam ayat disebutkan, “Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi.” Mereka tidak menyembah Rabb selain Allah. Sebab jika mereka berbuat demikian, berarti mereka telah berbuat kebatilan, kedustaan, dan kebohongan.
Pengingkaran pada Kesyirikan Kaumnya
Allah Ta’ala berfirman,
هَٰؤُلَاءِ قَوْمُنَا اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ آلِهَةً ۖ لَوْلَا يَأْتُونَ عَلَيْهِمْ بِسُلْطَانٍ بَيِّنٍ ۖ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
“Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (QS. Al-Kahfi: 15)
Hal ini adalah isyarat bahwa orang kafir itu tidak mampu mendatangkan bukti atas apa yang mereka lakukan, yaitu beribadah kepada selain Allah, berbuat syirik. Jadi, mereka itulah orang-orang yang zalim yang menzalimi hak Allah karena mereka berdusta dan berbohong terhadap Allah. Kalau memang Allah itu Mahatinggi, maka tidak pantas bagi selain Allah punya kedudukan tinggi yang sama.
Akhirnya Mereka Mengasingkan Diri Demi Menyelamatkan Agama Mereka
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذِ اعْتَزَلْتُمُوهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ إِلَّا اللَّهَ فَأْوُوا إِلَى الْكَهْفِ يَنْشُرْ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيُهَيِّئْ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ مِرْفَقًا
“Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu.” (QS. Al-Kahfi: 16)
Yakni, jika kamu semua menyelisihi mereka denagn agama kalian, karena mereka menyembah selain Allah, maka selisihi pula (berpisahlah, tinggalkanlah mereka) dengan badan kalian. “maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Rabbmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu”, yakni, Allah akan membentangkan rahmat-Nya kepada kalian yang menutupi kalian dari kaum kalian yang kafir. “dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam urusan kamu” yang sedang kalian hadapi. Pada saat itulah, mereka keluar menghindar dari kaum mereka menuju sebuah gua kemudian tinggal di dalamnya.
Perlindungan Allah Terhadap Para Pemuda di dalam Gua
Allah Ta’ala berfirman,
وَتَرَى الشَّمْسَ إِذَا طَلَعَتْ تَزَاوَرُ عَنْ كَهْفِهِمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَإِذَا غَرَبَتْ تَقْرِضُهُمْ ذَاتَ الشِّمَالِ وَهُمْ فِي فَجْوَةٍ مِنْهُ ۚ ذَٰلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ۗ مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِ ۖ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ وَلِيًّا مُرْشِدًا
“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al-Kahfi: 17)
Yakni, jika matahari meninggi di tempat terbitnya, maka ia condong dari gua (sinar matahari tidak mengenai mereka), yaitu dari pintu gua sebelah kanan. Jika matahari terbenam, maka ia melewati mereka di sebelah kiri, yakni tidak mendekati mereka tetapi melewati.
“Sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu”, kata fajwah artinya tempat yang luas dan lega dalam gua, sehingga cukup tersedia udara yang datang dari segala penjuru tanpa tersengat matahari.
“Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah“, yakni urusan mereka dan petunjuk Allah kepada mereka hingga ke gua tersebut dengan menjadikan mereka tetap hidup, serta apa yang Allah perbuat kepada mereka dari mulai matahari yang condong dan tidak mendekat sejak terbit hingga terbenam, semua itu merupakan tanda-tanda kebesaran Allah yang menunjukkan perhatian dan penjagaan Allah kepada mereka, serta petunjuk Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mereka berada dalam gua bertahun-tahun dan tetap seperti itu, mereka tidak makan, tidak minum, tidak ada asupan makanan yang masuk dalam waktu yang sangat lama, itulah yang menunjukkan tanda kebesaran dan kekuasaan Allah.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:565)
“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk”, yakni siapa yang ditunjukkan kepada kebenaran oleh Allah, maka ialah orang yang mendapat hidayah. Dalam hal ini terdapat pujian bagi para pemuda mukmin tersebut, yang telah berjihad di jalan Allah, kemudian menyerahkan diri mereka kepada-Nya, sehingga Allah bersikap lembut dan menolong mereka, menunjuki mereka untuk mencapai kemuliaan dan kekhususan dengan ayat-ayat yang luar biasa. Sesungguhnya setiap orang yang menempuh jalan orang-orang yang mendapatkan petunjuk, maka ia akan mendapatkan keberuntungan.
“Dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya”, yakni siapa yang disesatkan oleh Allah, maka pasti kamu tidak akan mendapatkan penolong baginya yang menjaganya dari kesesatan, atau memberi petunjuk kepada jalan kebenaran dan keberuntungan.
Catatan:
Hikmah masuknya matahari dalam gua pada beberapa keadaan adalah agar udara di dalam gua itu tetap baik. Demikian dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:565.
Perhatian dan Perawatan Allah terhadap Para Pemuda di Dalam Gua
Allah Ta’ala berfirman,
وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ ۚ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ ۖ وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيدِ ۚ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
“Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka.” (QS. Al-Kahfi: 18)
“Dan kamu mengira mereka itu” adalah pembicaraan untuk setiap orang, maksudnya, kamu mengira “mereka itu bangun” karena mata mereka terbuka.
Karena kalau tidur dalam keadaan mata mereka tertutup lama itu akan berdampak jelek. Demikian kata Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:565.
“Padahal mereka tidur” sangat lelap dan pulas dalam tidurnya hingga tidak ada suara yang bisa membangunkan mereka, “dan Kami bolak-balikkan mereka” yakni dalam tidur mereka “ke kanan dan ke kiri” agar tanah tidak merusak badan mereka, “sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di muka pintu gua” yakni di halaman gua atau pintu gua.
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa anjing tersebut tidak masuk dalam gua, hanya meletakkan kakinya di pintu gua. Inilah bentuk adab dari anjing tersebut. Para pemuda kahfi juga sangat memuliakan anjing tersebut.
Anjing itu tidak berada dalam gua sebab malaikat tidak mau masuk dalam rumah yang ada anjing di dalamnya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566.
Keberkahan pemuda mukmin ini melingkupi hingga anjing mereka, ia juga mengalami seperti yang mereka alami, yaitu tidur panjang dalam keadaan seperti itu.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Ini adalah manfaat dari menemani orang-orang baik. Lihatlah hingga anjing ini pun selalu diingat dan memiliki kedudukan tersendiri. Karena siapa saja yang mencintai suatu kaum, ia akan bahagia bersama mereka. Kalau pada anjing saja bisa seperti itu, maka pasti berlaku pula bagi siapa saja yang mengikuti orang yang berbuat baik yang pantas dimuliakan.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:566)
“Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka”, yakni jika kamu melihat mereka sekalipun begitu kuatnya kamu dalam melawan agar tidak lari, pasti kamu akan kalah dan lari dengan penuh ketakutan, yaitu hatimu dipenuhi rasa takut karena merkea para pemuda itu dilingkupi aura kewibawaan, sehingga tidak ada seorang pun yang melihat mereka kecuali akan ketakutan kemudian berpaling dan melarikan diri menjauh. Ini seperti yang dikatakan oleh Ibnu Katsir rahimahullah, “Agar tidak ada seorang pun yang mendekati atau menyentuh mereka hingga ketentuan itu sampai pada masanya, masa tidur mereka habis sesuai kehendak Allah Ta’ala, mengingat hal ini mengandung hikmah, hujjah yang kuat, dan rahmat yang luas.”
Pelajaran penting dari ayat “Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh ketakutan terhadap mereka”.
Ibnu Katsir rahimahullah lantas berkata,
ِأَنَّ الخَبَرَ لَيْسَ كَالمُعَايَنَة
“Berita itu tidak sama dengan melihat langsung.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:567)
Kebangkitan Mereka Setelah Tidur Panjang
Allah Ta’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ ۚ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ ۖ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ ۚ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنْظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
“Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 19)
Yakni, sebagaimana kami tidurkan mereka dengan tidur yang sangat panjang, maka kami bangunkan mereka denagn keadaan segar bugar tubuh mereka, sehat, begitu pula dengan rambut dan kulit mereka tidak ada yang berubah dari keadaan dan bentuk mereka. Hal ini sebagai pengingat akan kemahakuasaan Allah untuk menidurkan dan mematikan serta membangkitkan kembali.
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Mereka bangun setelah 309 tahun.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:567)
“Agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri” yakni, agar sebagian bertanya kepada yang lain dan mengetahui keadaan mereka serta apa yang diperbuat Allah terhadap mereka, sehingga mereka bisa mengambil pelajaran lalu berhujjah dengan itu untuk menunjukkan kekuasaan Allah Ta’ala, maka bertambah yakin dan bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan kepada mereka.
“Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)” yakni berapa lama kamu tidur di sini. “Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”, karena saat mereka masuk gua waktu itu di permulaan siang (pagi), dan Allah bangunkan mereka di akhir sore. Karena itulah mereka mengatakan sebagian hari.
“Berkata (yang lain lagi): “Rabb kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini)” yakni, Allah yang Maha Mengetahui urusan kalian. Sepertinya muncul keraguan pada mereka dalam hal lama tidaknya tertidur, kemudian dalam diri mereka ada bisikan (ilham) dari Allah, atau dengan indikasi-indikasi yang mereka saksikan dari keadaan mereka yang menunjukkan bahwa mereka tertidur panjang, dan berapa lamanya tidak diketahui, maka mereka serahkan kebenarannya kepada Allah. Mereka berkata, “Rabb kalian lebih mengetahui berapa lama kalian di sini.” Setelah itu mereka kembali kepada yang paling penting dalam urusan mereka, yaitu kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Mereka berkata, “Suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini” yakni ke kota tempat mereka keluar darinya, “dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik” yakni yang paling enak.
“Dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut” yakni dalam keluar dan membeli makanan serta saat kembali, maksudnya hendaknya merahasiakan dirinya sebisa mungkin, “dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun” yakni, jangan melakukan tanpa ia sadari, apa yang bisa membuka rahasia dan keberadaan kita.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ إِنْ يَظْهَرُوا عَلَيْكُمْ يَرْجُمُوكُمْ أَوْ يُعِيدُوكُمْ فِي مِلَّتِهِمْ وَلَنْ تُفْلِحُوا إِذًا أَبَدًا
“Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama lamanya”.” (QS. Al-Kahfi: 20). Jika kalian kembali kepada agama mereka, maka pasti kalian tidak akan beruntung selamanya.
Catatan:
Mereka menyangka bahwa mereka hanya tidur sehari atau sebagian hari atau lebih dari itu. Padahal mereka telah tidur lebih dari 300 tahun. Selama itu telah berganti pemerintahan dan negeri sudah berubah. Orang-orang yang dulu sudah tiada dan berganti. Mereka menjadi terasing karena keadaan mereka berbeda dengan penduduk saat mereka bangun dan mata uang dirham yang dibawa pun berbeda. Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:568.
Lamanya ashabul kahfi tertidur dalam gua disebutkan dalam ayat,
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلَاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
“Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).” (QS. Al-Kahfi: 25). Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Mengenai begitu lamanya pemuda ashabul kahfi tertidur dalam gua ada faedah yang besar.” (Al-Bidayah wa An-Nihayah, 2:571)
Terbongkarnya Rahasia Para Pemuda
Allah Ta’ala berfirman,
وَكَذَٰلِكَ أَعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أَنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ وَأَنَّ السَّاعَةَ لَا رَيْبَ فِيهَا إِذْ يَتَنَازَعُونَ بَيْنَهُمْ أَمْرَهُمْ ۖ فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِمْ بُنْيَانًا ۖ رَبُّهُمْ أَعْلَمُ بِهِمْ ۚ قَالَ الَّذِينَ غَلَبُوا عَلَىٰ أَمْرِهِمْ لَنَتَّخِذَنَّ عَلَيْهِمْ مَسْجِدًا
“Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka”. Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya”.” (QS. Al-Kahfi: 21)
“Demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka” yakni, sebagaimana Kami tidurkan mereka kemudian kami bangunkan dalam keadaan dan bentuk semula, begitu pula Kami perlihatkan kepada mereka manusia di waktu itu, “agar manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya” yakni, orang-orang yang Kami berikan kesempatan melihat mereka (ashabul kahfi) yang Kami bangunkan kembali keadaan mereka sebelumnya (tidak ada yang berubah), agar mereka mengetahui bahwa janji Allah dengan hari kebangkitan setelah kematian itu benar adanya, karena keadaan para pemuda dalam tidur panjang mereka dan keadaan mereka saat terjaga, keadaan mereka tidak ubahnya adalah keadaan orang yang mati kemudian dibangkitkan lagi.
“Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka” yakni, Kami pertemukan manusia di zaman itu dengan para pemuda Al-Kahfi, ketika mereka berselisih di antara mereka tentang urusan agama mereka, dan berbeda pendapat dalam hal kebangkitan, sebagian ada yang mengatakan, “Yang dibangkitkan hanyalah ruh, bukan jasad.” Sebagian lagi mengatakan, “Yang dibangkitkan adalah jasad dan ruh sekaligus. Maka Allah membangkitkan ashabul kahfi dari tidur mereka, sebagai bukti bahwa Allah membangkitkan orang-orang mati dengan jasad dan ruh mereka sekaligus.
