Beranda | Artikel
Panduan Menikah dengan Pasangan yang Sekufu (Bag. 1)
4 hari lalu

Ketika hendak menikah, di antara pertimbangan dalam memilih pasangan adalah apakah orang tersebut sekufu ataukah tidak. Masing-masing calon pasangan, baik laki-laki maupun perempuan, akan melihat latar belakang calon pasangannya, baik dari sisi nasab (keturunan), suku, pekerjaan (profesi), akhlak (karakter), dan lain sebagainya. Dalam fikih nikah, kriteria ini disebut sebagai al-kafa’ah. Dalam serial tulisan ini, akan dibahas bagaimanakah petunjuk syariat dalam masalah ini.

Pengertian al-kafa’ah secara bahasa dan syariat

Pengertian “al-kafa’ah” (kesetaraan) secara bahasa, kata ini berasal dari akar kata dengan huruf pertama kaf, yang diikuti fa, dan hamzah, yang bermakna “kesetaraan” dan “persamaan”. Dalam bahasa Arab, kata “kufu’” berarti pasangan yang setara, sepadan, atau setara dalam status. Segala sesuatu yang setara dengan sesuatu yang lain disebut mukafi’. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 4)

Artinya, tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya dalam semua sifat-Nya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ

“Darah kaum muslimin itu setara.” (HR. Abu Dawud no. 2751, An-Nasa’i no. 4746, dan Ibnu Majah no. 2683, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Maksudnya, sama dan setara dalam penegakan hukum qishash dan diyat apabila ada yang dibunuh.

Dalam konteks pernikahan, al-kafa’ah merujuk pada kesetaraan dalam pernikahan, yang berarti seorang laki-laki harus setara dan sepadan dengan perempuan yang dinikahinya. Kesetaraan ini mencakup sifat-sifat tertentu seperti agama, keturunan, status kebebasan (apakah statusnya merdeka atau budak), profesi (pekerjaan), dan aspek-aspek lainnya yang disebutkan oleh para ahli fikih dalam pembahasan ini.

Dalam kitab Kasyaf Al-Qina’ dijelaskan bahwa ada lima sifat yang dianggap untuk melihat al-kafa’ah dari sisi syar’i:

Pertama: agama dan akhlak; sehingga seseorang yang merupakan pelaku dosa besar atau gemar bermaksiat (orang fajir atau orang fasik) tidak setara dengan seseorang yang saleh atau menjaga agamanya. Allah Ta’ala berfirman,

أَفَمَنْ كَانَ مُؤْمِنًا كَمَنْ كَانَ فَاسِقًا لا يَسْتَوُونَ

“Apakah orang yang beriman itu sama dengan orang yang fasik? Mereka tidaklah sama.” (QS. As-Sajdah: 18)

Kedua: nasab atau keturunan; orang Arab tidak setara dengan orang non-Arab (‘ajam). [1]

Ketiga: status kemerdekaannya; sehingga seorang budak (atau bekas budak) tidak setara dengan orang meredeka.

Keempat: pekerjaan; sehingga seseorang yang memiliki pekerjaan yang dianggap rendah oleh sebagian orang (dalam budaya Arab dulu), seperti tukang bekam, penenun, tukang sapu, atau pemungut sampah, tidaklah setara dengan seseorang yang memiliki pekerjaan tertentu, seperti pedagang.

Kelima: kecukupan harta (kondisi keuangan atau ekonomi); sesuai dengan apa yang wajib baginya berupa mahar dan nafkah. Orang fakir atau miskin tidak dianggap sekufu dengan orang kaya atau berkecukupan. [2]

Namun, sifat-sifat kesetaraan ini tidak disepakati secara mutlak oleh para ulama. Oleh karena itu, setiap ulama mazhab menyebutkan sifat-sifat al-kafa’ah berdasarkan hasil ijtihad mereka. Masalah ini akan dibahas secara lebih rinci di serial terahir tulisan ini, yang akan membahas manakah di antara kelima sifat di atas yang menentukan agar tercapai sekufu antara laki-laki dan wanita.

