Beranda | Artikel
Hadis: Disyariatkannya Nazhor ketika Hendak Menikah (Bag. 2)
1 hari lalu

Kandungan Hadis (Lanjutan)

Kandungan kelima: kapan waktu pelaksanaan nazhor?

Hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah nazhor itu berbeda-beda dalam menunjukkan kapan waktu pelaksanaan nazhor, apakah sebelum atau sesudah khitbah (lamaran). Dalam sebagian riwayat hadis, nazhor tersebut dilakukan sebelum khitbah. Sebagaimana dalam hadis Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu,

إِذَا أَلْقَى اللَّهُ فِي قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلَا بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا

“Jika Allah telah memantapkan pada hati seseorang untuk meminang (seorang wanita), maka tidak apa-apa jika dia melihatnya.” (HR. Ibnu Majah no. 1864. Dinilai sahih oleh Al-Albani.)

Sedangkan dalam riwayat hadis yang lain, nazhor ini dilakukan setelah khitbah, sebagaimana dalam hadis dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu,

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ

“Apabila salah seorang di antara kalian (telah) meminang seorang wanita, jika ia mampu untuk melihat sesuatu yang mendorongannya untuk menikahinya, hendaknya ia melakukannya.”

Karena terdapat beberapa riwayat dalam masalah ini, para ulama pun berbeda pendapat tentang kapan nazhor dilakukan, apakah sebelum atau sesudah khitbah. Wallahu Ta’ala a’lam, yang lebih mendekati adalah mengamalkan semua hadis-hadis terbut, sesuai dengan kondisi masing-masing orang. Jika memungkinkan, maka seorang laki-laki menazhor seorang wanita sebelum memutuskan untuk khitbah. Jika tidak memungkinkan, maka nazhor tersebut dilakukan setelah khitbah.

Kandungan keenam: tatacara nazhor

Adapun tatacara nazhor adalah seorang laki-laki pergi ke rumah si wanita, dan bertemu dengannya dibersamai oleh ayah, saudara kandung laki-laki, atau mahram si wanita yang lain. Kemudian si laki-laki melihat yang bisa memantapkan hati untuk menikahi sang wanita, sebagaimana si wanita juga melihat laki-laki tersebut. Adapun yang dilakukan oleh beberapa orang jaman sekarang, yaitu si laki-laki secara sembunyi-sembunyi melihat si wanita, maka hal itu tidak bisa mewujudkan tujuan nazhor. Meskipun dengan cara tersebut memang ada maslahat, namun sekali lagi, tidak bisa mewujudkan tujuan nazhor dengan baik. Karena dengan cara seperti ini, si wanita tidak bisa melihat laki-laki tersebut.

Lalu, bagaimana dengan nazhor dengan perantaraan foto? Yang lebih hati-hati adalah perbuatan tersebut terlarang, dengan beberapa alasan berikut ini:

Pertama, pendapat yang membolehkan hal ini dibangun di atas dasar bolehnya foto (tashwir).

Kedua, foto dinilai tidak bisa menggantikan nazhor secara langsung.

Ketiga, foto terkadang bisa diedit atau dimanipulasi, sehingga tampak menonjolkan kecantikan si wanita, namun dengan menyembunyikan aibnya, sehingga hal itu bisa menipu si laki-laki.

Keempat, hal itu bisa disalahgunakan atau untuk main-main, si laki-laki bermudah-mudahan melihat foto si wanita, padahal dia hanya main-main saja.

Apakah boleh berbicara (bercakap-cakap) ketika nazhor? Jika berbicara tersebut dilakukan saat nazhor, maka tidak masalah. Hal ini agar si laki-laki mengetahui suara si wanita, dan juga bagaimana karakter ketika dia berbicara, juga untuk mengetahui apakah ada kecacatan dalam berbicara ataukah tidak. Adapun lebih dari itu, misalnya dengan dilanjutkan ngobrol melalui telepon, maka hendaknya dijauhi. Apalagi jika tanpa sepengetahuan keluarga pihak wanita, seperti ayah atau ibunya. Karena perbuatan ini hanya akan membangkitkan syahwat dan menyeret kepada perkara-perkara yang dilarang.

Baca juga: Menikah adalah Sunah Nabi

Kandungan ketujuh: ketentuan-ketentuan dalam nazhor

Nazhor memiliki beberapa ketentuan yang hendaknya diperhatikan, di antaranya:

Pertama, laki-laki tersebut memang betul-betul memiliki tekad dan keinginan untuk menikah. Hal ini karena nazhor diperbolehkan hanya bagi laki-laki yang memang sudah memiliki tekad atau rencana matang untuk menikah. Jika tidak, maka pada asalnya diharamkan.

