Beranda | Artikel
Biografi Ringkas Syekh Islam Ibnu Taimiyah (Bag. 1)
2 hari lalu

Nama

Abu Al-Abbas Ahmad bin Syekh Imam Shihabuddin Abi Al-Muhassin Abdulhalim bin Syekh Imam Majduddin Abi Al-Barakat Abdul Salam bin Abi Muhammad Abdullah bin Abi Al-Qasim Al-Khadr bin Muhammad bin Taimiyyah bin Al-Khadr bin Ali bin Abdullah An-Namiri.[1]

Julukan

Beliau dikenal dengan julukan “Syekh Islam” dan “Ibn Taimiyyah,” dan sering kali kedua julukan tersebut digabungkan menjadi “Syekh Islam Ibn Taimiyyah.”

Kunyah

Beliau dikenal dengan kunyah “Abu Al-Abbas,” meskipun beliau tidak menikah. Hal ini berdasarkan sunah Nabi yang menganjurkan bagi setiap muslim untuk menggunakan kunyah, meskipun tanpa memiliki anak atau masih kecil. Sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radhiyallahu ‘anha, beliau bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ya Rasulullah, mengapa semua istri-istrimu memiliki kunyah, kecuali aku?” Nabi menjawab, “Gunakanlah kunyah dengan menyebut anakmu, Abdullah (yaitu, anak Az-Zubair).”[2] Dan dalam hadis lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang anak yang disebutkan “Abu Umair,” “Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan oleh nughair (burung peliharaan kecilnya)?”[3]

Kelahiran dan masa kecil

Imam Ibn Taimiyyah lahir pada hari Senin, 10 Rabiulawal tahun 661 H di Harran.[4] Beliau lahir dalam keluarga yang terkenal dengan ilmu dan ketakwaan. Keluarga beliau memiliki tradisi panjang dalam ilmu pengetahuan dan banyak di antara mereka yang menjadi imam di masjid-masjid besar. Ayahnya, Imam Abdulhalim, dan kakeknya, Imam Majduddin, adalah ulama terkenal yang mengajarkan akidah dan fikih menurut mazhab Hanbali. Imam Ibn Taimiyyah tumbuh dalam keluarga yang sangat menghargai ilmu dan menjadi tempat bagi anak-anaknya untuk berkembang dalam berbagai bidang ilmu, termasuk ilmu syariat, fikih, hadis, dan bahasa Arab.

Imam Ibn Taimiyyah tumbuh di lingkungan yang sangat mendukung pengembangan ilmu, yang memberikan pengaruh besar dalam dirinya. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan kecerdasan dan bakat luar biasa dalam ilmu pengetahuan. Beliau menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada usia muda, lalu melanjutkan untuk menghafal hadis, mempelajari fikih, dan bahasa Arab. Beliau rajin menghadiri majelis-majelis ilmiah, berdiskusi, memberi fatwa, dan mengajarkan orang lain, meskipun usianya masih muda.

Lingkungan yang penuh dengan ilmu dan kebajikan sangat memengaruhi perkembangan kepribadian dan kecerdasannya. Imam Ibn Taimiyyah dibesarkan dengan semangat kuat untuk mencari ilmu dan membela ajaran Islam, terutama dalam menghadapi permasalahan-permasalahan fikih dan akidah. Beliau belajar dengan sangat tekun dan berdedikasi, yang tercermin dalam karya-karya dan fatwa-fatwanya yang mempertahankan kemurnian ajaran Islam. Semangatnya untuk terus menggali ilmu sejak usia muda menjadikannya seorang imam besar yang dihormati hingga hari ini.[5]

Guru-guru

Kepribadian luar biasa seperti Imam Ibn Taimiyyah menunjukkan bahwa ia memiliki banyak sumber pengetahuan cabang ilmu yang dipelajari. Hal ini menegaskan bahwa beliau menerima ilmu dari banyak guru, baik pria maupun wanita, yang beragam sesuai dengan luasnya bidang ilmu yang dipelajarinya. Diriwayatkan bahwa beliau belajar dari lebih dari 200 guru[6] pria dan empat guru wanita.  Di antara guru-gurunya adalah:

Pertama: Imam Ibn Abd Al-Da’im

Kedua: Ayahnya sendiri, Syihabuddin Abu al-Mahasin Abdulhalim bin Abd al-Salam Ibn Taimiyyah.