Tidak banyak definisi kafa’ah yang komprehensif, kecuali dari Al-Khatib Asy-Syarbini Asy-Syafi’i rahimahullah yang mendefinisikannya sebagai berikut,

الكفاءة شرعًا: أمر يوجب عدمه عارًا

Kafa’ah secara syar’i adalah suatu keadaan yang jika tidak terpenuhi, dapat menyebabkan rasa malu.” [3]

Al-kafa’ah yang dipertimbangkan

Para ulama menegaskan bahwa kafa’ah hanya dipertimbangkan dari sisi laki-laki terhadap wanita, bukan sebaliknya. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki pasangan yang setara dengan beliau, namun beliau menikahi perempuan dari berbagai suku Arab dan menikahi Shafiyah binti Huyay bin Akhtab, seorang perempuan Yahudi. Oleh karena itu, rasa gengsi tidak melekat pada laki-laki dari sisi perempuan. Apabila seorang laki-laki memiliki istri yang dianggap lebih rendah dari sisi pekerjaan, status ekonomi, atau nasab, itu tidak akan menjadi masalah yang besar; namun bukan sebaliknya. Selain itu, kehormatan seorang anak ditentukan oleh status kehormatan ayahnya, bukan ibunya. Oleh karena itu, kesetaraan (al-kafa’ah) tidak dianggap dari sisi ibu.

Syekh Abdullah bin Abdurrahman Alu Basam berkata, “Al-kafa’ah itu dipertimbangkan (dianggap) dari sisi laki-laki terhadap pihak wanita. Jika sifat-sifat al-kafa’ah tidak terdapat pada pihak wanita, maka tidak dianggap. Al-kafa’ah adalah (sifat yang berkaitan dengan) agama, nasab, merdeka atau budak, pekerjaan yang tidak dianggap rendah, dan kecukupan harta. Al-kafaa’ah tidak dipertimbangkan dari sisi ibu, karena seorang anak itu hanyalah menjadi mulia karena kemuliaan bapaknya, bukan karena ibunya. Oleh karena itu, al-kafa’ah itu tidak dipertimbangkan dari sisi wanita terhadap pihak laki-laki.” [4]

Al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah, namun syarat terjaganya akad nikah

Al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah [5], namun syarat terjaganya akad nikah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, termasuk di antaranya adalah Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan Imam Ahmad rahimahumullah. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وهو قول أكثر أهل العلم

“Ini adalah pendapat mayoritas ulama.” [6]

Dalil bahwa al-kafa’ah bukanlah syarat sah nikah adalah perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah bin Qais untuk menikah dengan Usamah bin Zaid, yang merupakan seorang bekas budak. Demikian pula, Abu Hudzaifah -dari Bani Abdi Manaf- menikahkan anak perempuan saudara laki-lakinya dengan Salim, yang merupakan bekas budak dari seorang wanita dari kaum Anshar.

Meskipun bukan syarat sah nikah, al-kafa’ah merupakan syarat terjaganya akad nikah. Maksudnya, jika wali wanita menganggap bahwa suami dari anak perempuannya itu tidak sekufu, maka boleh membatalkan (faskh) akad nikah. Karena tentu mereka akan malu jika memiliki menantu yang dinilai tidak sekufu. Al-Buhuti rahimahullah mengatakan,

وليست الكفاءة، وهي: دين، ومنصب، وهو النسب، والحرية شرطاً في صحته، فلو زوَّج الأبُ عفيفةً بفاجر، أو عربية بعجمي، أو حُرَّة بعبد فلمن لم يرضَ من المرأة أو الأولياء الفسخ

“Sekufu, yaitu kesetaraan dalam agama, nasab (kedudukan), merdeka atau budak, bukanlah syarat sah nikah. Andaikan seorang ayah menikahkan anaknya yang salehah dengan laki-laki fajir, atau menikahkan orang Arab dan orang ‘ajam, maka jika si wanita tidak rida, atau walinya tidak rida, boleh melakukan fasakh (pembatalan pernikahan).” [7]

Dalil dalam masalah ini hadis dari Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya, beliau berkata,

جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيهِ، لِيَرْفَعَ بِي خَسِيسَتَهُ، قَالَ: فَجَعَلَ الْأَمْرَ إِلَيْهَا

