Beranda | Artikel
Kapan Istri Boleh Menggugat Cerai Suami?
Sabtu, 7 September 2024

Islam adalah agama yang sempurna. Semua ranah kehidupan yang kita miliki pastilah ada ketentuan dan aturannya. Terlebih lagi, apabila hal tersebut berhubungan dengan ibadah seorang muslim.

Dalam Islam, pernikahan bukan hanya sekedar ijab dan kabul yang menghalalkan hubungan suami isteri. Lebih jauh dari itu, pernikahan adalah ibadah yang dijalani seseorang dengan pasangannya. Nikah adalah perintah Allah dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena pernikahan adalah ibadah, maka dalam setiap langkah, keputusan, dan tindak tanduk yang berhubungan dengannya, haruslah taat dan patuh pada aturan dan ketentuan yang telah diajarkan oleh syariat Islam.

Allah Ta’ala berfirman memerintahkan hamba-Nya untuk menikah,

وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan menjadikan mereka mampu dengan karunia-Nya…”  (QS. An-Nur: 32)

Dalam pernikahan, perseteruan dan ketidakcocokan antara kedua pasangan sangatlah mungkin terjadi. Islam memberikan rambu-rambu dan aturan yang jelas tentang bagaimana menyelesaikan perseteruan tersebut. Baik itu dengan islah (perdamaian melalui pihak ketiga), menasihati, saling memaafkan, dan opsi terakhir adalah perceraian.

Saat sebuah hubungan pernikahan mengharuskan adanya perceraian, Islam menjadikan suami sebagai pemegang hak untuk melakukan dan mengambil keputusannya. Tidaklah kata “Aku talak kamu.”, “Aku cerai dirimu.” muncul, kecuali dari pihak suami. Hanya saja, Islam mengizinkan beberapa keadaan di mana seorang istri dapat mengajukan gugatan cerainya kepada hakim/pihak berwenang agar terjadi perpisahan dan perceraian yang dibutuhkannya. Inilah yang di dalam syariat Islam disebut dengan khulu’/ gugat cerai

Pengertian khulu’ dan dalil diperbolehkannya

Secara bahasa, khulu’ berarti melepas. Sedangkan menurut istilah, khulu’ berarti perpisahan suami istri dengan keridaan keduanya dan dengan adanya timbal balik (kompensasi) yang diserahkan pihak istri kepada suami. Sehingga maksud khulu’ adalah gugatan cerai dari istri kepada suami dengan adanya kompensasi.

Gugat cerai diperbolehkan berdasarkan firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229)

Di dalam Tafsir As-Sa’di, dijelaskan bahwa maksud bayaran di ayat ini adalah kompensasi yang diberikan agar terjadi perpisahan. Inilah dalil yang menunjukkan bolehnya khulu’ jika hikmah yang dimaksud dalam ayat tidak mampu dijalankan.

Kapan istri boleh menggugat cerai suaminya?

Pada dasarnya, seorang wanita dilarang meminta cerai tanpa alasan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

أيُّمَا امرأةٍ سألت زوجَها طلاقًا في غيرِ ما بأسٍ فحرامٌ عليها رائحةُ الجنة

“Wanita mana saja yang meminta talak/cerai kepada suaminya tanpa sebab yang penting, haram baginya wangi surga.” (HR. Abu Dawud no. 2226)

Hanya saja, ada beberapa kondisi yang dikecualikan, yang membolehkan seorang istri untuk menggugat cerai suaminya. Berikut adalah beberapa sebab dan kondisi yang disebutkan dalam jawaban Syekh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin tatkala ada yang bertanya kepadanya perihal gugat cerai ini.

Pertama: Ketika seorang wanita tidak menyukai akhlak suaminya, seperti sikapnya yang kasar, lisannya yang tajam, mudah tersinggung, sering marah, mengkritik tindakan sekecil apa pun yang dilakukan istrinya dan mencelanya. Pada kondisi-kondisi tersebut, maka dia berhak untuk meminta khulu’. Karena di antara hikmah menikah adalah mencari ketenangan dan kasih sayang, sedangkan perbuatan-perbuatan yang disebutkan di atas, maka akan menghilangkan hikmah-hikmah pernikahan tersebut. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةًۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Kedua: Jika tidak menyukai penampilannya, seperti adanya kecacatan, atau kekurangan pada panca indranya, maka dia berhak meminta khulu’. Hal ini sebagaimana yang pernah terjadi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini,

جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بنِ قَيْسِ بنِ شَمَّاسٍ إلى النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَتْ: يا رَسولَ اللَّهِ، ما أنْقِمُ علَى ثَابِتٍ في دِينٍ ولَا خُلُقٍ، إلَّا أنِّي أخَافُ الكُفْرَ، فَقالَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: فَتَرُدِّينَ عليه حَدِيقَتَهُ؟ فَقالَتْ: نَعَمْ، فَرَدَّتْ عليه، وأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا.

