Beranda | Artikel
Al-Mukhbitun
Senin, 29 Februari 2016

AL MUKHBITUN

Oleh
Ustadz. Suhuf Subhan[1]

Bahagia dalam kehidupan dunia adalah dambaan setiap insan. Jika dia orang yang beriman, maka dia juga berharap bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Namun, tidak semua orang yang berkeinginan baik bisa meraih impiannya. Salah satu dari sekian banyak orang yang bisa meraih kebahagiaan abadi di akhirat adalah al-Mukhbitûn. Siapakah mereka?

Bagaimanakah kriteria-kriteria mereka?
Berikut penjelasan singkat tentang mereka. Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan kita termasuk golongan yang beruntung tersebut-red.

وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِينَ ﴿٣٤﴾ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصَّابِرِينَ عَلَىٰ مَا أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصَّلَاةِ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allâh), (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan shalat dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami anugerahkan kepada mereka. [al-Hajj/22:34-35]

Jika al-Mu’minun kita terjemahkan dengan orang-orang yang beriman, al-Muttaqûn diterjemahkan dengan orang-orang yang bertakwa, lalu bagaimana menerjemahkan al-mukhbitûn? Kurang pas memang jika al-mukhbitûn kita terjemahkan dengan orang-orang yang berikhbat dan tentunya belum bisa langsung dipahami oleh pendengarnya. Bagaimana kita menterjemahkan al-mukhbitûn?

al-Mukhbitûn berasal dari kata al-khabtu atau al-ikhbât. al-Khabtu menurut pengertian bahasa, bermakna permukaan tanah yang luas dan tenang, semacam lembah yang dalam, luas, sunyi, dan terhampar.[2]

Atas dasar ini, Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma mengartikan lafazh al-mukhbitin dalam ayat ini sebagai mutawâdhi’în, (orang-orang yang merendahkan diri).[3] Begitu pula ad-Dhahâq rahimahullah dan Qatâdah rahimahullah.[4] Sedangkan menurut Mujâhid rahimahullah, mukhbitîn artinya adalah Muthmainnin, orang yang hatinya merasa tenang bersama Allâh.[5]

Ats-Tsauri rahimahullah berpendapat mukhbitîn maknanya adalah orang orang yang tenang, yang ridha, lapang dada dengan qadha dan qadar Allâh Azza wa Jalla , dan senantiasa berserah diri kepada-Nya. Menurut al-Akhfâsi rahimahullah, mukhbitin artinya orang-orang yang khusyu’. Sedangkan menurut Ibrahim an-Nakhâ’i, artinya orang-orang yang shalat dan ikhlas. Menurut al-Kalby, artinya adalah orang-orang yang berhati lembut.[6]

Kita bisa rasakan dari pengertian pengertian secara bahasa ini, sebuah lembah sunyi nan tenang, menghampar luas di depan mata. Ketenangan, ketentraman, kedamaian dan kesyahduan yang akan kita rasakan. Persis seperti apa yang dikatakan penulis kitab Manâzilus Sâ’irîn, “Ikhbât ini merupakan permulaan dari ketentraman.”[7]

Derajat al-mukhbitûn tidak serta merta dapat diraih oleh setiap orang yang beriman. Ketenangan hati seorang Mukmin, keikhlasannya, kerendah hatinya, kesantunannya, kekhusyuannya, kelapangan dadanya, tidaklah sembarang orang yang bisa mencapainya. Allâh Azza wa Jalla meletakan kriteria dan usaha tertentu untuk bisa mencapainya.

KRITERIA AL-MUKHBITUN
Orang-orang dengan sifat dan perilaku ikhlas, khusyu’, santun, tenang, rendah hati adalah sebuah hasil dari usaha yang berkesinambungan dengan apa yang disebutkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam ayat yang ke-35 di atas, dan menjadi semacam syarat dan kriteria pencapaian derajat al-ikhbât. Dimana disebutka kriterianya sebagai berikut :

Kriteria Pertama : Jika disebut nama Allâh, hatinya bergetar
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ

Jika disebut nama Allâh, hati mereka bergetar [al-Hajj/22:35]

al-Wajal artinya hati yang menggigil dan bergetar takut karena mengingat kekuasaan dan hukuman Allâh, atau merasa melihat-Nya.[8] al-Wajal berdekatan maknanya dengan al-khauf dan khasyyah karena bergetarnya hati jika disebut nama Allâh Azza wa Jalla berkonsekwensi khasyyah dan khauf kepada Allâh. Takut dan khawatir jika amal amal kebaikannya, shalat, puasa dan sedekahnya tidak diterima Allâh Azza wa Jalla , bergetarnya hati, takut dan khawatirnya jika amal-amal yang tidak diterima Allâh tersebut bisa mengakibatkan adzab dan siksa Allâh Azza wa Jalla.[9]