“Orang-orang itu berkata” yakni, manusia setelah melihat ashabul kahfi, mereka berbicara kepada para pemuda itu dan mereka pun menceritakan keadaan mereka yang tertidur. Setelah menceritakan itu, para pemuda ashabul kahfi itu pun meninggal dunia.
“Dirikankah sebuah bangunan di atas gua mereka” yakni, di atas pintu gua, maksudnya tutuplah pintu gua itu dan biarkanlah mereka seperti keadaan semula.
“Rabb mereka lebih mengetahui tentang mereka” sebuah ungkapan dari orang-orang yang tadi berselisih pendapat, seakan-akan mereka ingat urusan mereka (para pemuda), kemudian saling menyampaikan tentang nasab dan hal ihwal mereka serta lamanya mereka tinggal di dalam gua. Ketika mereka tidak bisa mengetahui hakikat sebenarnya, mereka mengatakan, “Rabb mereka lebih mengetahui urusan mereka”. Atau kemungkinan ini merupakan pernyataan Allah untuk membantah orang-orang yang terlalu jauh dalam membicarakan urusan pemuda ini, dari mereka yang berselisih pendapat.
“Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya” yakni, mereka yang menang ketika berselisih pendapat itu, dan mereka adalah orang-orang kuat dan berpengaruh, kami akan mendirikan rumah ibadah, yakni kami akan shalat di sana untuk mendapatkan keberkahan dari para pemuda dan kedudukan mereka. Inilah syariat sebelum syariat Nabi Muhammad. Adapun pada syariat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
“Allah melaknat Yahudi dan Nashrani, mereka menjadikan kubur para nabi dan orang saleh dari mereka sebagai masjid.” (HR. Bukhari, no. 1390 dan Muslim, no. 529)
Di sini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan yang mereka lakukan. Oleh karena itu, tidak boleh membangun masjid di atas kuburan berdasarkan larangan yang sangat jelas yang ada dalam masalah ini.
Berapakah Jumlah Pemuda Penghuni Gua?
Allah Ta’ala berfirman,
سَيَقُولُونَ ثَلَاثَةٌ رَابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًا بِالْغَيْبِ ۖ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ قُلْ رَبِّي أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ مَا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ ۗ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَاءً ظَاهِرًا وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِمْ مِنْهُمْ أَحَدًا
“Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: “(jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjing nya”, sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: “(jumlah mereka) tujuh orang, yang ke delapan adalah anjingnya”. Katakanlah: “Rabbku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit”. Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka.” (QS. Al-Kahfi: 22)
Allah menyebutkan tiga pendapat mengenai berapakah jumlah para pemuda penghuni gua tersebut. Allah menyebutkan pendapat ketiga lalu mendiamkannya. Hal itu menunjukkan bahwa pendapat ketiga itu yang benar.
Pendapat pertama: tiga orang, yang keempat adalah anjingnya.
Pendapat kedua: lima orang, yang keenam adalah anjingnya.
Pendapat ketiga: tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.
Pendapat pertama dan kedua disebutkan selanjutnya “sebagai terkaan terhadap barang yang gaib” menunjukkan bahwa pendapat ini tidak berdasar pada ilmu. Kemudian Allah memberikan petunjuk bahwa mengetahui jumlah mereka tidak ada manfaatnya, sehingga dalam masalah ini hendaklah kita berkata, “Rabbku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit“, yakni tidak ada yang mengetahui jumlah para pemuda penghuni gua kecuali sedikit orang yang diberitahukan oleh Allah.
“Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja” yakni, jangan mendebat ahli kitab tentang ashabul kahfi kecuali perdebatan seperlunya yang tidak terlalu jauh dalam mempermasalahkannya, yaitu kisahkan saja kepada mereka apa yang Allah wahyukan kepadamu, cukup seperti itu, jangan kau tambah.
“Dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara mereka” yakni jangan bertanya kepada seorang pun dari mereka (ahli kitab) tentang kisah mereka, pertanyaan yang mengandung pengingkaran, hingga mengatakan sesuatu kemudian kamu bantah dan kamu palsukan apa yang ada padanya. Tidak pula pertanyaan orang yang minta petunjuk karena Allah telah memberikan petunjuk kepadamu dengan menurunkan wahyu kepadamu tentang kisah mereka dan apa yang berhubungan dengan jumlah serta urusan mereka. Hal ini sudah cukup bagi orang yang hendak mengetahui perihal para pemuda penghuni gua, serta mengambil pelajaran dan nasihat dari kisah mereka.
Pelajaran dari Kisah Ashabul Kahfi
Pertama: Pemuda lebih cepat menerima dakwah daripada yang lainnya.
Allah Ta’ala berfirman mengisahkan Ashabul Kahfi,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 13)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah menyebutkan bahwa mereka penghuni gua adalah para pemuda. Mereka adalah orang yang paling cepat menerima kebenaran, paling lurus dalam menempuh jalan, dibanding para sepuh yang telah banyak salah dan jauh terjerumus dalam agama yang batil. Oleh karena itu, kebanyakan yang menerima dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah para pemuda. Adapun para sepuh dari Quraisy, pada umumnya tetap dalam agama nenek moyang dan tidak mau masuk Islam kecuali sedikit. Demikianlah Allah memberitahukan kepada kita tentang ashabul kahfi, bahwa mereka itu adalah anak-anak muda.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:140)
Maka para dai harus memperbanyak cara dan pendekatan kepada para pemuda agar dakwah sampai kepada mereka. Para pemuda itu memiliki kekuatan, semangat, hati yang bening, dan memiliki sesuatu yang sangat diperlukan dalam dakwah. Para pemuda bisa dimotivasi dengan kisah-kisah, termasuk kisah agar para pemuda jauh dari maksiat seperti kisah Nabi Yusuf ‘alaihis salam.
Baca juga: Kisah Nabi Yusuf Ketika Digoda dan 14 Cobaan Berat Beliau
Kedua: Iman itu bertambah dan berkurang.
Dalilnya adalah,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ بِالْحَقِّ ۚ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambah pula untuk mereka petunjuk.” (QS. Al-Kahfi: 13)
Dalil lainnya yang menunjukkan iman itu bisa bertambah adalah:
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya.” (QS. Muhammad: 17)
وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَٰذِهِ إِيمَانًا ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: “Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?” Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” (QS. At-Taubah: 124)
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ ۗ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Fath: 4)
Iman itu bisa bertambah dengan ketaatan kepada Allah, beramal saleh, dan yang paling utama adalah beriman kepada Allah dan jihad fii sabilillah. Yang termasuk jihad di jalan Allah adalah berdakwah dengan ucapan, tulisan, dan berbagai sarana dakwah.
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، أيُّ الأعْمَالِ أَفْضَلُ ؟ قال : « الإِيْمَانُ بِاللَّهِ ، وَالجِهَادُ فِي سَبِيلِهِ »
“Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah dan jihad di jalan Allah.” (HR. Muslim, no. 84)
Baca juga:
- Iman itu Berupa Perkataan dan Perbuatan
- Amal dan Sahnya Iman (Syarhus Sunnah)
- Level Orang Beriman itu Berbeda-Beda
Ketiga: Hati yang beriman akan berkumpul dengan yang sama-sama beriman.
Termasuk kisah para pemuda penghuni gua seperti yang dijelaskan oleh ulama tafsir bahwa para pemuda itu adalah putra dan anak-anak pembesar kaumnya, mereka keluar suatu hari pada hari raya kaumnya. Kaum mereka punya acara pertemuan besar dalam setahun. Kaum tersebut bertemu di pusat kota, menyembah shonam (patung yang memiliki bentuk seperti makhluk) yang telah disiapkan, menyembelih qurban untuk patung-patung tersebut. Kaum tersebut dipimpin oleh seorang raja yang kafir yang bengis (yaitu Diqyanus) yang memerintahkan manusia untuk melakukan kesyirikan dan mengajak kaumnya bersama-sama melakukan itu.
Ketika para pemuda ini hendak bertemu dalam majelis mereka, para pemuda ini keluar bersama orang tua dan kaum mereka, kemudian para pemuda ini melihat perbuatan kaumnya dengan mata kepala mereka sendiri. Para pemuda ini mengetahui perbuatan kaumnya, mulai dari sujud dan menyembelih kepada shonam. Padahal hal ini adalah ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah Yang Menciptakan langit dan bumi.