“Istri Tsabit bin Qais bin Syammas datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit dalam hal agama, tidak pula dalam hal akhlak. Hanya saja aku mengkhawatirkan kekufuran.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Engkau bisa mengembalikan kebunnya kepadanya?’ Istri Tsabit menjawab, ‘Iya.’ Dia pun mengembalikannya kepada Tsabit dan Nabi memerintahkan Tsabit untuk menceraikannya.” (HR. Bukhari no. 5276)

Ketiga: Istri khawatir tidak bisa menunaikan kewajiban terhadap suami, sebagaimana firman Allah Ta’ala,

إِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS. Al-Baqarah: 229)

Keempat: Jika suami sangat kurang dan tidak perhatian dengan agamanya, baik itu dengan meninggalkan salat, lalai dengan salat jemaah, tidak berpuasa di bulan Ramadan tanpa alasan, atau melakukan hal-hal yang Allah haramkan seperti zina, mabuk-mabukan, suka mendengar musik atau bahkan bermain dengan alat musik, atau hal-hal haram lainnya, maka sang istri berhak meminta khulu‘. Karena agama suami merupakan dasar dan tolok ukur kesuksesan pernikahan.

Kelima: Jika suami tidak memberikan hak istri berupa nafkah, sandang, atau keperluan-keperluan yang diperlukannya, padahal seharusnya ia mampu memenuhinya dan memberikannya. Dalam kondisi semacam ini, seorang istri berhak meminta khulu’.

Keenam:  Jika suami tidak memberikan hak istri dalam hal kasih sayang dan pergaulan yang baik dan lumrah layaknya seorang suami dan istri pada umumnya. Entah itu karena suaminya mengidap impotensi, atau kurang dalam memberikan porsi kasih sayang dan pergaulannya, atau karena suami memiliki kecenderungan kepada seseorang selain dirinya, atau juga apabila seseorang tidak adil dalam bermalam (jika seorang suami memiliki istri lebih dari satu), maka dia berhak meminta khulu’.

Dalam kondisi-kondisi yang kita sebutkan di atas, seorang istri diperbolehkan untuk menggugat cerai suaminya dengan syarat membayar sejumlah kompensasi tertentu. Dan di zaman ini, permasalahan gugat cerai sudah ada prosedurnya di Pengadilan Agama atau Kantor Urusan Agama serta besaran kompensasinya pun akan ditentukan oleh pengadilan. Namun, jika suami masih mencintai istrinya dan masih menginginkan untuk mempertahankan pernikahannya, tentu inilah yang lebih baik. Wallahu a’lam

Beberapa konsekuensi akibat khulu

Pertama: Istri yang menggugat cerai suaminya, maka tidak berhak mendapat tunjangan atau nafkah dari suaminya untuk dirinya sendiri. Adapun nafkah untuk anak-anaknya dari suaminya tersebut atau nafkah bagi janinnya apabila ia hamil, maka masih menjadi kewajiban suami. Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

وَإِن كُنَّ أُو۟لَٰتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُوا۟ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ وَأْتَمِرُوا۟ بَيْنَكُم بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُۥٓ أُخْرَىٰ

Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak, termasuk di dalamnya adalah istri yang meminta cerai) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. (QS. At-Talaq: 6)

Kedua: Talak hasil dari gugat cerai adalah talak ba’in (yang tidak dapat dibatalkan) atau diajukan banding dengan cara apa pun. Jika suaminya telah benar-benar menceraikannya, maka terjadilah ba’inunah kubro (perpisahan besar). Seorang istri tidak boleh kembali kepada suaminya, kecuali setelah menikah dengan orang lain dengan disertai adanya hubungan suami antara keduanya, kemudian ia berpisah dengan suami keduanya tersebut baik karena kematian atau perceraian. Setelah selesai masa iddah-nya, barulah dirinya diperbolehkan untuk kembali kepada suami pertamanya dan harus dengan akad nikah yang baru.

Ketiga: Istri wajib memberikan kompensasi dalam proses khulu’/gugat cerainya, tidak harus menyerahkan atau mengembalikan seluruh mahar, melainkan sesuai dengan apa yang telah disepakati antara keduanya atau berdasarkan keputusan Pengadilan Agama atau Kantor Urusan Agama yang berwenang mengambil keputusan

Keempat: Wanita yang telah diceraikan dengan cara khulu’/gugat cerai tidak mendapat warisan dari orang yang menceraikannya, karena alasan pewarisannya telah hilang seperti halnya dalam talak ba’in. Ibnu Abidin menyebutkan hal ini dan berkata,

لَا تَرِثُ الْمُخْتَلِعَةُ وَالْمُطَلَّقَةُ ثَلَاثًا

“Wanita yang diceraikan dengan gugat cerai dan wanita yang sudah diceraikan tiga kali tidaklah mendapat warisan.”  (Hasyiyat Ibnu Abidin/Radd Al-Muhtar, 3:388)

Itulah sedikit pembahasan kita mengenai gugat cerai dalam kaca mata Islam. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga keluarga kita dan keluarga kaum muslimin lainnya dari hal-hal yang dapat merusak hubungan pernikahan, menjaga setiap keluarga di dalam keharmonisan dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Amin ya Rabbal ‘alamin.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.


Artikel asli: https://muslim.or.id/97460-kapan-istri-boleh-menggugat-cerai-suami.html