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ

Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. [al-Mu’minûn/23:60]

Al-Wajal, khauf dan khasyyah selalu ada dalam hati al-mukhbitûn. Namun ini bukan berarti al-mukhbitûn selalu gundah dan khawatir dalam hidupnya. Ini juga tidakbertentangan dengan Firman Allâh Azza wa Jalla :

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allâh. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allâh-lah hati menjadi tenteram. [ar-Ra’d/13:28]

Karena al-wajal ketika mendengar ayat Allâh, disebabkan oleh rasa takut hilangnya hidayah dari dirinya dan takut amal-amal kebaikannya tidak diterima; Takut menyelisihi aturan Rabbnya, karena kuatnya iman dan keyakinan kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala , seakanakan mereka selalu berada di depan Nya.[10] Dan ketenangan juga bisa dicapai karena kelapangan dada berasal dari ma’rifatu tauhid dan keimanan yang lurus, dan mengimanikan apa yang dibawa Rasûlullah tanpa keraguan dan syubhat.[11] Allâh tegaskan juga dalam firman-Nya :

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ﴿٢﴾ الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُون ﴿٣﴾ أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah keimanan mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabblah, mereka bertawakkal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rezki (nikmat) yang mulia. [al-Anfâl/8:2-4]

Keadaan hati yang demikian tersebut, yaitu al-wajal (bergetar) saat mendengar ayat-ayat Allâh, menandakan takutnya terhadap adzab Allâh dan rasa khawatir berbagai amal kebaikanya yang dilakukannya tidak diterima oleh Allâh. Rasa seperti ini akan menambah keikhlasan dan kekhusyukan seseorang dalam beribadah, juga meningkatkan ketawadhu’an dan ketenangannya. Ini akan menjadikan mereka termasuk golongan al-mukhbitun.

Kriteria Kedua : Sabar terhadap apa yang menimpa
Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَالصَّابِرِينَ عَلَىٰ مَا أَصَابَهُمْ

Dan orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka [al-Hajj/22:35]

Mereka bersabar menghadapi kesusahan dan kesempitan serta berbagai macam gangguan. Mereka tidak berkeluh kesah dan tidak mencela apa yang menimpa mereka. Mereka bersabar demi mendapat ridha Allâh Azza wa Jalla , senantiasa berharap dan menanti-nanti pahala dari-Nya.[12]

Sabar secara bahasa adalah al-habsu, yaitu menahan jiwa dari sedih dan gelisah[13] ; Menahan diri dari rasa sedih dan gelisah, cemas dan amarah; Menahan lidah dari keluh kesah, dan menahan anggota badan dari kekacauan.[14]

Sabar adalah menahan jiwa dalam tiga keadaan :
1. Sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla
2. Sabar untuk tidak bermaksiat kepada Allâh
3. Sabar atas cobaan dari Allâh Azza wa Jalla [15]

Sabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allâh adalah yang terberat, karena ketaatan berat dirasakan oleh jiwa, dirasakan sulit oleh manusia. Ketaatan bisa jadi juga terasa berat dilaksanakan oleh anggota badan, juga terasa berat karena harus mengeluarkan sejumlah harta seperti dalam menunaikan zakat dan haji. Ini tentunya membutuhkan kesabaran dan ketegaran dalam menjalankannya.[16] Menurut Ibnu Taymiyah Sabar dalam melaksanakan ketaatan lebih baik daripada sabar menjauhi hal-hal yang haram. Karena kemaslahatan melakukan ketaatan lebih disukai Allâh daripada kemaslahatan meninggalkan kedurhakaan, dan keburukan akibat meninggalkan perbuatan taat lebih dibenci Allâh daripada keburukan akibat perbuatan durhaka”[17] Juga karena meninggalkan kemaksiatan penyempurna ketaatan.

