Bukti Penghambaan kepada Allah
Bismillah.
Allah berfirman,
فَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Makanlah kalian dari sebagian rezeki yang Allah berikan yang halal dan baik, dan bersyukurlah kalian atas nikmat Allah apabila kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. An-Nahl: 114)
Mensyukuri nikmat Allah adalah perkara yang wajib bagi seorang muslim. Sekian banyak nikmat yang Allah berikan kepada diri kita. Baik kenikmatan yang lahir maupun batin. Kenikmatan yang terkait dengan urusan agama maupun kenikmatan yang terkait dengan urusan dunia. Nikmat Allah itu begitu banyak, bahkan tidak terhingga.
Di antara nikmat besar yang Allah berikan kepada kita adalah kehidupan kita di alam dunia ini. Ini merupakan nikmat yang wajib kita syukuri dengan beribadah kepada-Nya. Allah berfirman,
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلنَّاسُ ٱعۡبُدُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِی خَلَقَكُمۡ وَٱلَّذِینَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian Yang menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)
Para ulama kita telah menjelaskan bahwa di antara tanda kebahagiaan seorang hamba adalah apabila diberi kenikmatan, maka dia pun bersyukur kepada Allah. Syukur kepada Allah ini mencakup amalan hati, amalan lisan, dan amalan dengan anggota badan. Dengan hati, ia mengakui bahwa nikmat ini datang dari Allah. Dengan lisan, dia memuji Allah dan menyandarkan nikmat itu kepada-Nya. Dan dengan anggota badan, yaitu dia menggunakan nikmat itu dalam rangka ketaatan.
Buah syukur kepada Allah
Oleh sebab itu, para ulama menjelaskan bahwa amal saleh dan ibadah merupakan bukti syukur kepada Allah. Dan pokok dari syukur itu adalah dengan mentauhidkan-Nya, tidak beribadah, kecuali kepada Allah semata. Inilah kewajiban terbesar umat manusia kepada Rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى العِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا
“Sesungguhnya hak Allah atas para hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman,
أنا أغنى الشركاء عن الشرك؛ من عمل عملا أشرك معي فيه غيري تركتُه وشِرْكَه
“Aku adalah Zat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim)
Allah tidak menerima amalan yang tercampur dengan syirik. Allah berfirman,
وَلَوۡ أَشۡرَكُوا۟ لَحَبِطَ عَنۡهُم مَّا كَانُوا۟ یَعۡمَلُونَ
“Dan seandainya mereka itu melakukan syirik, pasti akan lenyap semua amal yang dahulu pernah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am: 88).
Dari sini, kita mengetahui bahwa hakikat syukur kepada Allah adalah dengan mempersembahkan segala bentuk ibadah untuk Allah semata dan meninggalkan segala bentuk syirik dan kekafiran.
Allah berfirman,
فَمَن كَانَ یَرۡجُوا۟ لِقَاۤءَ رَبِّهِۦ فَلۡیَعۡمَلۡ عَمَلࣰا صَـٰلِحࣰا وَلَا یُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦۤ أَحَدَۢا
“Maka, barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal saleh dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (QS. Al-Kahfi: 110)
Maka, seorang yang berbuat syirik -apakah itu syirik besar maupun syirik kecil- sesungguhnya dia adalah orang yang tidak bersyukur kepada Allah, walaupun secara fisik penampilannya di mata khalayak dia melakukan kebaikan dan berbagai bentuk amal kebaikan. Orang yang riya’, orang yang ujub, orang yang selalu menyandarkan nikmat kepada kemampuan diri dan keahliannya. Maka, mereka adalah orang yang tidak pandai bersyukur kepada Allah.