Ketiga: Imam Abdulrahman bin Muhammad bin Qudamah

Keempat: Syekh Ali Al-Shalihi

Kelima: Syekh Afifuddin Abdulrahman bin Faris Al-Baghdadi

Keenam: Syekh Al-Manja Al-Tiyukhi

Ketujuh: Syekh Muhammad bin Abdulqawi

Kedelapan: Syekh Syarafuddin Al-Maqdisi

Kesembilan: Syekh Al-Wasiti

Kesepuluh: Syekh Muhammad bin Ismail Al-Syaibani

Dari kalangan wanita, beliau juga belajar dari:

Pertama: Bibi beliau, Sitt Al-Dar.

Kedua: Syekhah Ummu Al-Khair Al-Dimasyqiyyah.

Ketiga: Syekhah Ummu Al-Arab.

Keempat: Syekhah Ummu Ahmad Al-Haraniyyah.

Kelima: Syekhah Ummu Muhammad Al-Maqdisiyyah.

Guru-guru tersebut memberikan pengaruh besar pada keilmuan, akhlak, dan kepemimpinannya, yang kemudian mengokohkan kecerdasan dan kebrilianan beliau.

Murid-murid 

Ibnu Taimiyyah memiliki banyak murid yang mendapatkan manfaat dari ilmunya. Murid-murid beliau tidak hanya belajar ilmu, tetapi juga mengambil metodologi pemikiran dan kebijaksanaan dari beliau. Banyak di antara mereka yang kemudian menjadi imam besar di bidangnya masing-masing. Di antara murid-muridnya adalah:

Pertama: Imam Ibn Qayyim Al-Jauziyyah

Kedua: Imam Al-Dzahabi

Ketiga: Imam Ibn Katsir

Keempat: Al-Hafidz Al-Bazzar

Kelima: Imam Ibn Abdulhadi

Keenam: Syekh Al-Wasiti

Ketujuh: Syekh Ibn Al-Wardi

Kedelapan: Syekh Ibn Rasyiq

Kesepuluh: Imam Ibn Muflih

Akidah

Ibnu Taimiyyah memegang teguh akidah salaf saleh, yaitu akidah ahli sunah waljamaah, yang berlandaskan pada ajaran Nabi Muhammad ﷺ dan generasi awal Islam, dalam tiga generasi terbaik yang disebutkan dalam sabda Nabi,

خير أمَّتي قرْني، ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم

Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian generasi setelah mereka, lalu generasi setelah mereka.[7]

Akidah ini bersumber pada Al-Qur’an dan Sunah yang sahih, serta penafsiran para sahabat, tabiin, dan tabi’ut tabi’in dari tiga abad pertama Islam yang penuh keutamaan.

Imam Ibn Taimiyyah tidak pernah mengaitkan akidahnya dengan individu atau mazhab tertentu, termasuk mazhab Hanbali yang menjadi panduannya dalam fikih. Sebaliknya, ia menyeru kepada komitmen pada akidah salaf tanpa fanatisme terhadap mazhab tertentu. Dalam salah satu pernyataannya, beliau menegaskan,

أما الاعتقاد، فإنَّه لا يُؤخذ عني ولا عمَّن هو أكبرُ مني؛ بل يؤخذ عن الله ورسوله – صلَّى الله عليه وسلَّم – وما أجمع عليه سلفُ الأمَّة، فما كان في القرآن وجَب اعتقادُه، وكذلك ما ثبَت في الأحاديث الصحيحة، مثل صحيحي البخاري ومسلم… وكان يَرِدُ عليَّ مِن مصر وغيرها مَن يسألني عن مسائلَ في الاعتقاد أو غيره، فأُجيبه بالكتاب والسُّنة، وما كان عليه سَلفُ الأمة