Kesabaran yang ditampakan dan dilakukan oleh manusia harus karena Allâh, karena cinta kepada-Nya dan dalam rangka mencari ridho-Nya. Bukan bertujuan menampakan kehebatan dan kekuatannya, juga bukan mencari pujian.[18]

al-Mukhbitûn mempunyai sifat seperti ini, sabar menghadapi kesusahan dan musibah yang menimpa mereka, dengan tetap mentaati perintah Allâh dengan penuh ikhlash, ridha, dan berharap pahala dari Allâh. Mereka menahan diri dari sedih dan gelisah, cemas dan amarah. Mereka menahan lidah dari keluh kesah, dan menahan anggota badan dari kekacauan.[19] al-Mukhbitûn akan senantiasa tenang dan tegar dalam menghadapi musibah, rendah hati dan selalu introspeksi diri. Bagaikan suatu lembah yang luas, sunyi, tentram dan tenang.

Lalu bagaimana caranya agar orang yang terkena musibah bisa tetap tenang dan ridha, bisa tetap menahan cemas, amarah dan keluh kesah? Caranya adalah dengan tetap mengharap pahala dan berharap dosanya bisa terhapus dengan sebab musibahnya. Kemudian tidak terlalu memikirkan musibah itu dengan cara mengingat-ingat betapa besar nikmat yang telah diberikan Allâh Azza wa Jalla kepada kita serta selalu yakin bahwa Allâh akan menurunkan rahmat sebagai jalan keluar dari musibahnya itu.[20] Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ﴿٢﴾ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

Barangsiapa bertakwa kepada Allâh niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. [at-Thalâq/65:2-3]

Oleh karena itu, tidak heran jika Allâh Azza wa Jalla menjanjikan pahala yang tidak terhingga.

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. [az-Zumar/39:10]

Kriteria Ketiga : Menegakan shalat

وَالْمُقِيمِي الصَّلَاةِ

Orang-orang yang menegakan shalat [al-Hajj/22:35]

Shalat adalah ibadah yang teragung. Ibadah ini memiliki pengaruh besar bagi keshalehan pribadi seseorang, seperti yang di firmankan Allâh Azza wa Jalla :

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu al-Kitab (al-Qur’ân) dan dirikanlah shalat! Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allâh (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dibandingkan dengan ibadat-ibadat lain). dan Allâh mengetahui apa yang kamu kerjakan. [al-Ankabut/29:45]

al-Mukhbitûn ialah orang-orang yang senantiasa menjaga dan mendirikan shalat dalam keadaan apapun. Musibah sebesar apapun tidak bisa mempengaruhi ketaatan mereka dalam menjalankan shalat. Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla menggunakan kata al-muqîmîsh shalat dan tidak menggunakan kata kerja yuqîmush shalat sebagai isyarat bahwa mereka menjalankan shalat dalam keadaan apapun karena kecintaan mereka yang sangat mendalam terhadap shalat. Kecintaan mereka begitu terpatri dalam hatinya dan senantiasa takut lalai dalam menjalankannya, seakan-akan mereka selalu merasa dalam keadaan melaksanakan shalat,[21 dengan kekhusyukan, thuma’ninah, dan kerendah hatian, yang selalu tergambar dalam kesharian mereka di dalam maupun di luar shalat.

Kriteria Keempat : Menafkahkan Sebagian Rezki

وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka. [al-Hajj/22:35]

Infak atau nafkah dalam ayat ini mencakup semua infak, baik yang wajib seperti zakat, kafârat, dan nafkah keluarga, juga mencakup yang mustahabbah[22]. al-Mukhbitûn senantiasa berinfak di jalan Allâh, meski dalam kesulitan.[23] Inilah seutama-utama sedekah.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ: أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الفَقْرَ، وَتَأْمُلُ الغِنَى،

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwasannya ada seseorang datang kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, “Ya Rasûlullâh, sedekah apakah yang paling utama? Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ” Engkau bersedekah dalam keadaan sehat, dalam keadaan ingin menahan-nahan harta karena takut miskin dan sangat berharap kekayaan.[24]

Sedekah menjadi sebab dari kelapangan dada. Orang yang senantiasa hidupnya bermanfaat bagi orang lain, senantiasa berbuat baik kepada sesama, dan dermawan adalah orang-orang yang paling lapang dadanya, paling baik jiwa dan hatinya[25]

Jadi, al-mukhbitûn adalah orang-orang yang dikriteriakan oleh Allâh diatas, serta di tafsirkan dan digambarkan oleh para Ulama dengan penggambaran yang sangat indah yang bisa dirasakan oleh orang yang mengerti maknanya secara bahasa. Orang-orang dengan ketentraman, ketenangan, kelapangan dada, kerendah hatian, kesalehan pribadi, sopan santun, akhlakul karimah, keyakinan dan iman yang kokoh, adalah sebuah kesan yang akan anda rasakan jika kita bertemu dengan al-mukhbitûn. Dan Segala kelebihan di atas bisa diraih oleh mereka karena telah melampaui apa yang dikriteriakan oleh Allâh Azza wa Jallatentang mereka.