Para pemuda ini berlepas diri dari kaumnya, berpisah, dan duduk jauh dari mereka. Yang pertama kali duduk dan menjauh adalah satu dari pemuda tersebut, ia duduk berteduh di bawah pohon, lalu datang pemuda lain, terus berdatangan, dan akhirnya mereka berkumpul. Yang menyatukan mereka di bawah pohon adalah hati mereka yang beriman kepada Allah.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Arwah itu adalah bala tentara yang berlimpah dan bermacam (masing-masing ada kesesuaian dalam hal kebaikan dan keburukan). Yang sudah saling kenal (cocok), maka akan menyatu. Yang tidak saling kenal (tidak cocok), pasti akan berpisah.” (HR. Bukhari, no. 3158 dan Muslim, no. 2638). Imam Nawawi rahimahullah mengatakan tentang hadits ini,
فَيَمِيل الْأَخْيَار إِلَى الْأَخْيَار ، وَالْأَشْرَار إِلَى الْأَشْرَار
“Orang baik akan cenderung berkumpul dengan orang baik. Orang jelek pun demikian akan berkumpul dengan orang jelek.” (Syarh Shahih Muslim, 16:185)
Masing-masing dari pemuda itu merahasiakan apa yang ada dalam hatinya, karena takut kepada yang lainnya, mereka tidak tahu bahwa mereka sama-sama beriman. Mereka kemudian saling mengungkapkan pendapat mereka. Mereka semua ternyata sama-sama sepakat untuk mengingkari perbuatan kaumnya. Mereka sama-sama meyakini bahwa Allah satu-satunya yang berhak disembah. Lalu mereka sama-sama beribadah kepada Allah di suatu tempat. Keadaan para pemuda ini pun diketahui oleh kaumnya dan dilaporkan kepada raja mereka. Para pemuda ini pun dipanggil oleh raja dan ditanya, lantas mereka mengungkapkan kebenaran yang mereka yakini di hadapan raja. Dalam ayat disebutkan,
وَرَبَطْنَا عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ إِذْ قَامُوا فَقَالُوا رَبُّنَا رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَنْ نَدْعُوَ مِنْ دُونِهِ إِلَٰهًا ۖ لَقَدْ قُلْنَا إِذًا شَطَطًا
“Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun berkata, “Rabb kami adalah Rabb seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Rabb selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran“.” (QS. Al-Kahfi: 14). Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:140-141.
Pelajaran yang dapat diambil adalah para dai harus menjalin hubungan yang baik dengan sesama dai, saling tolong menolong dalam kebaikan.
Keempat: Harus berani membela kebenaran dan mengungkapkannya.
Setelah pemuda dalam kisah ini saling kenal dan saling mengetahui rahasia masing-masing, dan menjadi jelas bahwa akidah mereka itu satu, tujuan mereka satu, dan dakwah mereka satu, maka mereka membangun tempat ibadah untuk beribadah kepada Allah. Mereka pun mengajak rajanya ketika berdialog untuk beribadah kepada Allah. Namun, dakwah para pemuda ini ditolak bahkan mendapatkan ancaman. Keterusterangan pemuda ini dalam menyatakan diri mereka beriman dan mendakwahkannya patut dicontoh.
Dari sini kita dapat ambil pelajaran, para dai harus berterusterang dalam menyampaikan kebenaran, mengumumkan dakwah mereka di hadapan para penguasa sombong dan zalim, agar mental mereka terhinakan, sebaliknya kekuatan kaum mukminin bertambah kuat, dan membuat mereka berani untuk berhadapan dengan orang-orang zalim dari para penguasa. Sikap para dai seperti yang kami sebutkan ini, jika mereka menyaksikan dengan mata kepala atau dengan indikasi bahwa keterusterangan mereka dalam menyampaikan kebenaran serta menghadapi para penguasa zalim dengan kebenaran dakwahnya, lebih baik daripada sikap diam di hadapan mereka atau daripada mereka memilih untuk mengambil keringanan (yaitu pura-pura). Sesungguhnya seorang mukmin melihat dengan cahaya Allah, dan seukuran iman dalam dirinya serta dalamnya iman tersebut dan keikhlasan kepada Rabbnya, maka demikianlah kekuatan cahaya seharusnya ia pilih. Sekalipun sikap itu akan menyebabkannya mati dibunuh secara syahid, karena dai itu adalah mujahid (pejuang). Jihad dalam dakwah ini adalah mempersembahkan jiwa raga di jalan Allah. Hal ini tidak termasuk melemparkan diri dalam kebinasaan, selama orang mukmin, dai, mengharapkan dari perbuatannya itu untuk merealisasikan maslahat syariyyah bagi dakwah dan kaum muslimin.