Adapun akidah, maka tidak boleh diambil dariku atau dari siapa pun yang lebih besar dariku. Akidah hanya diambil dari Allah dan Rasul-Nya ﷺ, serta dari apa yang disepakati oleh salaful-ummah ini. Apa yang terdapat dalam Al-Qur’an wajib diyakini, demikian pula apa yang sahih dari hadis-hadis, seperti yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim…  Dan datanglah kepadaku orang-orang dari Mesir dan tempat lainnya yang menanyakan kepadaku tentang berbagai persoalan, baik dalam hal akidah maupun yang lainnya. Maka, aku menjawab mereka dengan (berdasarkan) Al-Qur’an dan Sunah, serta apa yang telah menjadi pegangan salaf saleh.[8]

Mazhab

Ibnu Taimiyyah tumbuh, belajar, dan dididik berdasarkan prinsip-prinsip mazhab Hanbali. Ayah dan kakeknya, bahkan keluarganya secara keseluruhan, merupakan tokoh-tokoh besar mazhab Hanbali di Damaskus dan wilayah Syam. Namun, dia tidak membatasi studinya hanya pada mazhab Hanbali saja, melainkan mempelajari juga mazhab-mazhab fikih lainnya. Pada akhirnya, di masa akhir hidupnya, ia tidak terikat pada satu mazhab tertentu. Dia memberikan fatwa berdasarkan pendapat yang menurutnya paling kuat dalilnya. Meski demikian, dia tidak bersikap fanatik terhadap satu imam, guru, atau mazhab tertentu. Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa hal yang diperbolehkan bagi umat Islam untuk mengikuti pendapat salah satu ulama selama tidak diyakini bahwa pendapat tersebut salah.

Ketika muridnya, Al-Hafizh Al-Bazzar, memintanya menyusun kitab fikih yang mengumpulkan pilihan dan pendapatnya sebagai rujukan utama dalam fatwa, dia menjawab, “Masalah cabang (furu’) itu perkara yang ringan. Siapa saja yang mengikuti salah satu ulama yang berkompeten dalam hal ini, diperbolehkan baginya untuk mengamalkan pendapatnya, selama dia tidak yakin bahwa pendapat tersebut keliru.”[9]

Ibnu Taimiyyah juga menyebut bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah rahmat yang luas. Beliau berkata,

ولهذا كان بعضُ العلماء يقول: إجماعهم حُجَّة قاطعة، واختلافهم رحمة واسعة

Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan, ‘Ijma’ mereka adalah hujah yang pasti, dan perbedaan mereka adalah rahmat yang luas.’

Ibnu Taimiyyah juga menekankan pentingnya tidak memaksakan satu mazhab tertentu kepada umat. Dia mengutip sebagian ulama Syafi’i yang berkata, “Tidak seorang pun boleh memaksa orang lain untuk mengikuti pendapatnya dalam masalah-masalah ini, tetapi dia harus berbicara dengan pendapat yang ilmiah. Siapa pun yang memahami kebenaran dari salah satu pendapat, dia boleh mengikutinya. Dan siapa yang mengikuti kepada pendapat lainnya, tidak ada kecaman baginya.”[10]

Meskipun begitu, Ibnu Taimiyyah sangat menghormati para imam mazhab, membela mereka, dan melarang mencela mereka. Dia menegaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan mereka muncul dari hasil ijtihad masing-masing. Ibnu Taimiyyah menjelaskan hal ini dalam risalahnya yang terkenal Raf’ul Malam ‘an al-A’immatil A’lam.

[Bersambung]

***

Penulis: Gazzeta Raka Putra Setyawan


Artikel asli: https://muslim.or.id/102291-biografi-ringkas-syekhul-islam-ibnu-taimiyah-bag-1.html