Kedua, ada kemungkinan besar dalam benaknya bahwa dia menerima wanita tersebut. Jika tidak ada, maka nazhor tidak diperbolehkan. Ini dalam rangka kehati-hatian dan juga dengan pertimbangan ketika nazhor tersebut dilakukan sebelum khitbah. Juga pada sebagian besar keadaan, nazhor itu tidak dilakukan kecuali setelah si laki-laki merasa cocok dengan si wanita.

Ketiga, nazhor tersebut bukan dalam rangka melampiaskan syahwat, karena yang seperti ini hanya khusus untuk suami-istri. Sedangkan laki-laki yang melakukan nazhor, statusnya masih laki-laki ajnabi (laki-laki yang bukan mahram), sehingga tidak diperbolehkan jika maksudnya untuk mengumbar atau memperturutkan syahwat. Namun, jika kemudian muncul syahwat karena nazhor, maka hal itu tidak mengapa karena memang sesuatu yang tidak mungkin untuk dicegah.

Keempat, nazhor tersebut dilakukan sekedar sesuai kebutuhan saja, karena pada asalnya haram. Akan tetapi, si laki-laki boleh menazhor sampai dia merasa sudah mewujudkan maksud dan tujuannya, yaitu mengetahui sifat-sifat dari wanita yang hendak dinikahinya.

Kelima, tidak diperbolehkan untuk berdua-duaan atau bahkan safar dengan alasan sedang ta’aruf, karena terdapat kerusakan yang besar dari perbuatan tersebut.

Keenam, tidak boleh bersalaman atau menyentuh bagian tubuh lainnya, karena status wanita tersebut masih wanita ajnabiyah (wanita yang bukan mahram).

Ketujuh, apakah dipersyaratkan bahwa si wanita mengetahui bahwa dia dinazhor? Dalam masalah ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa hal itu tidak dipersyaratkan. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menisbatkan pendapat ini kepada jumhur ulama. Hal ini berdasarkan satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Humaid atau Humaidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً، فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَةٍ ، وَإِنْ كَانَتْ لَا تَعْلَمُ

“Jika kalian meminang wanita, maka tidak mengapa jika kalian melihatnya jika dia melihatnya untuk meminangnya, meskipun si wanita tidak mengetahuinya.” (HR. Ahmad 39: 15, sanadnya sahih.)

Syekh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Adapun pendapat yang tampak lebih mendekati menurutku adalah dirinci. Jika ada sangkaan kuat bahwa laki-laki tersebut diterima, maka nazhor dilakukan dengan sepengetahuan si wanita. Akan tetapi, jika ada sangkaan kuat bahwa laki-laki tersebut ditolak (lamarannya), karena adanya indikasi-indikasi tertentu, maka tidak masalah jika nazhor dilakukan tanpa sepengetahuan si wanita. Hal ini supaya tidak menimbulkan perasan yang tidak enak di hati.” (Minhatul ‘Allam, 7: 204)

Kedelapan, hendaknya si laki-laki menyembunyikan aib dari si wanita yang dilihatnya dan tidak menyebarluaskannya, lebih-lebih ketika dia kemudian tidak jadi melanjutkan ke akad nikah.

Kandungan kedelapan, apakah diperbolehkan wanita menazhor laki-laki?

Adapun wanita yang menazhor laki-laki, maka tidak terdapat dalil khusus dalam masalah ini. Hanya saja, terdapat dalil umum, yaitu perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا

“Karena hal itu akan lebih melanggengkan perkawinan kalian berdua.”

Inilah pendapat yang disampaikan oleh sejumlah ulama. Karena jika nazhor diperbolehkan untuk laki-laki, maka lebih-lebih lagi diperbolehkan untuk wanita. Sebagaimana laki-laki ingin melihat yang bisa menarik dan memantapkan hatinya untuk menikahi wanita, hal yang sama juga berlaku untuk wanita yang ingin menikah dengan seorang laki-laki. Bahkan, memilih pasangan itu lebih sulit bagi wanita daripada laki-laki. Jika setelah menikah, seorang suami melihat ada yang tidak dia sukai dari istri, maka dia bisa menceraikannya. Sedangkan wanita hanya bisa menggugat cerai sang suami dalam kondisi tertentu saja.

Selain itu, dalil-dalil syariat juga pada umumnya menyebutkan laki-laki saja, padahal berlaku baik untuk laki-laki maupun wanita. Dalil syariat tidak secara khusus menujukan kepada wanita dalam masalah nazhor, karena laki-laki itu lebih mudah untuk ditemui dan dijumpai. Memungkinkan bagi wanita untuk melihat laki-laki dengan mudah, sehingga maksud dan tujuan nazhor tersebut telah tercapai. Wallahu Ta’ala a’lam.

[Selesai]

Kembali ke bagian 1: Hadis: Disyariatkannya Nazhor ketika Hendak Menikah (Bag. 1)

***

@23 Zulkaidah 1445/ 1 Juni 2024

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/95688-hadis-disyariatkannya-nazhor-ketika-hendak-menikah-bag-2.html