“Seorang gadis datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Sesungguhnya ayahku menikahkan aku dengan anak saudaranya untuk mengangkat kehinaan (status sosial) keluarganya melalui diriku.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keputusan kepada gadis itu (apakah ia ingin melanjutkan atau membatalkan pernikahan tersebut).” (HR. An-Nasa’i no. 3269 dan Ibnu Majah no. 1874)

Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

لَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يَنْكِحَ مُوَلِّيَتَهُ رَافِضِيًّا، وَلَا يَتْرُكُ الصَّلَاةَ، وَمَتَى زَوَّجُوهُ عَلَى أَنَّهُ صَلَّى فَصَلَّى الْخَمْسَ، ثُمَّ ظَهَرَ أَنَّهُ رَافِضِيٌّ لَا يُصَلِّي، أَوْ عَادَ إلَى الرَّفْضِ وَتَرَكَ الصَّلَاةَ، فَإِنَّهُمْ يَفْسَخُونَ النِّكَاحَ.

“Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menikahkan perempuan di bawah perwaliannya dengan seorang Rafidhi (pengikut Syiah Rafidhah) atau orang yang meninggalkan salat. Jika mereka menikahkannya dengan keyakinan bahwa dia menunaikan salat lima waktu, lalu ternyata diketahui bahwa ia adalah Rafidhi yang tidak salat, atau dia kembali pada keyakinan Rafidhah dan meninggalkan salat, maka pernikahan tersebut (harus) dibatalkan.” [8]

Dalam tulisan (serial) selanjutkan, kami akan membahas dalil-dalil yang disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah tentang al-kafa’ah. Hal ini sebagai penjelasan, manakah di antara sifat-sifat yang dianjurkan untuk lebih dipertimbangkan dalam masalah al-kafa’ah?

[Bersambung]

***

@5 Jumadil akhir 1446/ 7 Desember 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Syekhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

فإن الذي عليه أهل السنة والجماعة: اعتقاد أن جنس العرب أفضل من جنس العجم

“Yang menjadi manhaj ahlus sunah adalah keyakinan bahwa secara jenis, bangsa Arab lebih afdal dibandingkan non-Arab.” (Al-Iqtidha’, 1: 419)

Beliau kemudian melanjutkan,

وأن قريشا أفضل العرب، وأن بني هاشم: أفضل قريش، وأن رسول الله صلى الله عليه وسلم أفضل بني هاشم. فهو: أفضل الخلق نفسا، وأفضلهم نسبا.

“Sesungguhnya kaum Quraisy adalah bangsa Arab yang paling afdal; sedangkan Bani Hasyim adalah kaum Quraisy yang paling afdal; dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Bani Hasyim yang paling afdal. Beliau sendiri adalah makhluk yang paling mulia dan juga memiliki nasab yang paling mulia.” (Al-Iqtidha’, 1: 420)

Namun keistimewaan ini tidaklah menjadikan mereka lebih tinggi kedudukannya dibandingkan yang lain, atau memiliki hak-hak istimewa yang tidak dimiliki bangsa lainnya, atau tidak menjadikan mereka lepas dari kewajiban-kewajiban syariat. Karena dalam semua ini, antara mereka dan yang lainnya itu sama. Semua manusia di sisi Alah adalah sama, adapun yang membedakan adalah tingkat ketakwaannya. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian.” (QS. Al-Hujurat: 13)

[2] Diringkas dari Kasyaf Al-Qina’, 5: 68-69.

[3] Mughni Al-Muhtaj, 3: 165; Ahkamuz Zawaj, hal. 196.

[4] Taudhihul Ahkaam, 5: 312-313.

[5] Kecuali dalam aspek agama, karena seorang wanita muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki kafir, atau laki-laki muslim tidak boleh menikah dengan wanita musyrikah (selain ahli kitab). Ketentuan ini merupakan syarat sah pernikahan.

[6] Dinukil dari Taudhihul Ahkaam, 5: 313.

[7] Ar-Raudhul Murbi’, hal. 384.

[8] Al-Fatawa Al-Kubra, 3: 141.


Artikel asli: https://muslim.or.id/102295-panduan-menikah-dengan-pasangan-yang-sekufu-bag-1.html