Kelima: Diperintahkan mengasingkan diri dan berhijrah demi menyelamatkan agamanya.
Namun, dianjurkan untuk tetap tinggal jika dipandang ada maslahat besar semisal untuk berdakwah.
Perintah ‘Uzlah (Mengasingkan Diri)
Banyak dalil-dalil yang menganjurkan untuk ‘uzlah (mengasingkan diri) demi menyelamatkan diri atau menghindari masyarakat yang banyak terjadi maksiat, kebid’ahan, dan pelanggaran agama. Di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُ الناسِ في الفِتَنِ رجلٌ آخِذٌ بِعِنانِ فَرَسِه أوْ قال بِرَسَنِ فَرَسِه خلفَ أَعْدَاءِ اللهِ يُخِيفُهُمْ و يُخِيفُونَهُ ، أوْ رجلٌ مُعْتَزِلٌ في بادِيَتِه ، يُؤَدِّي حقَّ اللهِ تَعالَى الذي عليهِ
“Sebaik-baik manusia ketika berhadapan dengan hal yang merusak (fitnah) adalah orang yang memegang tali kekang kudanya menghadapi musuh-musuh Allah. Ia menakuti-nakuti mereka, dan mereka pun menakut-nakutinya. Atau seseorang yang mengasingkan diri ke lereng-lereng gunung, demi menunaikan apa yang menjadi hak Allah.” (HR. Al-Hakim, 4: 446. Hadits ini disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 698).
Sebagaimana juga dalam hadits Abu Sa’id,
قَالَ رَجُلٌ أَىُّ النَّاسِ أَفْضَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « مُؤْمِنٌ يُجَاهِدُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فِى سَبِيلِ اللَّهِ ». قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « ثُمَّ رَجُلٌ مُعْتَزِلٌ فِى شِعْبٍ مِنَ الشِّعَابِ يَعْبُدُ رَبَّهُ وَيَدَعُ النَّاسَ مِنْ شَرِّهِ ».
“Seseorang bertanya kepada Nabi, ‘Siapakan manusia yang paling afdal wahai Rasulullah?’ Nabi menjawab, ‘Orang yang berjihad dengan jiwanya dan hartanya di jalan Allah’. Lelaki tadi bertanya lagi, ‘Lalu siapa?’ Nabi menjawab, ‘Lalu orang yang mengasingkan diri di lembah-lembah demi untuk menyembah Rabb-nya dan menjauhkan diri dari kebobrokan masyarakat.’” (HR. Muslim, no. 1888).
Bahkan andai satu-satunya jalan supaya selamat dari kerusakan adalah dengan mengasingkan diri ke lembah-lembah dan puncak-puncak gunung, maka itu lebih baik daripada agama kita terancam hancur. Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ ، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الْفِتَنِ
“Hampir-hampir harta seseorang yang paling baik adalah kambing yang ia pelihara di puncak gunung dan lembah, karena ia lari mengasingkan diri demi menyelamatkan agamanya dari kerusakan.” (HR. Bukhari, no. 19)
Perintah untuk Tetap Bergaul dengan Masyarakat
Sebagian dalil yang lain menganjurkan kita untuk bergaul di tengah masyarakat walaupun bobrok keadaannya, dalam rangka berdakwah dan amar makruf nahi munkar di dalamnya. Di antaranya firman Allah Ta’ala,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah: 2).
Juga firman Allah Ta’ala,
وَالْعَصْرِ ﴿١﴾ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ ﴿٢﴾ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ﴿٣﴾
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الَّذِى يُخَالِطُ النَّاسَ وَيَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الْمُؤْمِنِ الَّذِى لاَ يُخَالِطُ النَّاسَ وَلاَ يَصْبِرُ عَلَى أَذَاهُمْ
“Seorang mukmin yang bergaul di tengah masyarakat dan bersabar terhadap gangguan mereka, itu lebih baik dari pada seorang mukmin yang tidak bergaul di tengah masyarakat dan tidak bersabar terhadap gangguan mereka.” (HR. Tirmidzi, no. 2507. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Artikel asli: https://rumaysho.com/31840-kisah-ashabul-kahfi-dan-pelajaran-penting-di-dalamnya.html