Muhammad bin Ka’ab rahimahullah menjelaskan maksud ayat,
ٱعۡمَلُوۤا۟ ءَالَ دَاوُۥدَ شُكۡرࣰاۚ
“Beramallah wahai keluarga Dawud sebagai bentuk syukur.” (QS. Saba’: 13). Kata beliau, “Hakikat syukur adalah bertakwa kepada Allah dan melaksanakan ketaatan kepada-Nya.” (lihat Min Kitab Az-Zuhd li Ibni Abi Hatim, hal. 65)
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Syukur adalah menunaikan ketaatan kepada Sang pemberi nikmat dengan pengakuan dari dalam hati bahwa nikmat datang dari Allah disertai pujian dengan lisan, dan ketaatan dengan segenap anggota badan.” (lihat Tafsir Surat Luqman, hal. 74)
Makhlad bin Al-Husain rahimahullah berkata, “Orang-orang dahulu mengatakan bahwa syukur itu adalah dengan meninggalkan maksiat.” (lihat ‘Uddatu Ash-Shabirin, hal. 242)
Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah menceritakan, “As-Sari bertanya kepadaku, ‘Apakah puncak syukur itu?’ Aku menjawab, ‘Yaitu Allah tidak didurhakai pada satu nikmat pun -yang telah diberikan-Nya-.’ Lalu dia mengatakan, ‘Jawabanmu tepat, wahai anak muda.’” (lihat Al-Fawa’id wa Al-Akhbar wa Al-Hikayat, hal. 144)
Karena itulah, Abu Hazim rahimahullah mengatakan, “Setiap nikmat yang tidak menambah dekat kepada Allah adalah malapetaka.” (lihat ‘Uddatu Ash-Shabirin, hal. 243)
Mensyukuri nikmat Allah -termasuk di dalamnya nikmat ketaatan- secara lisan adalah dengan menyandarkan nikmat-nikmat tersebut kepada Zat yang telah memberikannya, memuji-Nya, dan tidak berpaling/menyandarkan nikmat itu kepada selain-Nya. (lihat Transkrip Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’ oleh Syekh Shalih Alusy Syekh, hal. 5)
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا بِكُم مِّن نِّعۡمَةࣲ فَمِنَ ٱللَّهِۖ
“Apapun nikmat yang ada pada kalian adalah datang dari Allah.” (QS. An-Nahl: 53)
Termasuk dalam bentuk nikmat -yang harus kita syukuri- adalah ketaatan yang telah kita lakukan. Ini semuanya adalah anugerah dan nikmat dari Allah. Bahkan, nikmat iman dan ketaatan ini adalah nikmat yang lebih agung daripada nikmat-nikmat keduniaan. Oleh sebab itu, sudah semestinya kita senantiasa mensyukurinya. (lihat Syarh Al-Qawa’id Al-Arba’ oleh Syekh Abdurrahman bin Nashir Al-Barrak hafizhahullah, hal. 8)
Baca juga: Wahai Hamba, Malulah kepada Allah!
Cara mensyukuri nikmat
Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah pernah ditanya,
“Bagaimanakah cara untuk mensyukuri nikmat-nikmat? Dan apakah kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim berkaitan dengan nikmat-nikmat yang begitu banyak ini yang tidak terhingga dan tidak terhitung?”
Beliau menjawab,
“Yang wajib dilakukan ialah mensyukuri nikmat-nikmat itu. Mensyukuri nikmat adalah jaminan untuk tetap bertahannya nikmat. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,
وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكُمۡ لَىِٕن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِیدَنَّكُمۡۖ وَلَىِٕن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِی لَشَدِیدࣱ
“Dan ingatlah ketika Rabbmu memberikan pernyataan bahwa ‘Jika kalian bersyukur, pasti Aku akan memberikan tambahan (nikmat) kepada kalian. Akan tetapi, jika kalian kufur, sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih.’”
Syukur itu terwujud dengan tiga hal. Ia memiliki tiga pilar. Tidak dikatakan syukur, kecuali dengan terpenuhi ketiga-tiganya.
Pertama, mengakui dari dalam hati bahwa nikmat-nikmat itu bersumber dari Allah. Yaitu, kamu mengakui di dalam hatimu bahwa nikmat-nikmat ini datang dari Allah Jalla wa ‘Ala, dan bahwa ia merupakan karunia dari Allah kepadamu dan kaum muslimin.
Kedua; menceritakan nikmat itu secara lahiriah.
وَأَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثۡ
“Adapun dengan nikmat Rabb-mu, maka ceritakanlah.”
Hendaknya kamu menceritakan nikmat-nikmat Allah itu dan mensyukurinya. Anda ingatkan saudara-saudara anda terhadap nikmat itu dan perintahkan mereka untuk bersyukur atasnya.
Ketiga, menggunakan nikmat itu dalam hal ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, yaitu menaati Zat yang telah melimpahkan dan mencurahkan nikmat itu kepada kita.
Baca juga: Allah Maha Menutupi Aib Hamba-Nya
***
Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.
Artikel asli: https://muslim.or.id/87289-bukti-penghambaan-kepada-allah.html