Semoga kita termasuk golongan al-mukhbitûn. Semoga ilmu yang kita miliki menjadikan kita rendah hati, tawadhu’ dan khusyu’; Menjadikan kita mempunyai sopan santun dan tatakrama yang mengesankan. Ilmu yang kita miliki membawa diri kita sabar, ikhlash, ridha. Membawa hati kita dipenuhi getar takut jika mendengar ayat-ayat Allâh.

MARAJI’
– Al-Qur’an al-Karim dan terjemahnnya
– Al-Jâmi Li Ahkâmil Qur’ân, al-Qurthubi ( Beirut : Dar Al-Kitab al-Arabi, 2007)
– Jâmi’ul Bayân ‘an Ta’wîlil Qur’ân, ath-Thabari, ( Beirut : Dar ihya at-Turats al-Arabi, tanpa tahun )
– Taisîr Karîmir Rahmân, Syaikh Abdurrahman Nashir as-sa’di
– Syarah Riyâdhus Shâlihin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (Kairo : Maktabah Ash Shofa, 2002)
– Nadzmud Durar fi Tanâsubi Ayat wa Suwar, Burhanuddin Abil Hasan Ibrahim bin Umar al Baqa’i (Kairo : Maktabah Ibnu Taymiyah, 2006)
– Lisânul Arab, Ibnu Mandzûr ( Beirut : Dar Sader, 2005)
– Madâriju Sâlikin, Ibnu Qayim Al Jauziyah (Beirut : Maktabah al-Ashriyah, 2007)
– Zâdul Ma’âd fii Hadyi Khairil Ibâd (Beirut, Muasasah Risalah, 1415/1994)
– Tafsîr al-Qur’ân al-Adhîm , Ibnu Katsir
– Majmû Fatâwâ, Ibnu Taimiyah, (Madinah al-Munawwarah : Majma Malik Fahd Li Thabatil Mushhaf, 1416)
– Adhwâ’ul Bayân fî Idhâh al-Qur’ân bil Qur’an, Muhammad Amin Asysyinqiti ( Beirut : Dar Ihya Turas al Arabi,tanpa tahun)
– Kitab-kitab Hadits

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Salah seorang dosen di STDI Jember
[2]. Lisânul Arab, Ibnu Mandzûr, 5/7
[3]. Madârijus Sâlikîn, Ibnul Qayim al Jauziyah, 2/13
[4]. al Jâmi Li Ahkâmil Qur’ân, al-Qurthubi, 12/58
[5]. Ibid
[6]. Madârijus Sâlikîn, Ibnul Qayim al Jauziyah, 2/13
[7]. Ibid
[8]. Ibid, 1/389
[9]. Lihat, Majmû Fatâwâ, Ibnu Taimiyah, 7/19
[10]. al Jâmi Li Ahkâmil Qur’ân, al-Qurthubi, 12/58
[11]. Adhwâ’ul Bayân, Muhammad Amin Asysyinqiti, 3/511
[12]. Taisîr Karîmi ar-Rahmân, as-Sa’di
[13]. Lisânul Arab, Ibnu Mandzûr, 7/193
[14]. Madârijus Sâlikîn, Ibnul Qayim al Jauziyah, 2/129
[15]. Ibid,hlm.129. Lihat juga Syarah Riyâdhus Shâlihîn, al-Utsaimin, 1/84
[16]. Syarah Riyâdhus Shâlihîn, al-Utsaimin, 1/84
[17]. Madârijus Sâlikîn, 2/129
[18]. Ibid, 2/130
[19]. Ibid, 2/129
[20]. Ibid, 2/137
[21]. Nadzmu ad-durar fi Tanâsubi Ayat wa Suwar, al-Baqa’i, 13/49
[22]. Taisîr Karîmir Rahmân
[23]. Nadzmu ad-durar fi Tanâsubi Ayat wa Suwar, 13/49
[24]. Muttafaqun alaih
[25]. Zâdul Ma’âd, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, 2/24


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/4309-al-mukhbitun.html